Sejak 2012, negara bagian Rakhine, Myanmar identik dengan kekerasan dan penderitaan manusia. Kekerasan antar masyarakat di sana sebagian besar disebabkan konflik sektarian dan etnis, di mana penduduk desa Buddha bertikai dengan etnik Rohingya yang sebagian besar Muslim. Kekerasan itu menyebabkan sekitar 140.000 orang lari menyelamatkan diri dari rumah-rumah mereka ke wilayah yang dikuasai pemerintah dan kamp-kamp yang didukung LSM.
Sejak itu, kondisi di kamp-kamp Badan Pengungsi PBB semakin memburuk.
Tetapi dua akademisi Australia yang telah mempelajari komunitas itu mengatakan sebuah survey baru-baru ini mengisyaratkan bahwa ada dukungan yang semakin besar dari kedua pihak untuk melakukan rekonsiliasi. Anthony Ware dan Ronan Lee dari Universitas Deakin Melbourne melakukan sebuah studi dengan mewawancarai 600 orang dan para pemimpin komunitas di negara bagian Rakhine. Lee mengatakan mereka menemukan hasil yang mengejutkan.
“Kami mendapati bahwa masing-masing pihak sangat bersimpati kepada pihak yang lain dan dengan situasi yang dialami. Menurut saya ada semacam fleksibilitas dari kedua bagian komunitas dalam menerima pihak lain, hak-haknya dan perannya.”
Rohingya bukan kelompok etnis yang diakui di Myanmar, yang juga dikenal sebagai Burma, sehingga tidak memiliki kewarganegaraan. Mereka tidak diperbolehkan memilih dalam pemilu baru-baru ini. Komisi Tinggi PBB urusan Pengungsi (UNHCR) memperkirakan lebih dari 800.000 orang di negara bagian Rakhine tidak memiliki kewarganegaraan.
Pemerintah pusat Myanmar dan komunitas Buddha Rakhine menentang penggunaan nama "Rohingya," istilah yang mencakup sekitar 1,3 juta Muslim yang sebagian besar tinggal di kota-kota di Rakhine utara.
Tetapi Lee mengatakan meskipun komunitas Muslim masih ingin dianggap sebagai "Rohingya" dalam segala bentuk identifikasi formal, banyak di antara mereka yang fleksibel, tetapi menolak penggunaan istilah "Benggali" yang diusulkan beberapa pejabat pemerintah.
Selain isu kewarganegaraan, para periset itu mendapati adanya persamaan baik di antara warga Buddha maupun Muslim.
Kedua komunitas itu telah menderita karena kekerasan yang terjadi ketika ekonomi Myanmar terdongkrak dengan investasi asing dan aktivitas ekonomi yang lebih bergairah karena situasi politik yang lebih terbuka.
Untuk sekarang ini, komunitas itu, seperti warga Myanmar lainnya, menaruh harapan pada Aung San Suu Kyi dan partainya, Liga Nasional bagi Demokrasi (NLD) untuk mengetahui apa yang telah direncanakan oleh calon pejabat politik baru di negara itu. Aung San Suu Kyi telah mengatakan bahwa pemberian kewarganegaraan kepada Rohingya bukan prioritas pemerintahannya, tetapi rencana pembangunan ekonominya bisa membantu komunitas itu untuk bangkit. [vm/al]