Pemerintah pusat telah menyalurkan dana Otonomi Khusus (Otsus) ke Papua selama dua dekade. Pemekaran daerah juga dilakukan untuk memperbaiki kualitas layanan birokrasi dan memenuhi tuntutan daerah. UU No 2/2021 disahkan sebagai landasan hukum baru bagi Otsus Papua. Sayangnya, kondisi kedua provinsi secara umum tidak banyak berubah.
Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr Siti Zuhro menilai, Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang dikucurkan pemerintah belum mampu mewujudkan tujuannya. Papua masih menjadi provinsi termiskin. Alokasi dana itu juga membuat pemerintah daerah tidak kreatif dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Persoalannya adalah, pengelolaan keuangan daerah masih lemah, kapasitas kelembagaan pemerintah daerah kurang, sehingga berpengaruh terhadap penyelengaraan pemerintahan daerah,” ujar Siti dalam diskusi Menjalankan Kebijakan Baru untuk Papua, yang diselenggarakan Kantor Wakil Presiden, Senin (15/11).
Dana Otsus Bias Politik
Siti memaparkan sejumlah temuan lapangan yang diperoleh peneliti BRIN. Sejauh ini, Papua dan Papua Barat belum memiliki rencana induk terkait dana Otsus ini. Perencanaan program cenderung berbasis kepentingan atau pertimbangan politik.
“Program yang didanai dana Otsus dan istimewa, cenderung belum berorientasi kepada kebutuhan masyarakat lokal. Pengeloaan dana Otsus dan istimewa juga berbasis kepentingan atau pertimbangan politik,” kata Siti.
Faktor yang menciptakan kondisi tersebut, tambah Siti, juga cukup beragam. Kapasitas birokrasi misalnya yang masih rendah, sehingga masyarakat kampung di Papua tidak didampingi dalam mengelola dana Otsus. Masifnya pemekaran daerah di Papua dan Papua Barat juga menyebabkan pengelolaan dana Otsus tidak efisien.
“Dana Otsus lebih banyak dinikmati oleh elite politik dan birokasi, sehingga kurang terdistribusi kepada masyarakat bawah. Dana ini juga berpotensi digunakan untuk kepentingan politik dan keamanan, dalam konteks Pilkada,” tambahnya.
Kondisi itu, membuat dampak pembangunan di Papua dan Papua Barat kurang dirasakan oleh Orang Asli Papua.
Siti juga mengkritik pengawasan penggunaan dana Otsus oleh lembaga pusat, daerah dan masyarakat yang selama ini tidak berjalan. Pemeriksaan teknis, kata dia, tidak menyentuh substansi.
“Kita harus mendorong lembaga pengawasan terkait dana Otsus mulai keluar dari zona lama. Zona yang memang masih dilingkupi rasa saling tidak percaya, sehingga mengganggu efektifitas pola pengawasan,” ujarnya lagi.
Hati-Hati Pemekaran Papua
Papua juga mengalami pemekaran daerah dalam jumlah sangat besar selama era reformasi. Dalam catatan Prof Djohermansyah Djohan, mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Papua mengalami penambahan 320 persen.
Data menunjukkan, pada 1999 Papua hanya memiliki satu provinsi dan sembilan kabupaten/kota. Pada 2021, jumlahnya menjadi dua provinsi, yaitu Papua dan Papua Barat. Papua kini memiliki 28 kabupaten dan satu kota, dengan 384 distrik. Sedangkan Papua Barat memiliki 12 kabupaten dan satu kota dengan 124 distrik.
Pemerintah pusat telah mewacanakan pemekaran wilayah di Papua, antara lain dengan menciptakan provinsi baru. Dasar hukumnya adalah UU No.2/2021, di mana pemekaran wilayah ternyata dapat dilakukan bahkan tanpa melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua. Djohermansyah menyebut, ketentuan hukum ini memiliki tantangan dalam pelaksanaannya.
“Itu harus hati-hati kita, bagaimanapun DPRP adalah lembaga politik hasil pemilihan umum, sedang MRP merupakan lembaga representasi kultural yang menjadi cita cita, berkumpulnya orang-orang adat, tokoh agama, wakil perempuan yang merepresentasikan orang asli Papua,” kata Djohermansyah.
Dia juga mengingatkan, pemekaran wilayah yang terlalu banyak mengakomodasi pertimbangan politik berpotensi gagal. Pertimbangan teknis, misalnya memudahkan masyarakat menerima layanan birokrasi, harus lebih diutamakan.
Pemekaran wilayah yang telah, sedang dan berlanjut di Papua juga memiliki tantangan tersendiri. Djohermansyah mencontohkan, telah ada wacana untuk melakukan judicial review UU No2/2021. DPR Papua dan MRP juga menolak dasar hukum baru itu. Selain itu, kemampuan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah induk untuk membiayai daerah pemekaran juga tidak begitu baik saat ini.
“Semakin meruncingnya konflik Papua dan Jakarta juga menjadi persoalan,” tambahnya.
