Isu Iklim
- Margaret Besheer
Sekjen PBB: Dunia Semakin Jauh dari Target Membatasi Pemanasan Global
Sekretaris Jenderal PBB pada hari Rabu (5/6) mengatakan bahwa dunia sedang berada pada "momen genting" untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Paris 2015 untuk membatasi pemanasan global, di saat planet bumi baru saja mengalami 12 bulan terpanas secara berturut-turut dalam sejarah.
“Kenyataannya, hampir sepuluh tahun sejak Perjanjian Paris diberlakukan, target untuk membatasi pemanasan global jangka panjang hingga 1,5 derajat Celcius masih menggantung di ujung tanduk," kata Antonio Guterres kepada para hadirin di Museum Sejarah Alam Amerika di New York, di mana sebuah pameran mengenai dinosaurus yang telah punah di museum tersebut menjadi pengingat lain akan kondisi planet yang memburuk.
“Organisasi Meteorologi Dunia melaporkan hari ini bahwa ada kemungkinan 80% suhu rata-rata tahunan global akan melebihi batas 1,5 derajat dalam setidaknya satu dari lima tahun ke depan,” katanya.
“Kita sedang bertaruh dengan planet kita,” ujarnya memperingatkan dalam sebuah pidato khusus tentang iklim yang ia sampaikan di bawah patung paus biru yang terkenal di museum tersebut. Pidato itu menandai peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Sekjen PBB itu mengatakan bahwa 1% negara terkaya mengeluarkan polusi sebanyak dua pertiga dari seluruh umat manusia.
Ia juga mengatakan bahwa bumi menghasilkan sekitar 40 miliar ton karbon dioksida setiap tahunnya dan akan menghabiskan “anggaran karbon” yang tersisa sekitar 200 miliar ton sebelum tahun 2030. Guterres kemudia menyebutkan bahwa emisi global harus turun sebesar 9% setiap tahun antara saat ini dan 2030 untuk menjaga batas 1,5 derajat Celcius. Tahun lalu, emisi global naik 1%.
Biaya untuk krisis iklim akan terus bertambah tanpa adanya tindakan yang berarti.
“Meskipun besok emisi mencapai nol, sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa kekacauan iklim masih akan menelan biaya setidaknya $38 triliun per tahun pada tahun 2050,” kata Guterres.
Bahan bakar fosil
Krisis iklim telah menjadi isu utama dalam masa jabatan Guterres sejak ia menjadi diplomat tertinggi di dunia tujuh setengah tahun yang lalu. Ia telah berulang kali menyerukan penghentian penggunaan batu bara dan bahan bakar fosil lainnya dan beralih ke energi terbarukan yang lebih bersih seperti tenaga angin dan tenaga surya - yang telah menghasilkan hampir sepertiga kapasitas listrik dunia.
Dia meningkatkan peringatannya pada Rabu dengan mendesak bank-bank untuk berhenti membiayai proyek-proyek minyak, batu bara dan gas dan sebagai gantinya berinvestasi pada energi terbarukan. Ia meminta negara-negara untuk melarang iklan dari produsen bahan bakar fosil dan mengatakan bahwa platform berita dan teknologi harus berhenti menerima iklan mereka.
“Saya menyerukan kepada para pemimpin industri bahan bakar fosil untuk memahami bahwa jika Anda tidak berada di jalur cepat menuju transformasi energi bersih, Anda membawa bisnis Anda ke jalan buntu - dan menyeret kita semua,” ujar Sekjen PBB.
Guterres menambahkan bahwa industri minyak dan gas hanya menginvestasikan 2,5% dari total pengeluaran untuk energi bersih pada tahun lalu. Ia mendesak perusahaan-perusahaan hubungan masyarakat dan pelobi untuk berhenti mendukung industri “penghancuran planet” ini dan meninggalkan klien-klien tersebut.
“Banyak orang di industri bahan bakar fosil yang tanpa malu-malu melakukan greenwashing, bahkan ketika mereka berusaha untuk menunda aksi iklim - dengan lobi, ancaman hukum, dan kampanye iklan yang besar-besaran," katanya.
