Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengonfirmasi bahwa tuduhan-tuduhan kecurangan Pemilihan Presiden 2024 yang ditujukan terhadap pemerintah tidak berdasar. Jokowi menegaskan, keputusan tersebut sudah final dan mengikat. Hal ini merupakan pertama kalinya Jokowi berbicara setelah sebelumnya enggan berkomentar tentang sengketa Pilpres 2024.
“Pertimbangan hukum dari putusan MK yang juga menyatakan bahwa tuduhan-tuduhan terhadap pemerintah seperti kecurangan, intervensi aparat, politisasi bansos, mobilisasi aparat, ketidaknetralan kepala daerah, telah dinyatakan tidak terbukti dan ini yang terpenting bagi pemerintah,” ungkap Jokowi di sela-sela kunjungan kerjanya di Mamuju, Sulawesi Barat, Selasa (23/4).
Menurutnya, sudah saatnya semua pihak bersatu padu dalam menghadapi tantangan ke depan, seperti faktor geopolitik, dapat membuat semua negara tertekan dan terdampak. Maka dari itu, semua pihak menurutnya harus bekerja sama dengan baik.
“Saatnya bersatu, bekerja, membangun negara kita dan pemerintah mendukung proses transisi dari pemerintahan sekarang ke nanti pemerintahan yang baru. Kita akan siapkan karena sudah sekarang MK sudah, tinggal nanti penetapan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum -red) besok,” tegas Jokowi.
Pengamat politik Ujang Komaruddin menilai pernyataan Jokowi terkait putusan MK ini menjadi ajang pembuktian kepada seluruh masyarakat bahwa tuduhan kecurangan dalam pemilu tidak terbukti di persidangan.
“Itulah sebenarnya yang membuat Pak Jokowi berani membuat pernyataan. Artinya Pak Jokowi ingin membersihkan diri bahwa selama ini yang dituduhkan tidak benar. Tapi memang kalau bicara soal konteks hukum, itu adalah soal pembuktian, dan pembuktian ini yang berat bagi 01 dan 03, kenapa? Agak sulit untuk bisa diterima, pasti akan ditolak karena pembuktiannya sulit,” ungkap Ujang.
Menurutnya, kalaupun ada kecurangan, akan sulit bagi kubu 01 dan 03 untuk membuktikan di persidangan, karena banyak yang harus dibuktikan secara teknis di lapangan. Apalagi, Prabowo-Gibran menang telak karena memperoleh suara lebih dari 50 persen.
“Bagaimana bisa membuktikan itu 01 dan 03? Nggak mungkin, karena harus dilihat per TPS (Tempat Pemungutan Suara -red) di mana curangnya? Kapan curangnya? Siapa yang melakukan? Kan sulit untuk pembuktiannya itu. Makanya kalau kita bicara pemilu secara umum, hampir pascareformasi ketika MK ada dan gugatan masuk setiap lima tahun sekali, hampir sulit untuk membuktikan kecurangan itu,” jelasnya.
Selain itu, kata Ujang, bukti-bukti yang disodorkan oleh pasangan 01 dan 03 dianggap oleh hakim tidak kuat untuk membuktikan adanya kecurangan. Bahkan kesaksian empat menteri pun dinilai semakin menguntungkan Jokowi dalam sengketa pilpres tersebut.
“Seandainya 01 dan 03 bisa membuktikan secara kuat bisa jadi ceritanya lain. Misalnya bansos (bantuan sosial -red), dihadirkan menteri, menterinya tidak merugikan Jokowi itu juga sudah menjadi sesuatu yang katakanlah sudah kalah di depan 01 dan 03 itu. Sebenarnya kalau bisa membuktikan secara nyata, real kecurangan-kecurangan itu, saya rasa akan berubah putusan itu. karena buktinya lemah, inilah yang membuat Pak Jokowi diuntungkan dalam konteks pembuktian di MK tersebut,” jelasnya.
Ia pun memprediksi bahwa koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran dalam lima tahun ke depan akan cenderung gemuk. Hal ini terlihat dari berbagai pertemuan Prabowo dengan pemimpin partai-partai yang yang sebelumnya mengusung Anies-Cak Imin dan Ganjar-Mahfud.
“Bisa jadi Pak Prabowo koalisinya 70 persen, itu kemungkinannya kalau saya analisa. Pak Jokowi saja sampai 82 persen, apalagi kemarin (Partai) Demokrat masuk berarti hampir 90 persen. Itu yang membuat demokrasi tidak sehat yang akhirnya menjadikan misalnya Omnibus Law dieksekusi, UU KPK dieksekusi karena tidak ada penyeimbang yang kuat di situ,” tuturnya.
Sementara itu, pengamat politik Arifki Chaniago menilai pernyataan Jokowi terhadap putusan MK seolah membersihkan dirinya dari tuduhan-tuduhan yang selama ini dialamatkan kepada dirinya dalam Pilpres 2024 ini.
“Bagi saya meskipun putusan MK itu putusan hukum, tapi secara politik ini bargaining juga bagi Pak Jokowi bahwa isu-isu negatif yang selama ini dimunculkan oleh 01 dan 03 ini tidak terbukti. Karena meskipun politik adalah opini, tetapi bagi ranah hukum ini pembuktian dan pembuktiannya sudah ditegaskan oleh MK tidak ada,” ungkap Arifki.
Senada dengan Ujang, Arifki menilai bahwa kalaupun ada kecurangan di dalam pesta demokrasi lima tahunan itu, maka akan cukup sulit untuk membuktikannya di ranah hukum. Menurutnya, bukti-bukti yang disodorkan oleh 01 dan 03 di persidangan, dianggap oleh hakim MK lebih kepada opini publik, dan tidak terbukti di ranah hukum.
“Ini yang tidak dijawab oleh 01 dan 03 dengan clear sehingga hal ini menjadikan bahwa opini yang terbangun sebelum pilpres atau pasca-pilpres terhadap keterlibatan Pak Jokowi pada akhirnya ini secara hukumnya tidak terbukt. Karena begitulah yang diungkapkan oleh hakim MK,” jelasnya.
“Artinya sebagai pengamat politik, saya menilai bahwa opini-opini publik mengenai kemungkinan kecurangan bisa saja muncul atau tidak. Namun, pembuktian kecurangan berada dalam ranah hukum, bukan politik, dan ternyata hukum tidak mampu membuktikan adanya kecurangan tersebut. Dengan demikian, dari segi politik, tidak dapat disimpulkan adanya kecurangan karena tidak ada bukti hukum yang mendukungnya,” pungkasnya. [gi/ah]
Forum