Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengimbau para pemimpin dunia pada hari Selasa (20/9) agar bersatu dan mengambil tindakan untuk mengatasi masalah dunia yang “penuh dengan gejolak.”
“Kita berada di lautan ganas; musim dingin yang dipenuhi ketidakpuasan global sudah di depan mata,” ungkapnya dalam pidato pembukaan sidang tahunan Majelis Umum PBB yang akan berlangsung selama seminggu ke depan dan dihadiri oleh para presiden, perdana menteri dan pejabat lainnya.
“Krisis biaya hidup sedang berkecamuk. Kepercayaan runtuh. Ketimpangan meledak," kata Guterres.
“Dan planet kita sedang terbakar,” ia memperingatkan.
“Kita membutuhkan harapan… dan lebih dari itu, kita perlu bertindak.” Ia menyerukan agar seluruh pihak segera meredakan krisis pangan global. Elemen penting upaya tersebut adalah menyelesaikan masalah yang disebutnya “kegentingan pasar pupuk global.”
Semenjak Rusia menginvasi Ukraina 24 Februari lalu, Rusia memberlakukan kuota ekspor pupuk. Rusia adalah salah satu eksportir pupuk utama dunia dan kelangkaan yang disebabkan olehnya telah menyebabkan lonjakan harga di pasar internasional, membuat beberapa petani kecil kesulitan membelinya, sehingga berpotensi mengurangi hasil panen mereka secara signifikan.
“Tanpa tindakan saat ini, kelangkaan pupuk dunia akan dengan cepat berubah menjadi kelangkaan pangan dunia,” tandas Guterres.
Ia menyerukan agar “semua hambatan yang tersisa” dalam ekspor pupuk Rusia dan bahan-bahannya, termasuk amonia, dapat segera diangkat.
“Produk-produk ini tidak dikenai sanksi – dan kita membuat kemajuan dalam menghilangkan dampak tidak langsungnya,” ia menekankan.
Meskipun tidak ada sanksi Barat terhadap ekspor pangan dan pupuk Rusia, Moskow mengklaim sebaliknya. Kesepakatan yang ditandatangani di Istanbul 22 Juli lalu membantu menyalurkan jutaan ton biji-bijian Ukraina ke pasar internasional dan membatu membangun kepercayaan para distributor, perusahaan asuransi dan pembeli biji-bijian dan pupuk Rusia sehingga mereka akan melanjutkan ekspor pada tingkat pra-invasi.
Dua layar besar di ruang sidang Majelis Umum PBB menunjukkan foto Brave Commander, salah satu kapal yang mengangkut biji-bijian Ukraina ke wilayah Tanduk Afrika. Ia mengatakan kapal itu menjadi simbol diplomasi multilateral yang dilakukan.
“Sementara itu, pertunjukan kekuatan militer dan ancaman terhadap keamanan pembangkit listrik tenaga nuklir semakin menambah ketidakstabilan dunia,” tambahnya, merujuk pada PLTN Zaporizhzhia di Ukraina, demikian juga retorika dan tindakan Korea Utara, serta pertanyaan tentang program nuklir Iran.
Gejolak yang Meluas
Guterres menyebut serangkaian krisis, baik yang baru maupun yang sudah mengakar, dari Ethiopia dan Sahel hingga Haiti, Suriah dan Myanmar yang menurutnya harus diselesaikan.
Di Afghanistan, ia menyebut hak asasi manusia “diinjak-injak,” khususnya bagi perempuan dan anak perempuan, yang hak asasinya hilang di bawah kendali Taliban.
Ia memperingatkan perpecahan yang berbahaya antara negara-negara Barat dan negara-negara Selatan (Global South), serta ketegangan geopolitik yang membelah negara maju dan negara berkembang.
Guterres mendesak agar pencegahan konflik dan pembangunan perdamaian menjadi prioritas.
“Dalam semua yang kita lakukan, kita harus mengakui bahwa HAM adalah jalan untuk menyelesaikan ketegangan, mengakhiri konflik dan menciptakan perdamaian abadi,” ia mengingatkan para pemimpin dunia.
Semua konflik ini mengarah pada jumlah bantuan kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ia mengatakan, permohonan bantuan PBB mengalami defisit sebesar $32 miliar.
Di tengah lautan berita buruk itu, Guterres juga menemukan “secercah harapan.”
“Di Yaman, gencatan senjata nasional rapuh, namun masih bertahan,” ungkapnya. “Di Kolombia, proses perdamaian sedang mengakar.”
Generasi muda dunia juga menjadi sumber harapan, ujarnya, seiring upaya mereka untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Ancaman Eksistensial
Pernyataan terkuat sekretaris jenderal PBB berkisar pada semakin cepatnya pemanasan global.
“Krisis iklim adalah masalah terpenting pada zaman kita,” ujarnya. “Masalah ini harus menjadi prioritas utama setiap pemerintahan dan organisasi multilateral.”
Ia khawatir upaya untuk mengatasi krisis iklim tidak menjadi prioritas dalam agenda internasional, meskipun masyarakat dunia telah meminta para pemimpin dunia untuk berbuat lebih.
Peningkatan emisi gas rumah kaca telah memecahkan rekor dan ia mengatakan emisi itu harus dipangkas hingga 45% pada tahun 2030 agar harapan tercapainya emisi nol persen pada 2050 tetap terjaga.
Untuk melakukan hal itu, ia mendesak seluruh dunia agar mengakhiri “kecanduan” mereka terhadap bahan bakar fosil dan mempercepat transisi ke energi bersih dan terbarukan. Dan sebagai bagian dari proses tersebut, ia menyerukan, “Para pencemar harus membayar [denda].”
“Sekarang, saya menyerukan kepada seluruh ekonomi maju untuk mengenakan pajak atas keuntungan tak terduga perusahaan bahan bakar fosil,” ujar Sekjen PBB, sambil mengingatkan bahwa negara-negara G20 menghasilkan 80% dari seluruh gas rumah kaca.
Ia mengatakan, dana itu harus digunakan untuk membantu membiayai dampak perubahan iklim di negara-negara yang menderita kerugian dan kerusakan akibat krisis iklim dan bagi orang-orang yang kesulitan akibat kenaikan harga pangan dan energi.
Ia mendesak terciptanya persatuan untuk mengembangkan “solusi bersama untuk masalah bersama.”
“Mari kita bekerja sebagai satu kesatuan, sebagai koalisi dunia, sebagai negara-negara yang bersatu,” ungkapnya. [rd/jm]
Forum