Menyamakan upaya
Sekretaris Jenderal PBB itu menegaskan kembali pendiriannya bahwa mereka yang paling sedikit berkontribusi terhadap krisis iklim adalah mereka yang paling menderita - terutama negara-negara miskin di Afrika dan negara-negara kepulauan kecil. Negara-negara ekonomi utama G20 menghasilkan 80% emisi dunia.
“Sangat memalukan bahwa mereka yang paling rentan dibiarkan terlantar, berjuang mati-matian untuk menghadapi krisis iklim yang tidak mereka ciptakan,” katanya. Guterres memperingatkan bahwa perbedaan antara 1,5 dan 2 derajat dapat berarti kelangsungan hidup atau kepunahan bagi beberapa negara kepulauan kecil dan masyarakat pesisir.
“1,5 derajat bukanlah sebuah target. Itu bukan tujuan. Ini adalah batas fisik,” katanya. Pemanasan global telah merusak lautan di planet ini, terumbu karang dan ekosistem laut, serta mencairnya es laut. Di seluruh dunia, banjir besar, kekeringan, gelombang panas, kebakaran hutan, dan bencana lain yang berhubungan dengan iklim menjadi semakin sering terjadi.
Sekretaris Jenderal PBB mengatakan bahwa harus ada lebih banyak pembiayaan dan dukungan teknis dari negara-negara kaya untuk mengurangi dampak iklim dan berinvestasi pada energi terbarukan bagi negara-negara berpenghasilan rendah.
Ia juga mengatakan bahwa sistem peringatan dini global harus tersedia pada tahun 2027, untuk melindungi semua orang di Bumi dari cuaca, air, dan iklim yang berbahaya.
Dia mendesak warga untuk terus membuat suara mereka didengar dan mengatakan bahwa inilah saatnya bagi para pemimpin untuk memutuskan di pihak siapa mereka berada.
“Sekarang adalah waktunya untuk menggerakkan; sekarang adalah waktunya untuk bertindak; sekarang adalah waktunya untuk menyampaikan,” ujarnya yang disambut tepuk tangan meriah. “Ini adalah momen kebenaran kita.” [my/jm]
See all News Updates of the Day
- Associated Press
Protes atas Bahan Bakar Fosil dan Perang Israel-Hamas Warnai KTT Iklim PBB
Protes terjadi di sela-sela perundingan iklim PBB di Baku, Azerbaijan, Kamis (14/11).
Para aktivis menggelar protes terhadap penggunaan bahan bakar fosil dan pasar karbon, sementara protes lainnya menyerukan diakhirinya perang Israel-Hamas.
“Daripada berbicara tentang pasar karbon, kompensasi ini itu, mengapa tidak berbicara tentang bagaimana kita menjaga bahan bakar fosil tetap berada di dalam tanah, bagaimana kita menjaga bahan bakar fosil – minyak, gas, batu bara – tetap berada di dalam tanah?,” ujar seorang demonstran.
Konferensi Tingkat Tinggi yang dikenal sebagai COP29 tahun ini telah mempertemukan para pemimpin dunia untuk membahas berbagai cara untuk membatasi dan beradaptasi dengan krisis iklim.
Setelah hampir satu dekade negosiasi, para pemimpin selama hari pertama konferensi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ini memutuskan beberapa poin penting dari titik kritis yang banyak diperdebatkan yang bertujuan untuk memangkas emisi pemanasan planet dari batu bara, minyak, dan gas.
Dikenal sebagai Pasal 6, pasal ini ditetapkan sebagai bagian dari Perjanjian Paris 2015 untuk membantu negara-negara bekerja sama mengurangi polusi yang menyebabkan perubahan iklim.
Salah satu bagiannya adalah sistem kredit karbon, yang memungkinkan negara-negara melepaskan gas yang menyebabkan pemanasan global ke udara jika mereka mengimbangi emisi di tempat lain.
