Ketika David Christian mengutarakan niatnya membuat gelas yang bisa dimakan untuk mengurangi sampah plastik, ide pendiri dan CEO Evo & Co itu ditanggapi skeptis oleh kedua orang tuanya dan kerabat.
“Reaksi mereka ‘Siapa yang mau makan gelas?’, ‘oh orang Indonesia gak peduli dengan seperti itu, atau ‘harganya nanti bagaimana?,” tutur David mengisahkan awal mula bisnisnya.
Namun, pria berusia 27 tahun itu mampu menepis keraguan orang tua dan para kerabatnya. Tentunya juga mewujudkan idenya membuat gelas yang bisa dimakan.
Melalui perusahaan yang didirikannya, Evo & Co, David mengembangkan barang-barang sehari-hari dari berbagai bahan ramah lingkungan, seperti gelas dari rumput laut, kantong plastik dari singkong, sedotan dari kertas dan beras.
Ide membuat barang-barang ramah lingkungan berawal ketika David merasakan kualitas lingkungan yang jauh berbeda saat kembali ke Jakarta, setelah empat tahun – dari 2011-2015 -- belajar di Vancouver, Kanada.
“(Di Kanada) terbiasa lingkungan yang bersih dan benar-benar rapi. Begitu pulang ke Indonesia, batuk-batuk. Di sini kotor, banyak sampah dan polusi. Terasa sekali bedanya,” ujar David.
Seperti halnya di negara-negara berkembang atau emerging market, penggunaan kemasan plastik sekali pakai untuk barang-barang konsumsi sehari-hari, seperti untuk sampo dan mie instan cukup tinggi. Akibatnya, polusi plastik sampah sangat memprihatinkan.
Menurut studi Jambeck Science pada 2015, Indonesia adalah satu dari lima negara yang bertanggung jawab membuang lebih dari 50 persen sampah plastik ke laut-laut di dunia. Pada 2025, Indonesia diperkirakan akan menghasilkan sebanyak 150 ribu ton sampah, sebagian besar terdiri dari plastik.
Berangkat dari pengalaman pribadi dan kondisi lingkungan Indonesia itu, David tergerak mengembangkan produk-produk ramah lingkungan untuk membantu Indonesia mengurangi produksi limbah. Kalau bisa hingga nol.
Berpikir Ulang
Misi David ketika mendirikan Evo & Co adalah membuat produk-produk unik yang bisa meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap masalah-masalah lingkungan. Terutama, kata David, agar konsumen berpikir ulang mengenai penggunaan plastik sekali pakai.
“Kami berpikir tidak hanya menyediakan barang, tapi orang tidak aware mengapa mesti mengganti plastik sekali pakai. Kami ingin menginspirasi orang lain untuk sadar mengenai isu lingkungan dan membuktikan ada alternatif atau solusi-solusi untuk permasalahan plastik,” ujar David.
Produk pertama yang diciptakan David adalah Ello Jello, wadah dari rumput laut, yang diluncurkan pada 2016. Wadah berwarna-warni seperti perhiasan, bisa diisi minuman dan aneka hidangan penutup. Dan "hap!"... Ello Jello dapat langsung dimakan. Rumput laut sebagai bahan dasar Ello Jello dipasok oleh dari Makassar, yang juga salah satu sentra produksi rumput laut di Indonesia.
Dia tertarik membuat Ello Jello setelah melihat seseorang di Jepang membuat gelas dari cumi-cumi.
Tak punya latar belakang pendidikan sains tidak menyurutkan semangat David, yang belajar bisnis internasional di Kanada. Berbekal pengetahuan hasil berselancar di internet dan uji coba sendiri, David bisa membuat gelas yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga aman dikonsumsi.
Pada 2017, perusahaan David meraih hadiah inovasi sebesar $1 juta dari Yayasan Ellen MacArthur. Dengan dana tersebut, Evo & Co. mulai mengembangkan produk-produk lain dari berbagai bahan-bahan yang bisa terurai alami di alam. Antara lain, kotak makanan yang terbuat dari ampas tebu, kayu, bambu dan kertas serta kantong belanja dari singkong. Lalu pada Maret tahun ini, Evo & Co meluncurkan sedotan dari beras. Bahan-bahan untuk memproduksi produk-produk tersebut didapat dari dalam negeri.
