Sebuah laporan yang diterbitkan minggu ini menuduh rantai pasokan industri otomotif dunia sangat terkait dengan perusahaan-perusahaan yang secara langsung mempekerjakan secara paksa tenaga kerja di Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang di China atau membeli bahan baku dan produk lainnya dari perusahaan yang melakukan hal tersebut.
Laporan yang ditulis oleh sekelompok peneliti di Sheffield Hallam University, Inggris, berjudul “Driving Force” itu menuduh sebagian besar perusahaan otomotif di dunia menggunakan suku cadang yang didatangkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari Xinjiang, serta mendesak pemerintah dan perusahaan otomotif di seluruh dunia untuk memutus kerja sama tersebut.
“Hampir setiap produsen otomotif konvensional dan kendaraan listrik terpapar praktik kerja paksa di wilayah Uighur secara signifikan,” demikian kata laporan tersebut. “Industri otomotif tidak boleh menunggu lebih lama lagi untuk mulai melacak rantai pasokan mereka ke sumber bahan bakunya. Apabila tidak, hal itu akan memiliki risiko hukum, etika dan reputasi yang sangat besar.”
Perusahaan-perusahaan otomotif besar asal AS tidak segera menanggapi laporan itu. China sudah sejak lama membantah adanya kerja paksa di Xinjiang terlepas dari banyaknya bukti yang mendukung tuduhan PBB, kelompok HAM dan negara-negara Barat itu.
Dalam rincian mendetil yang terkadang disajikan, laporan itu menggambarkan bagaimana elemen kendaraan tertentu, seperti ban, jok, baterai, komponen elektronik dan lainnya, dapat ditelusuri asal-usulnya ke bahan baku asal Xinjiang, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Xinjiang, atau perusahaan-perusahaan yang ikut serta dalam program pemerintah China yang memaksa tenaga kerja dari Xinjiang untuk direlokasi paksa ke wilayah China lainnya untuk diwajibkan bekerja di sana.
Dengan mendokumentasikan kaitan komponen-komponen kendaraan itu ke Xinjiang, laporan tersebut memunculkan pertanyaan apakah pabrikan-pabrikan mobil mematuhi undang-undang AS, yaitu UU Pencegahan Kerja Paksa Uighur (UFLPA). [rd/jm]
Forum