Seakan tidak mau ketinggalan dengan warga di tanah air, setiap bulan Agustus, terutama pada sekitar tanggal 17, diaspora Indonesia di Amerika menyelenggarakan berbagai kegiatan terkait dengan perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Kegiatan berupa festival, bazar dan sejenisnya itu terutama diadakan di kota-kota Amerika di mana terdapat konsentrasi besar warga Indonesia.
Salah satu kegiatan yang tergolong unik berupa “Pasar Senggol” juga digelar sebagai bagian dari serangkaian pesta rakyat yang digagas oleh diaspora Indonesia di Kota New York di mana terdapat sekitar 15 ribu warga Indonesia.
“Pasar Senggol” di Kota New York, metropolitan terbesar di Amerika Serikat? Ya, benar. “Pasar Senggol” akan digelar oleh diaspora Indonesia yang bermukim di kota yang juga dijuluki “Big Apple” itu. Penggagas utama hajatan ini adalah Indonesian Gastronomy Association (IGA), sebuah lembaga nirlaba yang didirikan oleh warga Indonesia pegiat tata boga di Kota New York.
Dewi Eva Mulya, yang telah menjadi New Yorker selama hampir 12 tahun, adalah salah seroang aktivis IGA. Kepada VOA dia menjelaskan bahwa kegiatan ini dimaksudkan menjadi titik temu dengan teman-teman baru dan sebagai arena untuk mempererat persahabatan dengan kawan-kawan lama.
“Kenapa dinamakan “Pasar Senggol?” Karena pasar itu kan tempat bertemunya penjual dan pembeli yang tidak saling mengenal yang akhirnya bisa jadi langganan. Kenapa senggol? Karena di pasar itu saking ramenya orang-orang bisa bersenggolan dan karena kita bersenggolan, maka kita jadi bisa saling mengenal. Jadi, tempat kita bisa berkenalan dengan orang baru dan mungkin kita bisa menjalin hubungan yang lebih dekat. Dari tidak kenal menjadi kenal dan semakin dekat,” jelasnya.
Dewi mengatakan “Pasar Senggol” pada tanggal 20 Agustus ini adalah yang kedua dan diadakan setelah sukses dengan yang pertama pada tahun lalu.
Asep Purnama, salah seorang aktivis IGA yang telah tinggal di Kota New York selama 10 tahun dan berlatar belakang jasa hospitality, menambahkan bahwa “Pasar Senggol” ini diharapkan menjadi tempat bertemunya diaspora Indonesia dari semua golongan, suku, agama, profesi, dan lain sebagainya.“Di pasar semua ragam masyarakat ada di situ, baik yang pribumi maupun pendatang, dan beragam agama ada di situ. Kita lihat di sini kebhinnekaan kita. Jadi kita ingin mempersatukan diri . Jadi, pasar itu merupakan kumpulan seluruh masyarakat Indonesia. Kita bersatu di situ, kita saling berhubungan erat di situ,” jelasnya.
Selain menjadi arena berkumpul sesama diaspora Indonesia, “Pasar Senggol” ini juga diharapkan menjadi sarana promosi makanan Indonesia. “Kami mau mempromosikan makanan Indonesia, khususnya yang halal karena kita kan negara muslim terbesar, tapi makanan halal kita kurang terkenal. Seperti kalau kita terbang dan kita minta makanan halal kita dapat kari, sementara makanan halal itu di Indonesia banyak sekali selain kari,”
Menurut Dewi, selain menjadi ajang promosi kuliner, kegiatan ini juga dimaksudkan untuk mempromosikan budaya Indonesia yang amat, sangat beragam. Dia menambahkan bahwa membuat Indonesia lebih dikenal lagi “merupakan PR kita sebenarnya.”
Asep menimpalinya dengan mengatakan, “Ya, apalagi di Indonesia ini sekarang sudah ada 37 provinsi. Nah, selama ini yang dikenal hanya Bali, sehingga kita sebenarnya masih ingin memperkenalkan banyak provinsi dengan berbagai potensinya.”
Selain hajatan besar “Pasar Senggol” tahunan, yang tahun ini adalah yang kedua, IGA juga menyelenggarakan acara bulanan untuk mempopulerkan makanan khas Indonesia secara tematik. “Jadi setiap bulannya itu temanya berbeda, baik secara provinsi, misalnya yang sudah kita angkat seperti DKI. Secara budaya, acara yang paling besar sebelum COVID itu dari Sumatera Barat. Ketika itu sampai ada pengantinnya juga. Jadi, tidak cuma kuliner.”
