Tautan-tautan Akses

Pakar: Risiko Khusus Serangan Cyber bagi Afrika


ARSIP – Seorang pria Somalia bersilancar di internet dengan telepon pintarnya di garis pantai Samudra Hindia di ibukota Somalia, Mogadishu, 10 Januari 2014 (foto: REUTERS/Feisal Omar)
ARSIP – Seorang pria Somalia bersilancar di internet dengan telepon pintarnya di garis pantai Samudra Hindia di ibukota Somalia, Mogadishu, 10 Januari 2014 (foto: REUTERS/Feisal Omar)

Di seluruh dunia, bahaya yang ditimbulkan oleh kejahatan cyber semakin meningkat – dengan insiden-insiden yang menarik perhatian seperti kasus serangan ransomware ‘Wannacry’ belum lama ini adalah contoh semakin meningkatnya ancaman. Para pakar cyber mengatakan Afrika khususnya menanggung risiko ini disebabkan oleh pesatnya peningkatan pengguna internet dan teknologi selular, sedangkan keamanan cyber di benua itu tidak mampu untuk mengimbanginya.

Adopsi teknologi di seluruh Afrika tumbuh secara eksponensial. Perdagangan daring di benua itu diperkirkan bernilai $75 miliar menjelang tahun 2025. Namun bersamaan dengan timbulnya peluang juga timbul risiko, ujar seorang konsultan keamanan cyber yang berpusat di London, William Kapuku-Bwabwa.

“Sebagian besar negara di Afrika tidak dilengkapi dengan infrastruktur keamanan cyber. Dan bagi negara-negara yang memilikinya, infrastruktur kemanan cyber mereka masih berada pada tahap pemula,” ujarnya.

Sebuah laporan oleh perusahaan keamanan internet, Norton, mengatakan hampir 9 juta warga Afrika Selatan mengatakan mereka mengalami kejahatan cyber pada tahun 2016. Di seluruh Afrika, kejahatan cyber menimbulkan kerugian yang besar, ujar Stephanie Itimi, seorang penasihat pada Africa Business Portal.

“Afrika sebagai sebuah benua menderita kerugian lebih dari $2,5 miliar setahun akibat kejahatan cyber. Nigeria salah satunya menderita kerugian lebih dari $500 juta,” ujarnya.

Seperti internet, kejahatan cyber dengan mudah melintasi perbatasan, dan Afrika menjadi salah satu korban dari serangan global baru-baru ini. Ransomware – dimana para penjahat menuntut uang sebagai imbalan untuk memulihkan piranti-piranti yang mengalami kelumpuhan – selain juga virus-virus dan penipuan di ranah media sosial yang keseluruhannya telah mempengaruhi benua itu. Namun para pakar memperingatkan, kurangnya kesiapan di Afrika menimbulkan risiko-risiko lainnya.

“Sebagian besar negara-negara Afrika tidak memiliki rencana manajemen krisis keamanan cyber. Dan merekat tidak memiliki bentuk pendidikan apapun, selain itu undang-undang yang ada juga tidak cukup memadai karena mereka lebih fokus pada kejahatan tradisional,” ujar William Kapuku-Bwabwa.

Nigeria hanya salah satu dari negara-negara Afrika yang telah menerapkan undang-undang khusus kejahatan cyber. Namun hanya sedikit yang diajukan ke pengadilan terkait kejahatan ini, ujar Stephanie Itimi.

“Dengan undang-undang yang sudah ada, penegakan hukum belum dilakukan secara semestinya. Dan alasan mengapa ada permasalahan dalam penerapan undang-undang tersebut karena mereka tidak memiliki pengacara dengan latar belakang pendidikan terkait kejahatan cyber untuk dapat membawa tuntutan terhadap kejahatan ini ke depan hakim,” ujarnya.

Afrika adalah pemimpin global dalam pengadopsian teknologi selular untuk transfer keuangan, dengan lebih dari 1 dari 10 orang yang memanfaatkan teknologi ini. Para pakar memperingatkan para penjahat cyber melihat kondisi itu sebagai suatu kerentanan – dan mereka semakin berupaya untuk menyasar perangkat selular untuk pencurian identitas dan penipuan. [ww]

XS
SM
MD
LG