Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu meminta DPR tidak membahas RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol. RUU ini diusulkan oleh 21 anggota fraksi PPP, fraksi PKS dan fraksi Gerindra. Ia beralasan larangan minuman beralkohol akan membuat orang menjadi korban kriminalisasi karena pengecualian larangan dalam RUU tersebut tidak diatur dengan jelas dan akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
"Kita akan punya beban kriminalisasi yang sangat tinggi yang bisa menyebabkan kelebihan beban Lapas seperti yang kita hadapi sekarang. Tindakan sewenang-wenang, sistem yang bisa jadi korup, peredaran pasar gelap yang begitu besar karena alkohol," jelas Erasmus Napitupulu kepada VOA, Kamis (12/11/2020).
Erasmus menambahkan larangan minuman beralkohol merupakan pendekatan yang usang dan pernah dilakukan di Amerika Serikat pada kurun 1920-1933. Kata dia, akibat pelarangan tersebut terjadi perang antarkelompok yang marak dan penjara semakin penuh. Serta minuman beralkohol justru dikuasai oleh pedagang atau bandar secara gelap.
Selain itu, kata Erasmus, pengaturan tentang penggunaan alkohol yang membahayakan sudah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Semisal dalam Pasal 492 dan Pasal 300 KUHP. Pemerintah juga telah mengeluarkan aturan pengendalian alkohol melalui Peraturan Menteri Perdagangan Indonesia No. 25 Tahun 2019 tentang pengendalian dan pengawasan terhadap minuman beralkohol.
"Memang betul kita harus mengatur tentang alkohol. Tapi ingat pengaturan itu harus berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Pembatasan usia beli untuk anak-anak dan tempat-tempat pembelian, serta legalitas alkohol," tambahnya.
ICJR juga meminta DPR mengkritisi RUU yang diusulkan tiga fraksi tersebut. Sebab berdasarkan pengamatan ICJR, naskah akademik RUU Larangan Minuman beralkohol tidak memuat riset yang mendalam. Padahal RUU ini berpotensi membebani APBN untuk pembiayaan proses hukum calon terpidana terkait larangan minuman beralkohol.
Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ledia Hanifa Amaliah mengatakan RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol masih dalam tahap usulan. Menurutnya, masyarakat dapat memberikan masukan atau kritik terhadap RUU ini dalam tahapan ini.
"Draf itu dan naskah akademik, mereka (pengusul) sudah siapkan. Karena tidak mungkin diharmonisasi kalau tidak ada naskah akademik dan draf. Tahapannya itu sedang disampaikan keterangan pengusul dan itu akan dilakukan harmonisasi terhadap peraturan perundangan lainnya," jelas Ledia Hanifa kepada VOA, Kamis (12/11/2020).
Ledia meminta masyarakat yang keberatan dengan RUU ini agar menyampaikan secara tertulis ke lembaganya sehingga dapat semakin memperkaya RUU Larangan Minuman beralkohol. Menurut Hanifa, hanya ada dua anggota fraksi PKS yang ikut mengusulkan RUU ini bersama fraksi PPP dan satu anggota fraksi Gerindra.
VOA sudah berusaha menghubungi sejumlah anggota fraksi PPP dan anggota fraksi Gerindra terkait usulan RUU ini. Namun, mereka belum mau memberikan tanggapan hingga berita ini diturunkan.
Dalam draf RUU Larangan Minuman Beralkohol, disebutkan dalam Pasal 7 bahwa "Setiap orang dilarang mengonsumsi Minuman Beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, Minuman Beralkohol Tradisional, dan Minuman Beralkohol Campuran atau Racikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4."
Orang yang melanggar larangan tersebut akan diancam dengan pidana penjara paling sedikit tiga bulan dan paling lama dua tahun atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp50 juta. [sm/ab]