Namun, pengesahan Pasal 6 pada Senin malam dikecam oleh kelompok keadilan iklim, yang mengatakan bahwa pasar karbon memungkinkan pencemar utama terus mengeluarkan emisi dengan mengorbankan masyarakat dan lingkungan.
Para ilmuwan sepakat bahwa pemanasan atmosfer yang terutama disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil oleh manusia memicu kekeringan, banjir, badai, dan panas yang lebih banyak menimbulkan banyak korban dan semakin parah. [lt/ab]
Pasca Banjir Dahsyat, Kota Valencia Berjuang Memulai Kembali Sekolah
Ribuan siswa di kawasan Valencia, di timur Spanyol, kembali ke sekolah hari Senin (11/11), dua minggu setelah banjir dahsyat menewaskan lebih dari 200 orang dan meluluhlantakkan kota-kota di daerah itu.
Kontroversi soal penanganan banjir yang dilakukan pemerintah regional masih terus bergulir, dan sebuah serikat guru menuduh pemerintah terlalu membesar-besarkan jumlah siswa yang kembali dan menyerahkan tugas pembersihan kepada guru dan siswa.
Dua puluh tiga orang masih hilang di wilayah Valencia setelah hujan lebat menyebabkan sungai meluap dan gelombang air berlumpur melewati pinggiran kota yang padat penduduknya, menenggelamkan orang-orang di dalam mobil dan tempat parkir bawah tanah, serta merobohkan rumah-rumah.
Departemen Pendidikan di wilayah itu mengatakan 47 sekolah yang menampung lebih dari 22.000 anak di 14 kota yang terkena dampak dibuka kembali pada hari Senin. Minggu lalu diperkirakan sekitar 70 persen siswa di daerah yang terkena dampak paling parah akan kembali bersekolah awal pekan ini.
Sampaikan Keprihatinan, Serikat Guru: “Guru dan Ortu Harus Bersihkan Sekolah Sendiri”
Namun serikat guru regional STEPV mengatakan mereka yakin jumlah guru yang kembali pada hari Senin lebih rendah, tanpa memberikan angka alternatif. Juru bicara STEPV, Marc Candela, mengatakan banyak sekolah belum siap untuk melanjutkan pembelajaran, dan menambahkan bahwa “guru dan orang tua yang justru membersihkan sekolah dengan peralatan mereka sendiri, seperti sapu.”
Para guru menginginkan petugas kebersihan profesional yang membersihkan fasilitas-fasilitas pendidikan, seperti yang dilakukan selama pandemi COVID-19, katanya.
Para orang tua juga khawatir dengan keadaan emosi anak-anak mereka. Berbicara pada Reuters, Ketua Federasi Asosiasi Orang Tua (FAMPA), Ruben Pacheco, mengatakan “keluarga-keluarga kelelahan, menderita secara psikologis, dan tidak ada yang boleh diputuskan tanpa berkonsultasi dengan mereka agar tidak menimbulkan lebih banyak ketidaknyamanan daripada yang telah mereka derita.”
Candela mengatakan departemennya telah mengadakan kursus daring untuk para guru minggu lalu dengan rekomendasi perawatan psikologis, namun belum mengirimkan konselor tambahan. [em/ab]
Presiden Azerbaijan di KTT Iklim: Minyak dan Gas 'Karunia Tuhan'
Azerbaijan memiliki tujuh miliar barel cadangan minyak terbukti dan merupakan salah satu tempat pertama di dunia yang memulai produksi minyak secara komersial.
Presiden Azerbaijan, Selasa (12/11), menegaskan kembali bahwa minyak, gas, dan sumber daya alam lainnya merupakan "karunia Tuhan." Hal itu diungkapkan saat berbicara pada KTT Iklim PBB (COP29) di Baku, Azerbaijan.
Ilham Aliyev menegaskan bahwa suatu negara tidak seharusnya dinilai hanya berdasarkan sumber daya alam yang dimiliki dan cara mereka menggunakannya. Ia mengeluarkan pernyataan tersebut sebagai pembelaan terhadap apa yang disebutnya sebagai "berita palsu" dan "kampanye fitnah serta pemerasan yang terkoordinasi" yang berkaitan dengan isu energi.