Menunggu Dampak UU Baru
Dr Agus Sumule, akademisi Universitas Papua menyebut, UU No 2/2021 sebenarnya memperjelas sejumlah persoalan yang selama ini membelit daerah itu. Salah satunya, kewenangan daerah kini lebih jelas dijabarkan.
“Karena pada era UU 21/2001, soal kewenangan yang bolak-balik menjadi persoalan antara pemerintah di Papua, baik Papua maupun Papua Barat dengan pemerintah pusat,” ujar Agus.
Perbaikan juga terjadi di sektor keuangan, di mana dana Otsus disalurkan lebih besar. Ada juga Peraturan Pemerintah di bawahnya, yang mengatur dengan jelas bagaimana dana itu dikumpulkan dan dikelola. Harapan perbaikan selanjutnya dengan UU baru adalah adanya Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua, yang semestinya selesai akhir tahun ini. Agus berharap, Bappenas sebagai penyusun mendengarkan aspirasi masyarakat Papua.
Kemajuan juga ada di sektor politik, dengan keterwakilan lebih besar orang asli Papua.
“Di bawah perubahan UU, ada tambahan 15 persen terhadap total anggota DPRP, khusus untuk provinsi dan kabupaten/kota. Dan 15 persen itu harus orang asli Papua, dan dari 15 persen itu, 30 persennya harus perempuan.
Agus juga menyambut baik lahirnya Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otsus Papua, yang dipimpin Wakil Presiden, sebagai amanat UU baru ini.
Meski begitu, pengamat politik J Kristiadi menyebut, ada sejumlah hal yang belum ada dalam UU baru Otsus Papua. Hal pertama yang dia catat, adalah belum adanya ketentuan tentang pembentukan Komisi Kebenaran. Padahal menurutnya, komisi ini merupakan instrumen klarifikasi sejarah Papua guna mengonstruksi budaya serta nilai-nilai asli orang asli Papua di tengah keragaman Indonesia.
“Bagi saya ini penting dan sudah menjadi bagian dari kendala yang harus dihadapi badan ini, untuk memahami bahwa ada isu sensitif yang sebenarnya minta diperhatikan oleh orang Papua,” ujar Kristiadi.
Faktor kedua yang penting tetapi terlewatkan dari UU baru Otsus Papua, lanjut Kristiadi, adalah soal partai politik lokal yang dihilangkan. Kondisi ini membuat berbagai aspirasi kepentingan masyarakat tidak dapat disalurkan oleh lembaga yang berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
“Tanpa itu saya khawatir, akan terjadi gerakan-gerakan di luar kendali. Meskipun membentuk partai tidak seperti membentuk warung. Perlu pendidikan lagi,” tambah Kristiadi.
Tiga Fenomena Memprihatinkan
Tokoh senior Papua, Michael Menufandu menyebut tiga fenomena yang menggambarkan kurang harmonisnya hubungan Papua dan Jakarta. Fenomena pertama adalah kecenderungan generasi muda Papua yang makin berani menentang dan menilai Indonesia sebagai kolonialis, kapitalis dan militeristik. Padahal, mereka lahir, tumbuh, dan berkembang di era pemerintahan Indonesia melalui pendidikan yang baik dan teratur.
Fenomena kedua adalah soal stigmatisasi yang berlanjut.
“Mengapa ada ketidakpercayaan pemerintah pusat terhadap masyarakat Papua, dengan pemberian stigma politik separatis, stigma sosial kebodohan dan stigma keterbelakangan,” papar Michael.
Fenomena ketiga adalah pengembangan struktur organisasi dan penambahan anggota militer serta polisi secara intensif dan masif. Pilihan kebijakan ini, kata Michael seolah menempatkan orang Papua sebagai musuh Indonesia yang harus diberantas.
“Ini menjadi pertanyaan akademis dan politis, dan bagaimana masalah ini bisa diatasi bersama,” katanya lagi.
Pendekatan struktural, budaya dan agama, kata Michael, penting dilakukan. Pemerintah daerah harus tampil mewakili dan dekat dengan rakyat. Orang Asli Papua tidak bisa ditempatkan seolah sebagai pengemis. Pada sisi lain, pemerintah daerah dan pusat harus membangun rasa saling percaya. Selain itu, hubungan masyarakat asli Papua dan pendatang juga harus didasari pada kepercayaan.
Pendekatan budaya juga penting, karena keanekaragaman masyarakat di sana. Ada tiga zona tempat tinggal, yaitu pesisir dan pulau kecil, dataran rendah dan kaki gunung, serta di pergunungan dan pedalaman.
“Masing-masing memiliki karakteristik yang bervariasi, baik struktur sosial, sistem kepemimpinan, kepemilikan tanah, sistem nilai dan orientasi hidup, sistem ekonomi juga aksesibilitas dan respons terhadap pembangunan,” tambah Michael, yang juga menyebut faktor tokoh agama yang kuat membuat pendekatan keagamaan juga penting di Papua. [ns/lt]