Tautan-tautan Akses

Rencana Privatisasi Perang di Afghanistan Disambut Dingin


Ayub Khawreen, kiri, dari VOA Afghan Service, mewawancarai pendiri Blackwater Erik Prince tentang usulan kontroversial untuk memprivatisasi sebagian besar perang Amerika Serikat di Afghanistan.
Ayub Khawreen, kiri, dari VOA Afghan Service, mewawancarai pendiri Blackwater Erik Prince tentang usulan kontroversial untuk memprivatisasi sebagian besar perang Amerika Serikat di Afghanistan.

Usulan kontroversial pendiri Blackwater Erik Prince untuk memprivatisasi sebagian besar perang Amerika di Afghanistan mulai mendapat tentangan di Kabul dan Washington DC.

Presiden Donald Trump dilaporkan sedang mempertimbangkan usul itu sebagai bagian dari kajian yang dilakukan beberapa bulan terakhir ini terhadap perang di Afghanistan yang telah berlangsung selama 16 tahun, dimana Amerika menemui jalan buntu.

Prince menilai rencananya itu merupakan cara mengubah situasi perang tanpa memakan banyak biaya. Berdasarkan usulan itu, akan ada sekitar 5.000 kontraktor yang menggantikan personil pasukan Amerika, yang kini memberi nasehat pada pasukan Afghanistan. Para kontraktor ini akan didukung oleh 90 pesawat tempur dan beroperasi di bawah kendali Afghanistan, ujar Prince. “Ini semua akan berada di bawah kewenangan pemerintah pusat dan kendali kepala staf pasukan bersenjata Afghanistan. Ini bukan mengembangkan milisi lokal,” ujar Prince dalam wawancara dengan VOA.

Banyak Pihak di Afghanistan Khawatir dengan Usul Komersialisasi Militer

Namun semakin banyak orang di Afghanistan yang khawatir jika militer swasta komersil sebagaimana usulan Prince itu tidak bisa dimintai pertanggungjawaban kelak, dan langkah itu ditengarai beresiko mengulangi kekejaman yang dilakukan pasukan Blackwater di Iraq dan Afghanistan pada tahun 2000an.

Pemerintah Afghanistan belum menanggapi secara resmi usul itu. Tetapi seorang pejabat senior pertahanan Afghanistan mengatakan pda VOA, “rencana itu memiliki masalah hukum dan menimbulkan pertanyaan soal kesepakatan keamanan bersama antara Afghanistan dan Amerika.”

Seorang Marinir AS berjabat tangan dengan tentara Angkatan Darat Nasional Afghanistan dalam sebuah latihan di Helmand province, Afghanistan, 5 Juli 2017. (Foto:dok)
Seorang Marinir AS berjabat tangan dengan tentara Angkatan Darat Nasional Afghanistan dalam sebuah latihan di Helmand province, Afghanistan, 5 Juli 2017. (Foto:dok)

Pejabat Afghanistan yang tidak bersedia disebut namanya karena tidak berwenang bicara secara terbuka tentang usul itu, secara khusus menyebut tentang Perjanjian Kemitraan Strategis Amerika-Afghanistan yang berlaku sejak tahun 2012, dan juga Perjanjian Keamanan Bersama yang ditandatangani tahun 2014, beberapa bulan setelah Presiden Ashraf Ghani menjabat sebagai pemimpin baru negara itu.

Pendahulunya, Presiden Hamid Karzai, menolak menandatangani perjanjian itu, meskipun majelis tradisional Afghanistan “Loya Jirga” menyetujuinya.

Perubahan perjanjian-perjanjian itu dinilai akan memperumit situasi di Afghanistan.

Misi Tempur di Afghanistan Berakhir Tahun 2014, Kini Tinggal 9.000 Tentara AS

Saat ini ada sekitar 9.000 tentara Amerika di Afghanistan. Sejak pasukan NATO yang dipimpin Amerika mengakhiri misi tempur mereka di Afghanistan pada tahun 2014, sebagian besar tentara dissana bertugas khusus melatih dan memberi nasehat pada pasukan Afghanistan.

Tetapi sejak mengambilalih kendali keamanan di negara mereka, militer Afghanistan justru kewalahan menghadapi Taliban. Pemerintah Kabul kini hanya menguasai separuh negara itu. Beberapa pejabat Pentagon, termasuk Menteri Pertahanan Jim Mattis, mengakui bahwa Amerika belum memenangkan perang tersebut.

Perang di Afghanistan memang sangat mahal. Amerika diperkirakan akan menghabiskan sekitar 45 miliar dolar untuk tahun ini saja. “Dibanding seluruh anggaran pertahanan Inggris, Amerika saat ini menghabiskan lebih banyak anggaran hanya untuk Afghanistan. Amerika tidak bisa terus begini selamanya,” ujar Prince, yang mengklaim bisa melakukan pekerjaan itu dengan kurang dari 10 miliar dolar per tahun. (em)

XS
SM
MD
LG