Asep menegaskan tujuan pembentukan IGA, tidak lain adalah untuk mempopulerkan kuliner Indonesia di Amerika, khususnya di Kota New York.“Kita punya tekad itu mempromosikan culture and cuisine, terutama makanan halalnya,” paparnya.
Khalayak yang diharapkan menghadiri “Pasar Senggol” tidak hanya dari kalangan diaspora Indonesia, melainkan juga dari masyarakat non-Indonesia di Kota New York, sesuai tujuan mengenalkan dan mempromosikan budaya Indonesia kepada khalayak yang lebih luas.
“Targetnya bukan hanya diaspora Indonesia tapi juga masyarakat kota New York pada umumnya. Makanya kita mengadakan Pasar Senggol ini sudah merupakan tahun yang kedua,” kata Dewi.
Untuk itu, kata Dewi, acara ini diadakan di Brooklyn, di mana kaum milenial sering nongkrong. Lokasi persisnya di tepi sungai (East River) dengan latar belakang pencakar langit Kota New York. Dia mengatakan bahwa berdasarkan kehadiran pada tahun lalu, sekitar 60 persen pendatang ke acara “Pasar Senggol” justru orang asing (bukan warga Indonesia).
Menurut Asep, sasaran khalayak kawula muda ini juga untuk memenuhi rasa keingintahuan mereka. “Jadi kita memang memperkenalkan makanan Indonesia itu ke anak-anak muda karena mereka curious (ingin tahu). Mereka bertanya-tanya: Indonesia itu seperti itu? Apa makanannya? Seperti apa kebudayaannya? Seperti tahun kemarin kami memperkenalkan angklung, dan mereka sangat excited (bergairah), dan itu merupakan suatu budaya yang sama sekali baru bagi mereka, yang baru mereka lihat. Mereka heran bahwa bambu digoyang-goyang ada suaranya. Jadi mereka wow (sangat kagum) dan itu pertama kali diadakan di New York City,” jelasnya.
IGA adalah organisasi nirlaba yang baru secara resmi berdiri tiga tahun lalu, sehingga secara keuangan para pengurusnya lebih sering nombok untuk menyelenggarakan kegiatan seperti “Pasar Senggol” ini. Namun, baik Dewi maupun Asep mengaku bahwa kalaupun ada keuntungan dari kegiatan yang diadakan, maka sebagai lembaga nonprofit “kami akan mengembalikannya kepada masyarakat.”
“Jadi misalnya selama COVID kita kembalikan semuanya ke masyarakat. Kami membagikan sembako ke komunitas Indonesia. Seperti kemarin pas bulan puasa kami mengadakan buka bersama di masjid. Kami mengadakan program-program untuk komunitas Indonesia sehingga uangnya balik ke komunitas Indonesia.”
Baik Dewi maupun Asep berharap bahwa diaspora Indonesia di Kota New York benar-benar menjadi bagian dari kota itu. “
New York City itu kan melting pot, jadi beragam negara itu ada di sini, beragam bahasa dan makanan, dan kami dari IGA sudah memperkenalkan diri dan mulai banyak bekerjasama dengan pemda (pemerintah daerah) setempat supaya dikenal, karena seperti Thailand, Bangladesh, India, mereka sudah terkenal. Nah sekarang waktunya untuk Indonesia supaya terdengar gaungnya. Jadi kita banyak pendekatan dan ikut mengundang serta berpartisipasi dalam acara-acara yang dibuat oleh pemda setempat,” ujar Dewi.
Dewi mengatakan, undangan tersebut antara lain disampaikan kepada para pejabat pemerintah daerah setempat. Hasilnya, pada bulan Juni lalu IGA mengadakan bazar yang dihadiri oleh presiden Queens Borough, yang sempat menunjukkan kekagetannya bahwa ternyata ada masyarakat Indonesia, dan ada organisasinya di distrik itu.
“Tanggapannya itu luar biasa, dan mereka amat, sangat support seperti City Council 21 juga mereka amat support karena selama ini tak terdengar, nyaris tak terdengar suaranya karena kita nggak ada organisasinya, nggak ada suaranya, nggak ikut kegiatan apapun. Sekarang, ya Insya Allah, ke depannya kita akan menjadi bagian dari New York City,” lanjutnya.
Asep menambahkan bahwa IGA telah berkolaborasi dengan pemda setempat dan secara resmi telah mendapat ijin dari Dinas Pertamanan Kota New York untuk menggunakan taman-taman di kota itu untuk kegiatan bazar Indonesia secara rutin. [lt/ab]
Forum