"Kutip saya bahwa saya mengatakan ini adalah karunia Tuhan, dan saya ingin mengulanginya hari ini di hadapan audiens ini," ujarnya kepada para delegasi KTT Iklim.
"Minyak, gas, angin, matahari, emas, perak, tembaga, semuanya... adalah sumber daya alam, dan negara tidak boleh disalahkan karena memilikinya, serta tidak boleh disalahkan karena menyalurkan sumber daya ini ke pasar, karena pasar membutuhkannya,” ujarnya.
"Orang-orang membutuhkannya."
Azerbaijan memiliki tujuh miliar barel cadangan minyak terbukti dan merupakan salah satu tempat pertama di dunia yang memulai produksi minyak secara komersial.
Sejak meraih kemerdekaan dari Uni Soviet pada 1991, Azerbaijan telah memproduksi 1,05 miliar ton minyak dan berencana meningkatkan produksi gas alamnya lebih dari sepertiga dalam dekade mendatang.
Pendapatan dari produksi minyak dan gas mencapai sekitar 35 persen dari PDB negara tersebut dan hampir setengah dari anggaran belanja negara.
Sekitar 75 persen ekspor energi Azerbaijan ditujukan ke pasar Eropa.
Pada 2022, Komisi Eropa menandatangani kesepakatan dengan Baku untuk menggandakan volume impor gas dari Azerbaijan, dengan tujuan mengurangi ketergantungan Eropa pada gas Rusia, sebuah kesepakatan yang dibela Presiden Aliyev dalam pidatonya.
"Itu bukan ide kami," katanya.
"Mereka meminta kami untuk membantu, dan kami mengatakan oke, kami akan membantu Eropa dalam hal keamanan energi,” tukasnya. [ah/rs]
- Associated Press
Untuk Pertama Kali Sejak Berkuasa, Taliban Hadiri Konferensi Iklim PBB
Untuk pertama kalinya sejak pengambilalihan kekuasaan atas Afghanistan pada pertengahan Agustus 2021, Taliban akan menghadiri konferensi iklim PBB, demikian ungkap badan lingkungan hidup nasional negara tersebut pada hari Minggu (10/11).
Konferensi yang dikenal sebagai COP29 ini dimulai pada hari Senin (11/11) di Azerbaijan, dan merupakan salah satu pembicaraan multilateral terpenting yang melibatkan Taliban, yang tidak memiliki pengakuan resmi sebagai penguasa sah Afghanistan.
Badan Perlindungan Lingkungan Nasional memposting di platform media sosial X bahwa sebuah delegasi teknis telah berangkat ke Baku untuk berpartisipasi.
Matiul Haq Khalis, kepala badan tersebut, mengatakan delegasi tersebut akan menggunakan konferensi itu untuk memperkuat kerja sama dengan komunitas internasional dalam hal perlindungan lingkungan dan perubahan iklim, menyampaikan kebutuhan-kebutuhan Afghanistan terkait akses ke mekanisme keuangan yang ada terkait perubahan iklim, dan mendiskusikan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi.
Lembaga bantuan internasional “Save the Children” pada bulan Agustus lalu menerbitkan sebuah laporan yang mengatakan bahwa Afghanistan adalah negara keenam yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Laporan itu juga mencatat bahwa 25 dari 34 provinsi di Afghanistan menghadapi kondisi kekeringan yang parah atau bencana, yang mempengaruhi lebih dari setengah populasi.
Afghanistan juga memiliki jumlah anak-anak yang kehilangan tempat tinggal akibat bencana iklim tertinggi di antara negara mana pun pada akhir tahun 2023, menurut laporan tersebut.
Profesor Abid Arabzai, dari Universitas Kabul, mengatakan konferensi iklim ini akan membantu negara itu untuk mendapatkan bantuan dan pendanaan internasional untuk mengatasi tantangan iklim di Afghanistan.
