Penggunaan pesawat udara tanpa awak (drone) di Indonesia mulai marak dalam 2 tahun terakhir. Alasan penggunaannya pun bermacam-macam mulai dari penelitian, mengantar barang, hingga dokumentasi peristiwa penting. Semisal untuk mengabadikan kampanye terbuka Pemilu 2019 yang dimulai sejak 24 Maret hingga 13 April 2019 lalu.
Salah satu pengguna drone itu adalah Dedy Sunandar, kamerawan salah satu media nasional di Jakarta. Menurut Dedy, hampir setiap hari ada rekan-rekannya yang berprofesi jurnalis menggunakan drone untuk meliput kampanye.
Dedy mengatakan video yang dihasilkan drone lebih menarik ketimbang dengan kamera biasa karena dapat memperlihatkan keramaian dari ketinggian tertentu. Dedy sendiri hanya memakai drone satu kali yaitu saat "Konser Putih Bersatu" yang dilakukan oleh pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Sabtu (13/4).
Namun, kala itu, ia hanya menerbangkan dronenya di depan Kampus Atmajaya Jakarta, bukan di GBK, karena sempat ada pengumuman tidak boleh ada penerbangan drone di GBK.
"Penontonnya sih lebih banyak yang pakai drone ya. Karena penampakan drone dari segi gambar lebih menarik, bisa memperlihatkan suasana lebih lebar dari atas. Lebih melihatkan keramaian dan sebagainya," jelas Dedy kepada VOA, Selasa (16/4).
Dedy menjelaskan saat itu tidak meminta izin ke pejabat yang berwenang karena drone miliknya hanya terbang sekitar 7-8 meter. Dedy kini sudah dapat dikatakan penerbang drone yang profesional karena telah mengantongi sertifikasi dari Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) bersama ratusan jurnalis lainnya.
"Saya belum lama (pakai drone), karena sertifikasinya baru. Kemarin sertifikasi dari FASI mengeluarkan yang baru. Selama ini hanya dari komunitas saja. Jadi saya ditugaskan dari kantor untuk mengambil sertifikasi dari FASI," kata Dedy menambah.
Sedikit berbeda dengan Dedy, Oyi Kresnamurti mengatakan kerap menggunakan drone karena hobby. Selama musim kampanye, ia terhitung sudah menerbangkan drone sebanyak 2 kali, yaitu saat Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kampanye di GBK pada Minggu (7/4) dan Kota Tangerang pada Sabtu (13/4). Oyi mengaku tidak meminta bayaran apapun dari pekerjaan tersebut. Untuk hobi ini, Oyi setidaknya harus merogoh kocek sekitar Rp 19 juta untuk membeli drone.
"Berangkatnya dari aksi 411 pada November 2016. Sebelumnya ada aksi besar juga cuma tidak ada drone yang terbang, saya dapat undangan supaya ikut komunitas drone Ababil kalau tidak salah,” kata Oyi menjelaskan.
“Nah, sejak itu sejak ada aksi bela Islam kita terbang terus. Keterusan sampai terakhir 212 Desember kemarin. Akhirnya kita buat grup sendiri yang isinya pilot-pilot drone yang satu visi. Dan yang di GBK kemarin diajak," papar Oyi.
Setelah mengambil gambar, Oyi selanjutnya mengunggah gambar-gambar tersebut ke akun facebook dan instagram miliknya. Hasil karya Oyi banyak diminati warganet, terlihat dari banyaknya yang menyukai dan melihat gambar tersebut.
"Kalau di Instagram yang terakhir 38 ribu views dan 8 ribuan like. Di Facebook sampai berapa ratus share gitu. Kalau di Youtube saya tidak main, hanya untuk dokumentasi saya sendiri," tambahnya.
Sama dengan alasan Dedy, Oyi juga dengan alasan tidak terbang terlalu tinggi dan tidak melanggar aturan tidak meminta izin ke FASI. Ia juga pernah mengaku mendapat kritik dari seseorang karena aktivitas penerbangan drone-nya dianggap membahayakan orang. Namun, ia mengaku kritik tersebut tak menyurutkan niatnya mengabadikan aksi-aksi komunitas Islam yang satu dinilai sevisi dengan dirinya.
Kesadaran Pengguna Drone Meningkat
Wasekjen Federasi Aero Sport Indonesia (FASI), Agung Sasongkojati mengatakan, penerbangan drone bukanlah kegiatan yang main-main. Menurutnya, aktivitas penerbangan drone haruslah mengikuti aturan dan undang-undang penerbangan yang berlaku di Indonesia, termasuk mengikuti kaidah keselamatan terbang.
Namun, menurutnya kesadaran masyarakat Indonesia dalam menggunakan drone saat ini sudah mulai membaik. FASI, kata dia, terus melakukan sosialisasi tentang aturan dan keselamatan terbang kepada komunitas-komunitas penerbang drone dalam 2 tahun terakhir. FASI juga mencatat setidaknya sudah ada lebih dari 700 orang yang sudah mendapat lisensi drone dan 1.000-an orang sudah mengikuti kursus singkat.
"Tentunya mereka menjadi pioner-pioner atau pemimpin-pemimpin di komunitasnya. Bahwa menerbangkan drone itu bukan mainan atau bukan sekedar foto udara. Menerbangkan drone itu adalah menjadi penerbang dan kena UU Penerbangan, aturan penerbangan dan tentunya harus mengikuti kaidah-kaidah keselamatan terbang," kata Agung Sasongkojati di Jakarta menjelaskan, Senin (14/4).
Agung menambahkan ada puluhan ribu komunitas penerbang drone yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Ia mengimbau kepada komunitas-komunitas tersebut agar bergabung dengan lembaganya melalui 42 perwakilan FASI Daerah yang berada di pangkalan-pangkalan TNI Angkatan Udara.
Menurutnya, ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh komunitas drone jika bergabung dengan FASI. Antara lain mendapat pelatihan, pembinaan,serta kemudahan dalam mengurus izin drone, yang berkaitan dengan rekreasi dan hobi.
Di samping itu, anggota FASI juga mendapat informasi tentang aturan terbaru yang berkaitan dengan drone. Sebab, ancaman bagi penerbang drone yang melanggar aturan bisa mencapai denda ratusan juta rupiah hingga hukuman tahunan penjara.
"Bila terbang tanpa izin di daerah terlarang itu maksimal 8 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Bila terbang di daerah terbatas itu pidananya 3 tahun penjara, serta denda sekitar Rp 500 juta. Bila terbang tanpa lisensi, maka dia terkena 1 tahun penjara maksimal dan denda Rp 200 juta," tambahnya.
Sementara jika terbang di wilayah Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) dapat diancam dengan hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Adapun yang termasuk di wilayah KKOP yaitu 15 kilometer dari bandara. Menurutnya, sanksi pidana tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan. [sm/em]