Tautan-tautan Akses

Rakyat Perancis Pilih Macron, Tolak Le Pen


Kandidat independen berhaluan tengah Presiden Perancis, Emmanuel Macron, tengah, melambaikan tangan saat meninggalkan TPS setelah memberikan hak suaranya di putaran kedua di Le Tourquet, Perancis, Minggu, 7 Mei 2017 (foto: AP Photo/Christophe Ena)
Kandidat independen berhaluan tengah Presiden Perancis, Emmanuel Macron, tengah, melambaikan tangan saat meninggalkan TPS setelah memberikan hak suaranya di putaran kedua di Le Tourquet, Perancis, Minggu, 7 Mei 2017 (foto: AP Photo/Christophe Ena)

Hasil-hasil pendahuluan yang dilansir segera setelah TPS-TPS ditutup pada hari Minggu menunjukkan Macron meraih 65 persen suara dibandingkan dengan 34,5 persen yang direbut Le Pen.

Emmanuel Macron, mantan bankir dan menteri ekonomi yang berusia 39 tahun, menjadi presiden termuda Perancis. Ia maju sebagai calon independen, dan ia harus membuat awal baru bagi negara yang terpecah belah itu.

“Rakyat semua, halaman baru pada sejarah panjang negara kita dibuka malam ini. Saya ingin halaman ini berisi harapan dan kepercayaan yang diperbarui. Kehidupan baru politik kita akan dimulai sedini besok. Kehidupan politik yang bermoral, yang mengakui kemajemukan dan vitalitas demokrasi kita akan menjadi bagian paling penting dari tindakan saya sejak hari pertama menjabat,” ujar Emmanuel Macron.

Perasaan lega terlihat pada pesta kemenangan Macron di halaman utama Louvre di Paris,

Frank Kamandoko, pendukung Macron mengatakan,

“Saya khawatir akan Marine Le Pen karena ia menabur perpecahan di negara ini. Itu sebabnya saya tak punya pilihan lain selain mendukung Emmanuel Macron."

Kampanye presiden, yang mengangkat isu-isu sensitif mengenai lapangan kerja, terorisme dan masyarakat minoritas Muslim Perancis, menyingkap perbedaan pendapat di negara yang biasa membanggakan keterbukaannya itu

Bagi banyak pemilih, ini merupakan kampanye paling kasar dan paling buruk, serta menimbulkan ketakutan mengenai fasisme.

Brigitte Pons, seorang pemilih, mengungkapkan,

“Saya tidak sependapat dengan Macron, dengan kebijakan-kebijakannya, tetapi setidaknya saya tahu bahwa di bawah kepemipinannya saya masih dapat turun ke jalan dan menyatakan pendapat serta berdemonstrasi. Sedangkan dengan Marine, saya tidak tahu apakah saya masih akan memiliki kemampuan untuk mengemukakan pendapat.”

Marine Le Pen sendiri segera mengakui kekalahannya. Ia mendesak para pendukungnya agar terus maju.

“Saya meminta semua patriot agar bergabung dengan kami mengambil bagian dalam pertarungan politik menentukan yang dimulai malam ini. Dalam beberapa bulan mendatang, Perancis akan sangat membutuhkan Anda.”

Para pejabat Perancis menyatakan 4 juta pemilih abstain. Tetapi hujan di Paris tidak menghalangi para pemilih untuk antre pada pagi hari di distrik 12 kota itu, di sekolah di mana terdapat sebuah prasasti untuk mengenang 15 anak Yahudi yang dibawa ke kamp-kamp kematian Nazi.

Eric Dupin, seorang analis politik, mengatakan,

“Mayoritas rakyat Perancis mengkhawatirkan Marine Le Pen, cemas akan kelompok ekstrem kanan dan tahu bahwa Front Nasional pimpinannya tidak siap menjalankan kekuasaan. Apabila berkuasa, mereka akan menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat Perancis dengan cara yang sangat berbahaya dan berisiko menimbulkan kekerasan. Jadi, masuk akal, rakyat Perancis memilih Macron bukannya Marine Le Pen."

Pemilu Perancis ini bersejarah, karena untuk pertama kalinya dalam era modern ini partai-partai tradisional tidak terlibat dalam pemilihan presiden.

Akan tetapi rakyat Perancis memilih perubahan secara berhati-hati, bukannya revolusi. [uh/ab]

XS
SM
MD
LG