Ada Rupa, Ada Harga
Harga kemasan ramah lingkungan yang jauh lebih mahal dari produk-produk dari plastik masih jadi kendala memperluas penjualan.
Kemasan dari bahan ramah lingkungan, misalnya, kata David, bisa 2-3 kali lipat lebih tinggi dari plastik biasa. Pasalnya, biaya produksi kemasan plastik bisa jauh lebih murah karena diproduksi masal dan bahan baku berasal dari sisa pemrosesan minyak mentah.
“Kalau produk natural belum lama dikembangkan, belum banyak produksi massal dan harga produksi belum bisa ditekan. Harga bahan baku juga belum bisa ditekan karena harganya lebih tinggi,” papar David yang masuk daftar ”30 under 30 – 2020” versi Majalah Forbes Indonesia karena produk inovatifnya.
Meski tak murah, produk-produk Evo & Co mulai banyak dilirik sejumlah perusahan seiring dengan meningkatnya kesadaran akan isu-isu lingkungan hidup.
Salah satu pengguna produk Evo & Co adalah Agung Sedayu Retail Indonesia (ASRI), anak perusahaan pengembang properti Agung Sedayu Group.
Chief Operating Officer (COO) ASRI David Hilman mengatakan pihaknya menggunakan produk-produk Evo & Co. untuk gelas, sedotan, dan wadah makanan di jaringan bioskop Flix Cinema yang dikelola perusahan itu.
“Kami coba pakai produk yang no single-use sebanyak mungkin, mulai dari gelas, sedotan, ember popcorn, bahkan sampai piring untuk hotdog semua bisa di daur ulang. Kami belum sampai 100 persen, masih jauh, tapi kami mencoba untuk menghindari penggunaan wadah sekali pakai,” ujar David.
Pelanggan lainnya adalah jaringan Restoran Steak Abuba
General Manager Abuba Ali Ariansyah mengakui menggunakan kemasan ramah lingkungan memang lebih mahal, tetapi hal ini merupakan investasi untuk masa depan. Terutama setelah Ali melihat berbagai tanggapan positif dari konsumen setia di restoran Abuba.
“Mungkin ini akan menghasilkan lebih banyak bisnis di masa depan dan mungkin ini akan menjadi sebuah keharusan saat para pelanggan mulai berkata, ‘saya hanya ingin makan di restoran yang hijau atau ramah lingkungan’,” kata Ali.
Tersengat Corona
Bisnis Evo & Co. saat ini juga tak luput dari dampak pandemi virus corona. Perusahaan David mengalami penurunan order sebesar 90 persen karena para pelanggannya, seperti restoran, hotel-hotel dan sejumlah mal, tutup untuk mematuhi aturan pembatasan sosial berskala besar.
Untuk menekan kerugian, David berinovasi dengan meluncurkan produk ‘healthy kit’, paket berisi produk-produk perawatan, seperti jamu empon-empon atau sabun organik, yang dikemas dengan bahan ramah lingkungan.
“Kotak ‘besek’ ini terbuat dari kayu. Dibungkus kantong yang terbuat dari singkong, kantong plastiknya juga terbuat dari singkong, Penyanitasi tangan dan sabunnya pun organik, jadi semuanya sangat ramah lingkungan,” papar David.
Selain itu, Evo & Co juga menawarkan kantong belanja dari singkong ke sejumlah apotek untuk membungkus obat-obatan para konsumen mereka. Namun sejauh ini upaya itu belum membuahkan hasil.
Namun David Christian optimistis mereka akan berubah pikiran. Apalagi pada Juni nanti, DKI Jakarta akan menerapkan larangan penggunaan plastik sekali pakai.
“Kami akan menggunakan momentum ini dan sekaligus mensosialisasikannya,” ujar David. [rw,au/ft]