“Afghanistan dapat mengklarifikasi tindakan dan komitmen iklimnya kepada komunitas global, sehingga dapat meningkatkan reputasi internasionalnya,” ujar Arabzai. [em/jm]
Sektor Peternakan Dinilai Jadi Penyumbang Signifikan Pemanasan Global
Industri peternakan ternyata telah berdampak signifikan terhadap pemanasan global. Pengurangan konsumsi daging secara global pun terus didorong agar sejalan dengan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil dan peningkatan energi terbarukan.
Saat membacakan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto di Jakarta, Minggu (10/11), peneliti di Institute for Ecosoc Right sekaligus anggota Vegan Squad Indonesia, Sri Palupi, menggarisbawahi sumbangan signifikan sektor peternakan pada pemanasan global. Surat ini dikirimnya kepada presiden menjelang Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-29 atau COP ke-29 yang akan diselenggarakan di Baku, Azerbaijan pada 11-12 November.
Dalam surat tersebut, Sri menyatakan industri peternakan telah berkontribusi secara signifikan terhadap perubahan iklim melalui emisi gas rumah kaca (karbondioksida/CO2, Metana/CH4, Nitrous Oksida/NO2) dalam jumlah besar, perusakan lingkungan akibat polusi udara-tanah-air dan deforestasi secara luas. Oleh karena itu, dampak industri peternakan terhadap pemanasan global tidak dapat diabaikan.
“Tanpa pengurangan signifikan dalam konsumsi daging global maka kita akan kehilangan peluang strategis dalam mengatasi perubahan iklim, menyelamatkan Bumi dan segenap penghuninya,” ungkap Sri.
Lebih jauh Sri memaparkan saat ini dunia tengah menghadapi ancaman yang sangat serius terkait dengan perubahan iklim yang diakibatkan oleh pemanasan global. Apalagi, katanya, The EU's Copernicus Climate Change Service mencatat pada Februari 2024, ambang batas pemanasan global 1,5 derajat Celcius yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris (2015) telah terlampaui.
“Jika pemanasan global tidak terkendali, diperkirakan populasi manusia akan berkurang hingga 75 persen akibat bencana, penyakit, kelaparan, dan kemiskinan,” tuturnya.
Potensi Terjadinya Bencana di Indonesia Meningkat
Indonesia, berdasarkan laporan World Risk Report (WRI) tahun 2022 sebelumnya, tercatat sebagai negara nomor tiga di dunia yang paling berisiko terkena bencana setelah Filipina dan India. Namun, kondisi ini memburuk setelah laporan WRI pada tahun 2023 menempatkan Indonesia sebagai negara kedua yang paling berisiko terkena bencana setelah Filipina.
“Padahal pada 2018 Indonesia tidak termasuk dalam 10 besar negara yang paling berisiko terhadap bencana. Bergesernya posisi Indonesia menjadi negara yang berisiko sangat tinggi terhadap bencana ini menunjukkan, Indonesia memiliki tingkat paparan, kerentanan dan kerawanan tinggi terhadap bencana, sementara kapasitas penanganan bencana kurang dan minimnya adaptasi terhadap bencana,” jelasnya.
Sepanjang 2014-2024 ada 35.925 kejadian bencana di Indonesia, di mana sedikitnya 11.350 orang meregang nyawa. Intensitas bencana di Indonesia juga menunjukkan tren peningkatan.
Mempertimbangkan berbagai fakta itu, komunitas Vegan Squad Indonesia, ujar Sri, mengajukan usulan dan mendorong pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membuat kebijakan mengurangi konsumsi daging sebagai salah satu langkah strategis dan ekonomis dalam mengatasi perubahan iklim.
Selain itu, pihaknya juga mengusulkan untuk menjalankan komitmen mengurangi deforestasi secara signifikan dan menghindari proyek-proyek pembangunan yang memperburuk deforestasi.
