Ketika ditanya “Pernahkah anda mendengar (apa itu) Ramadan?”, Doris Sang, mahasiswa Universitas Washington, mengatakan sama sekali tidak tahu, sementara rekannya, Shoshana Billic, paham sedikit saja. Ia mengatakan bahwa sebatas yang diketahuinya Ramadan adalah bulan suci umat Islam.
Di sisi lain, ada non-Muslim Amerika yang sepintas tahu bahwa dalam bulan Ramadan Muslim menahan diri untuk tidak makan dan minum dari subuh sampai magrib sebulan penuh. Mereka juga tahu alasan berpuasa, yaitu karena Tuhan mewajibkannya atau untuk berempati kepada mereka yang kurang beruntung. Namun, kebanyakan dari mereka hampir tidak pernah mendengar alasan pokoknya, yaitu Ramadan adalah saat untuk mengendalikan kebutuhan badaniah, saat untuk melindungi dan menyucikan panca indera, dan saat untuk meningkatkan ketakwaan.
Dalam menyikapi ketidaktahuan ini banyak Muslim Amerika menggunakan kesempatan puasa Ramadan untuk merangkul komunitas di sekeliling mereka. Ashraf Sufi dan keluarganya yang tinggal di Topeka , Kansas, misalnya, kerap mengundang tetangga-tetangganya yang non-Muslim untuk berbuka puasa bersama. Ia mengatakan bahwa acara berbuka di rumahnya menjadi seperti dialog antar agama, karena seringkali kedatangan sekitar 70 orang, termasuk dari kelompok Nasrani, Yahudi, Budha, dan Bahai.
Kecenderungan warga Amerika untuk melakukan kerja sukarela juga mempengaruhi cara Muslim Amerika menjalankan tradisi Ramadan, seperti yang dilakukan Nabila Mango, pekerja sosial di San Fransisco. Ia mengatakan bahwa sejak enam tahun belakangan acara buka puasa yang dikelolanya di distrik Tenderloin menarik sekitar 100 sukarelawan dari beragam latar belakang agama.
Upaya untuk memberi pemahaman tentang Ramadan juga aktif dilakukan asosiasi mahasiswa Muslim di berbagai kampus melalui program yang disebut Fast-a-thon. Kegiatan sosial yang bertujuan memberi pemahaman mengenai isu kelaparan dan sekaligus cara hidup Muslim itu mengajak mahasiswa non-Muslim berpuasa sehari penuh seperti yang dilakukan Muslim sebulan penuh.
Meskipun banyak pemberitaan yang kurang berimbang mengenai Islam, upaya untuk memberi pemahaman Ramadan ditanggapi positif. Tahun lalu, lebih dari 250 universitas di seluruh Amerika menggelar kegiatan Fast-a-thon, bahkan banyak dari lembaga pendidikan tinggi itu juga menyediakan fasilitas untuk sholat tarawih.
Pada tingkat yang lebih tinggi upaya untuk memahami Ramadan juga nampak jelas. Gedung Putih dan berbagai lembaga pemerintahan Amerika lainnya, seperti Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan, sejak beberapa tahun terakhir ini mengadakan acara buka puasa bersama.
Jadi, dengan membuka diri, non-Muslim di Amerika bukan saja lebih mudah memahami Ramadan, tetapi juga bisa menepis pandangan keliru tentang Islam, seperti yang dikatakan Hassan Hatim, mahasiswa Muslim di Universitas Washington.
“Dunia Barat adalah tempat terbaik untuk mengubah pandangan apa pun, baik atau buruk. Di sini ada berbagai sumber informasi serta dukungan dan orang Barat terbuka untuk mendengar. Apa yang kita lakukan di sini akan bergema ke seluruh dunia. Itu adalah tanggung jawab kita.”