Ratusan migran asal Asia Selatan terdampar tanpa pekerjaan selama berbulan-bulan di Malaysia setelah pekerjaan yang diimingi-imingi kepada mereka kandas meski mereka telah membayar agen perekrutan sebesar ribuan dolar.
Di asrama mahasiswa yang terletak sekitar 40 km dari Ibu Kota, Kuala Lumpur, sekitar 500 migran – kebanyakan pemuda dari Nepal dan Bangladesh yang tiba di Malaysia sejak Desember – menghabiskan hari-hari mereka di kamar yang penuh sesak atau di udara terbuka kafetaria.
Mereka mengatakan mereka tiba di negara itu dengan visa kerja yang berlaku selama tiga bulan yang menurut rencana akan ditingkatkan menjadi izin kerja, tetapi rencana tinggal rencana. Mengingat status hukum mereka tidak jelas, mereka takut untuk meninggalkan tempat tersebut, kata para pekerja di asrama itu kepada Reuters.
Banyak migran yang mengatakan agen perekrutan mengambil paspor mereka dan terus menjanjikan pekerjaan.
"Kami semua tertekan dan tidak berdaya. Kami telah membayar biaya yang besar untuk pekerjaan itu. Bagaimana saya bisa membayarnya kembali jika saya tidak memiliki pekerjaan?" ujar seorang migran asal Nepal kepada Reuters.
Pria berusia 23 tahun, yang menolak untuk diidentifikasi karena takut akan reaksi dari agen perekrutan, menandatangani kontrak selama dua tahun dengan sebuah perusahaan pembersih Malaysia. Namun hingga kini ia belum mulai bekerja. Dia mengatakan dia, seperti orang lain di sana, meminjam 300.000 rupee Nepal atau sekitar Rp33,8 juta untuk membayar agen agar bisa mendapatkan pekerjaan itu. Dia dijanjikan gaji bulanan sebesar 2.062 ringgit atau sekitar Rp6,8 juta per bulan.
Semua pekerja yang berada di asrama tersebut menceritakan kisah serupa: setelah tiba di Malaysia, agen perekrutan memberi tahu mereka bahwa tidak ada pekerjaan yang tersedia dan membawa mereka ke fasilitas akomodasi untuk menunggu. Mereka kemudian diberi tahu bahwa pada akhirnya mereka akan dipekerjakan; sementara itu, mereka harus membayar makanan mereka sendiri tanpa gaji.
Tidak jelas bagaimana para pekerja berakhir tanpa pekerjaan meskipun tiba di Malaysia dengan kontrak kerja dan janji bahwa visa kerja sementara mereka akan menjadi permanen pada saat kedatangan. Malaysia bulan lalu meluncurkan penyelidikan.
Migran merupakan tulang punggung bagi ekonomi Malaysia yang bergantung pada ekspor. Buruh migran mencapai sekitar 15 persen dari 15 juta tenaga kerja negara itu. Perusahaan Malaysia telah menerima sejumlah sanksi dari AS dalam beberapa tahun terakhir karena penggunaan tenaga kerja paksa.
Aktivis HAM mengatakan pekerja migran menghadapi risiko lebih besar setelah Malaysia melonggarkan proses perekrutan tahun ini dalam upaya mengisi 1,2 juta kekurangan pekerjaan di industri perkebunan, manufaktur, dan konstruksi.
"Ini masalah yang lebih besar sekarang," kata Adrian Pereira, direktur eksekutif kelompok hak-hak migran Inisiatif Utara Selatan, menambahkan bahwa timnya telah menerima laporan sekitar 1.200 pekerja lain di seluruh Malaysia yang terjebak dalam keadaan yang sama.
Kedutaan Besar Bangladesh di Kuala Lumpur bulan lalu menyerukan pemerintah Malaysia agar lebih transparan untuk mencegah warganya ditipu saat berupaya mendapatkan pekerjaan.
Seorang pejabat Bangladesh, yang berbicara dengan syarat anonim karena sensitivitas isu yang dibahas, mengatakan kepada Reuters bahwa "beberapa ratus" warganya terjebak di Malaysia tanpa pekerjaan.
Kedutaan Nepal juga mengatakan menerima keluhan semacam itu.
Di fasilitas yang dikunjungi oleh Reuters, para migran tinggal empat sampai enam kamar kecil dengan tempat tidur susun dan satu kamar mandi bersama.
Dua pekerja - warga negara Nepal berusia 43 dan 46 - meninggal karena bunuh diri antara Februari dan April di fasilitas tersebut, kata Kedutaan Nepal di Kuala Lumpur, mengutip laporan dari polisi dan rumah sakit Malaysia. Reuters tidak dapat mengetahui alasan mengapa kedua pria itu bunuh diri.
Tanpa penghasilan, para migran kesulitan untuk membeli makanan dan membayar kembali pinjaman di kampung halaman.
"Kami masih belum tahu apakah kami akan mendapatkan pekerjaan atau tidak. Agen terus meminta kami untuk menunggu...sudah tiga bulan," kata seorang pekerja Bangladesh. [ah/rs]
Forum