“Melakukan dan memperluas edukasi pada masyarakat tentang pola hidup vegan/vegetarian sebagai langkah efektif mengatasi perubahan iklim, dengan melibatkan berbagai pihak, seperti media, lembaga pendidikan, kelompok agamawan, korporasi, komunitas-komunitas vegan, dan lainnya,” katanya.
Mendorong dan memfasilitasi produksi pangan lokal nabati untuk mendukung dan memperluas penerapan pola hidup vegan/vegetarian, serta mendukung dan memfasilitasi perluasan pertanian selaras alam dengan melibatkan organisasi dan komunitas petani.
Pemerintah Diminta Bawa Usulan ke COP-29
Dalam kesempatan yang sama praktisi vegan sekaligus anggota Vegan Squad Indonesia, Yogen Marshel Wijaya, berharap usulan ini disampaikan oleh delegasi atau perwakilan Indonesia di ajang COP ke-29 nanti. Menurutnya selama ini solusi yang kerap dibuat di ajang tahunan iklim tersebut tidak menyentuh akar permasalahan dan cenderung tidak adil terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Ia mencontohkan pada COP ke-27 di Mesir telah disepakati pembentukan dana loss and damage yang dibuat untuk membantu negara yang rentan menghadapi dampak perubahan iklim. Yogen mengibaratkan dana loss and damage ini tidak ubahnya seperti perdagangan karbon karena negara-negara maju yang notabene negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia diperbolehkan untuk tidak mengurangi emisi gas rumah kacanya dengan hanya membayar dana loss and damage kepada negara yang rentan terkena bencana akibat perubahan iklim.
“Jadi solusi COP kurang strategis karena tidak menyasar akar permasalahan pemanasan global itu sendiri. Dan tidak adil karena negara maju boleh tidak mengurangi emisi gas rumah kacanya selama punya uang. dan kita negara berkembang yang tidak punya uang, kita harus mengurangi gas emisi rumah kacanya,” jelasnya.
Ajang COP, ujar Yogen selalu membahas terbatas hanya pada pengurangan penggunaan bahan bakar fosil di sektor transportasi dan industri ketika membicarakan tentang pemanasan global. Padahal, sebenarnya masalah terbesar dari pemanasan global bukanlah pada penggunaan bahan bakar fosil saja.
“Tahun 2006, dari laporan yang dikeluarkan oleh FAO disitu disebutkan bahwa peternakan hewan penyebab emisi yang jauh lebih besar dari emisi semua mobil dan industri bila digabungkan. Padahal selama ini COP hanya membicarakan soal bahan bakar fosil. Dan ternyata peternakan hewan menyumbang emisi yang jauh lebih besar dibandingkan emisi yang dihasilkan dari transportasi dan industri bila digabungkan,” jelasnya.
Penggundulan Hutan dan Industri Peternakan Hewan
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2019 melaporkan 75 persen penggundulan hutan atau deforestasi di dunia disebabkan oleh industri peternakan hewan. Menurutnya pola makan nabati dapat membebaskan jutaan kilometer persegi lahan untuk hutan penyerap karbon dan dapat mengurangi hingga 8 giga ton emisi karbon setiap tahun pada 2050.
“Peternakan hewan menghasilkan gas metana yang setara dengan 72 kalinya CO2 dan juga menghasilkan gas nitrogen oksida yang setara dengan 296 kalinya CO2. Sedangkan COP yang selama ini dibahas hanya membahas tentang bahan bakar fosil yang emisinya CO2,” jelasnya.
Selain itu, penggunaan lahan untuk peternakan hewan yang sangat luas tersebut ternyata manfaatnya tidak sebesar lahan pertanian. Berdasarkan laporan FAO, disebutkan bahwa 77 persen lahan yang digunakan untuk peternakan hewan hanya dapat menyumbang 18 persen pasokan kalori global, dan 37 persen pasokan protein dunia. Sedangkan 23 persen lahan pertanian, dapat menyumbang 82 persen pasokan kalori global, dan 63 persen pasokan protein global. [gi/em]
Forum