Masyarakat internasional mengecam Rusia atas keputusan Mahkamah Agung di Krimea – semenanjung di Laut Hitam yang dianeksasi Rusia tahun 2014 – untuk melarang "Mejlis", yaitu suatu perwakilan eksekutif kelompok Tatar Krimea, yang dinyatakan sebagai organisasi ekstremis.
Putusan hari Selasa itu (26/4), Mahkamah Agung mengikuti putusan Kementerian Kehakiman Rusia yang pekan lalu membubarkan Mejlis karena melakukan apa yang disebut sebagai “kegiatan ekstremis”.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Mark Toner mengatakan larangan "Mejlis" Tatar Krimea “menghabisi sedikit keterwakilan dan sumber daya yang dimiliki Tatar dibawah pendudukan Rusia”.
Ditambahkannya, Tatar Krimea menghadapi penindasan, tekanan dan diskriminasi, dan hampir 10.000 warga “telah dipaksa mengungsi dari rumah mereka dan mereka yang masih bertahan telah menjadi korban penganiayaan, pemukulan dan penahanan sewenang-wenang”.
Pejabat-pejabat Eropa juga mengecam tindakan Rusia terhadap Mejlis.
Dalam wawancara VOA dengan mantan kepala Mejlis Mustafa Dzhemilev – mantan anggota parlemen Ukraina dan kepala komisi rakyat Tatar Krimea di Ukraina – mengatakan ia tidak terkejut dengan putusan itu.‘’Kami memahami apa yang masih kami hadapi dengan Uni Soviet yang baru."
Kami pernah melalui hal ini, dimana gerakan nasional Tatar Krimea selalu dilarang semasa Uni Soviet.Kami disebut sebagai ‘agen Barat’, atau ‘anti-Soviet’, atau ‘tukang fitnah’.Kami dianiaya, dipenjara. Tetapi ini semua berakhir ketika gerakan nasional bisa mengembalikan rakyat ke tanah air mereka dan Uni Soviet terpecah”. [em]