Referendum yang bertujuan untuk meningkatkan hak-hak penduduk asli Australia justru memicu gelombang hinaan dan pelecehan rasis, dengan perdebatan sengit menyebar secara online dan di media.
Pemungutan suara pada tanggal 14 Oktober akan memutuskan apakah pada akhirnya akan mengakui orang-orangAborigin yang juga dikenal sebagai First Nations dalam konstitusi.
Nenek moyang mereka berada di Australia selama 60.000 tahun sebelum pemerintahan kolonial Inggris dimulai pada akhir tahun 1700-an.
Reformasi ini akan memberikan masyarakat adat hak untuk memberi nasihat kepada parlemen yang disebut Voice, untuk membantu mengatasi kesenjangan yang mengakar termasuk kesehatan yang lebih buruk, pendidikan yang lebih lemah, dan tingkat pemenjaraan yang lebih tinggi.
Namun survei-survei terbaru menunjukkan dukungan terhadap referendum itu telah anjlok selama setahun terakhir dan kemungkinan besar akan gagal.
Perdebatan ini menimbulkan ketidakpastian mengenai ruang lingkup dan dampak reformasi itu. Hal ini juga memicu ketegangan rasial. “Ini melibatkan serangan pribadi, pelabelan seseorang sebagai ‘bukan warga Australia’ dan melanggengkan stereotip berbasis ras,” kata Komisioner Diskriminasi Ras Australia, Chin Tan, kepada AFP.
"Saya kecewa karena cara beberapa orang terlibat dalam perdebatan telah memicu ketegangan rasial dan merugikan masyarakat First Nations. Perilaku rasis sebagian besar sulit dikontrol di ranah publik,” katanya.
“Rasisme tidak boleh diterima sebagai bagian dari pertukaran ide dalam debat publik,” lanjutnya.
Survei baru-baru ini menunjukkan jumlah responden yang mendukung referendum mengalami perubahan. Kini, yang menjawab “ya” atau mendukung hanya di atas 40 persen dan yang menjawab “tidak” hampir mencapai 60 persen. Situasi ini hampir berbanding terbalik dengan situasi tahun lalu.
Para penentang mengkritik usulan tersebut karena kurangnya rincian dan menciptakan birokrasi yang tidak perlu.
Laporan rasisme terkait masyarakat adat telah meningkat sejak bulan Juli, menurut profesor kriminologi Universitas Teknologi Sydney, Chris Cunneen, yang memimpin sebuah proyek yang mendokumentasikan situasi tersebut.
Jumlah pengaduan rasisme dalam daftar “Call It Out” terkait referendum telah meningkat menjadi sekitar 30 persen sejak Juli, katanya.
Pada bulan-bulan sebelumnya, angkanya delapan persen. “Kami juga melihat peningkatan laporan rasisme online di media sosial dan media berita selama periode yang sama,” kata Cunneen.
Saluran bantuan kesehatan mental nasional untuk masyarakat First Nations, 13YARN, memberikan gambaran serupa.
Terdapat peningkatan 108 persen dalam jumlah penelepon yang melaporkan pelecehan, rasisme, dan trauma pada bulan Maret-Juni dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kata seorang juru bicara.
Profesor komunikasi Universitas Queensland, Timothy Graham, memeriksa ribuan postingan terkait Voice di X, yang sebelumnya bernama Twitter.
Ia menemukan adanya "gangguan besar dalam komunikasi publik mengenai referendum itu di seluruh ekologi media Australia". [ab/uh]
Forum