Elon Musk, orang terkaya di dunia, mencapai kesepakatan untuk membeli Twitter seharga $44 miliar (sekitar Rp636,5 triliun) pada akhir April lalu. Kesepakatan itu mengakhiri drama yang diwarnai dengan ancaman agresif terhadap upaya akuisisi, sebelum akhirnya dilakukan penyerahan kendali pribadi salah satu platform media sosial paling berpengaruh di planet Bumi itu kepada Musk.
Akuisisi itu disambut beragam oleh masyarakat. Beberapa khawatir, Musk memiliki kendali terlalu besar atas platform tersebut.
Avery Van Pelt, mahasiswi asal Wyoming, khawatir akan semakin sering terjadi pelecehan di jagat Twitter. Kepada Associated Press, Avery mengatakan, “Tidak ada lagi kepemilikan jamak, itu seolah memberinya kekuatan penuh atas Twitter, dan saya rasa kondisi Twitter akan semakin buruk apabila ia mencoba membuka keran kebebasan berpendapat, karena itu akan memberi ruang pada penyebaran berita bohong, ujaran kebencian dan sebagainya, bahkan mungkin lebih banyak pelecehan.”
Sementara pasangan pensiunan asal negara bagian Seattle, Don dan Christie Riggs, menilai isu misinformasi dan konflik kepentingan berpotensi merusak platform berlambang burung itu.
“Kami khawatir akan apa yang mungkin ia lakukan dalam kaitannya dengan isu misinformasi, (misalnya) menghapus filter penyaring misinformasi,” ujar Don.
“Kemampuannya untuk memiliki kendali yang begitu besar, untuk mengontrol konten demi kepentingan pribadi, alih-alih kepentingan bersama,” imbuh Christie.
Twitter sempat dikenal sebagai corong mantan Presiden AS Donald Trump sebelum platform itu memblokirnya, dan Musk – yang memproklamirkan diri sebagai “pembela hak kebebasan berpendapat” – menyatakan ingin mereformasi apa yang dianggapnya sebagai upaya moderasi yang berlebihan di Twitter.
Beberapa pihak khawatir, pelonggaran moderasi Twitter justru akan memperburuk kondisi demokrasi. Jochen Ahlswede, warga Jerman, menganggap Musk bukanlah sosok yang tepat untuk mendefinisikan batasan-batasan platform sebesar Twitter.
“Insiden Presiden Trump, saya rasa, menunjukkan bahwa platform-platform ini punya pengaruh begitu besar terhadap diskursus publik, jadi saya rasa bukan ide yang baik apabila pengaruh ini ada di tangan satu orang saja dan saya pikir Musk juga seseorang yang bertindak menurut kepentingan finansialnya, bukan kepentingan masyarakat.”
Sementara itu, dalam sebuah pernyataan yang dirilis Twitter, Musk mengatakan bahwa, “kebebasan berpendapat adalah landasan demokrasi yang sehat, dan
Twitter adalah alun-alun digital di mana hal-hal yang penting bagi masa depan umat manusia diperdebatkan.”
Pendapat itu diamini Laura, pensiunan asal Minnesota, kepada AP. “Saya rasa suara (masyarakat) telah diredam dan kita perlu mendengar semua pendapat mereka.”
Perusahaan publik itu kini akan menjadi perusahaan swasta yang dimiliki oleh Musk, yang menegosiasikan pembelian dengan harga $54,20 per lembar saham. [rd/jm]