Minggu (18/11) pekan lalu, masyarakat Pulau Kapota di Wakatobi menemukan seekor paus terdampar. Berita penemuan itu menyebar ke berbagai pihak. Senin (19/11), staf dari Akademi Komunitas Kelautan dan Perikanan (AKKP) Wakatobi bersama WWF SESS, Balai Taman Nasional Wakatobi, dan masyarakat melihat langsung bangkai paus itu.
Sebenarnya, terdamparnya bangkai paus relatif sering di Indonesia. Apalagi, Indonesia memiliki perairan begitu luas dan menjadi jalur migrasi mamalia laut besar itu. Hanya saja, ada yang berbeda dengan bangkai paus di Kapota kali ini. Ketika para ahli datang, dan menyaksikan pembedahan oleh masyarakat, mereka menemukan 5,9 kilogram sampah di saluran pencernaan paus, yang didominasi sampah plastik.
Kartika Sumolang, MPA and Biodiversity Officer WWF Program Southern Eastern Sulawesi Subseascape (SESS), turut dalam operasi ini. Kepada VOA, dia mengatakan semestinya sampah plastik di perut paus ini menjadi pengingat bagi kita semua.
“Untuk sampah, mungkin ini menjadi peringatan bagi kita. Karena, ternyata ada beberapa kasus lain juga yang ditemukan beberapa paus yang isi perutnya sebagian merupakan sampah plastik. Dan kali ini kita menemukan kasus yang sama. Jadi, lebih baik, ini menjadi peringatan bagi kita untuk lebih hati-hati dan tidak membuang sampah ke laut, apalagi sampah plastik,” kata Kartika Sumolang.
Data yang dirilis oleh AKKP Wakatobi, jenis paus yang terdampar adalah Paus Sperma (Physeter macrocephalus). Panjangnya kurang lebih 9,5 meter dan lebar sekitar 4,3 meter. Paus ditemukan dalam keadaan mati dan mulai membusuk.
Seluruh sampah yang ada di perut paus kemudian diidentifikasi. Hasilnya, menurut daftar yang disusun di lapangan, ditemukan komposisi sampah berupa gelas plastik 750 gr (115 buah), plastik keras 140 gr (19 buah), botol plastik 150 gr (4 buah ), kantong plastik 260 gr (25 buah), serpihan kayu 740 gr (6 potong), sandal jepit 270 (2 buah), karung nilon 200 gr (1 potong), tali rafia 3.260 gr (lebih dari 1000 potong) dengan total berat basah sampah 5,9 kg. Para pengahar di AKKP Wakatobi akan melakukan analisis lebih lanjut terkait sampah tersebut.
“Namun, walaupun kita temukan sampah plastik dalam saluran pencernaan, tetapi karena kondisi paus yang sudah busuk, kita tidak bisa pastikan penyebab kematiannya,” kata Kartika.
“Yang patut kita pelajari, plastik yang bukan makanan paus, kok, bisa ada di saluran pencernaannya. Mungkin kita harus lebih bijak dalam penggunaan plastik, karena laut bukan tempat sampah,” kata Kartika menambahkan.
Data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) menyatakan bahwa sampah plastik Indonesia mencapai 64 juta ton/ tahun. Dari jumlah itu, 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. Data yang sama merinci, setidaknya 10 miliar lembar atau 85 ribu ton kantong plastik dibuang ke laut setiap tahunnya. Indonesia sendiri telah berkomitmen mengurangi sampah plastik di laut hingga 70 persen pada 2025.
Indonesia adalah penyumbang sampah laut terbesar kedua setelah Cina.
Dr. Mufti Petala Patria, ahli kelautan Departemen Biologi FMIPA UI dalam sebuah presentasi memaparkan, di seluruh dunia lebih dari 8 juta ton sampah plastik dibuang ke laut tiap tahunnya. Sekitar 80 persen sampah itu berasal dari aktivitas di darat seperti industri, saluran pembuangan, limbah yang tidak diproses dan pariwisata. Sedangkan sisanya berasal dari kegiatan di laut seperti perikanan, transportasi laut, dan industri lepas pantai.
Wakatobi, khususnya di sekitar Pulau Kapota adalah kawasan yang menjadi jalur migrasi paus dari belahan bumi utara ke selatan. Di akhir tahun, proses migrasi itu selalu diamati Balai Taman Nasional Wakatobi, karena paus merupakan satu dari 8 sumber daya penting yang selalu dimonitor.
Dr Defri Yona, peneliti dan dosen di Departemen Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang menegaskan, kasus ini harus menjadi alarm pengingat. Dia mengaku sangat prihatin ditemukannya sampah plastik di saluran pencernaan seekor paus. “Kita ini berpikir sampah plastik yang dipakai di darat tidak berbahaya dibuang ke laut, karena tidak ada manusia disana. Padahal, itu sangat berbahaya bagi biota laut dan akan kembali lagi ke manusia dalam bentuk yang sama berbahayanya,” kata Defri Yona.
Defri menambahkan, apa yang terjadi pada paus adalah dampak sampah makro plastik. Dimana yang ditemukan adalah sampah plastik berukuran besar, termasuk sandal dan gelas plastik. Namun sampah plastik sebagian juga berubah menjadi mikroplastik, yang dikonsumsi ikan. Mikro plastik itu nantinya akan kembali kepada manusia yang mengkonsumsi ikan laut tangkapan itu.
Defri mengingatkan, ini saatnya dipikirkan kembali dampak pemakaian plastik. Jika pun belum mampu meninggalkan plastik, setidaknya manusia mencegah plastik terbuang ke laut.
“Penggunaan plastik itu sudah sangat berlebihan. Plastik digunakan oleh manusia dan yang menjadi korban adalah makhluk hidup lainnya. Semua sampah yang kita produksi, sebagian kemudian berakhir di laut. Nah, sampah-sampah itulah yang kemudian akan mempengaruhi organisme di laut. Jangan pakai plastik lagi, atau kalau belum bisa, cegah jangan sampah masuk ke laut,” kata Defri.
Pada Selasa siang, sejumlah pihak telah memindahkan dan menguburkan bangkai paus ke lokasi yang lebih aman, jauh dari pemukiman manusia. Menurut rencananya AKKP Wakatobi akan menggunakan tulang paus itu kelak sebagai sarana pendidikan di kampus mereka. [ns/em]