Rahman Adi Pradana terpilih menjadi salah seorang dari 21 calon pemimpin muda di Asia Pasifik yang diundang Obama Foundation ke Hawaii, Amerika. Tak menyangka bisa bertemu secara langsung dengan Presiden Obama, Adi malah tertegun ketika mantan orang nomor satu di Amerika itu menyapanya dalam bahasa Indonesia.
Awal Januari lalu Obama Foundation mengumumkan 21 anak muda dari Asia Pasifik yang terpilih untuk mengikuti program “Asia-Pasific Leaders Program 2019” di Hawaii, Amerika, selama satu minggu; bertemu dan berdiskusi langsung dengan sejumlah pejabat, aktivis, dan tentu saja Presiden Barack Obama.
Dalam pernyataan pers yang diterima VOA, Obama mengatakan “berada di East-West Center di Honolulu, dimana ibu saya menggagas programnya beberapa puluh tahun lalu, saya dengan bangga mengumumkan program internasional terbaru kami yang disebut – Asia-Pasific Leaders Program 2019.”
Program ini merupakan kelanjutan program serupa tahun lalu di Johannesburg, yang mempertemukan lebih dari 200 pemimpin muda dari seluruh belahan Afrika untuk mengikuti program pengembangan kepemimpinan selama satu tahun. “Alih-alih berasumsi bahwa kita tahu apa yang dibutuhkan, kami ingin mendengar dari para calon pemimpin di wilayah tersebut untuk memahami apa yang dapat dilakukan Obama Foundation,” ujarnya.
Obama Sapa “Apa Kabar?” Rahman Adi Pradana Tertegun Lama
Rahman Adi Pradana, lulusan Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjajaran yang sudah selama lebih dari tujuh tahun berkecimpung di World Resources Institute Indonesia, khususnya pada bidang pemanfaatan lahan secara berkelanjutan, terpilih menjadi salah satu dari 21 calon pemimpin muda yang dimaksud Obama. Ia terbang dari Jakarta ke Hawaii untuk mengikuti program ini selama hampir satu minggu.
“Saya merasa beruntung sekali karena bisa bertemu Presiden Obama. Saya tidak pernah menyangka akan bisa bertemu langsung, berdiskusi, dan berjabat tangan dengan Presiden Obama; juga bertemu dan belajar bersama 20 pemimpin muda lain dari kawasan Asia Pasifik,” kata Adi.
Diwawancarai VOA setelah selesai mengikuti program itu minggu lalu, Adi mengaku tertegun cukup lama ketika disapa Obama dalam bahasa Indonesia.
“Saya kaget sekali karena ia menyapa saya dalam bahasa Indonesia. Dia bilang “apakabar?” dan saya tercekat gak bisa ngomong apa-apa, bahkan untuk sekedar bilang “kabar baik Pak.” Waktu itu saya baru menyampaikan presentasi kelompok kami kepada Presiden Obama dan ketika menunggu untuk berjabat tangan, saya sudah siap menyampaikan rasa terima kasih atas kesempatan yang diberikan Obama Foundation. Tapi sebelum saya sempat ngomong itu, dia sudah duluan menyapa “apakabar?” begitu tahu saya dari Indonesia, dan saya langsung gak bisa ngomong. Saya a, u, i, o.. baru setelah beberapa detik, saya baru bisa bilang “kabar baik.” Dia senyum hangat dan lanjut ngobrol dengan teman-teman lain dalam bahasa Inggris. (Kamu gak bilang “bapak masih ingat nasi goreng Menteng gak?) Hahaha.. Enggak. Gak kepikiran Mbak. Saya nervous banget. Saya deg-degan sekali. Gugup sekali. Saking senangnya. Saya masih gak percaya bisa ketemu beliau hari Minggu (6/1).”
Adi Ikut Kembangkan “Indonesia Satu Peta”
Rahman Adi Pradana yang menjabat sebagai manajer pemanfaatan lahan secara berkelanjutan adalah satu-satunya anak muda Indonesia yang terpilih. Ada dua anak muda terpilih dari Singapura, Malaysia, Myanmar, Vietnam, Thailand and Hawaii; dan masing-masing satu orang dari Indonesia, Filipina, Laos, Kamboja, Jepang, Tiongkok Samoa, Guam dan Marshall Island. Mereka berasal dari beragam latar belakang dan aktif di berbagai bidang. Misalnya Julian Aguon, aktivis HAM di Guam yang berupaya menemukan terobosan baru untuk mendukung penduduk asli, atau Tu Ngo yang mendirikan sebuah badan pendidikan di Vietnam yang mendidik lebih dari 30 ribu siswa lewat internet dan juga secara langsung, atau ilmuwan muda Leana Kealoha Fox yang mengajak komunitasnya berkolaborasi untuk menyelamatkan sumber daya alam di Hawaii.
Lalu apa yang membuat Rahman Adi Pradana terpilih? Menurutnya Obama Foundation tertarik dengan program “Indonesian One Map Policy” yang sedang digarap World Resources Institute di Indonesia. Kebijakan Satu Peta Indonesia ini memang mendapat dukungan kuat pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan masalah kepemilikan dan pemanfaatan lahan yang sudah berlangsung puluhan tahun.
“Kebijakan satu peta adalah program pemerintahan Jokowi untuk membantu menyelesaikan masalah tumpang tindih lahan dan konflik agraria di Indonesia. Prosesnya cukup panjang dan kompleks karena kami harus mengumpulkan peta-peta tata guna lahan, termasuk peta kehutanan, peta masyarakat adat dll; untuk membantu menyelesaikan tumpang tindih diantara mereka-mereka yang mengklaim lahan-lahan itu. Prosesnya multi-stakeholders, melibatkan pemerintahan dari tingkat nasional hingga kabupaten dll. Ini penting karena tanpa kejelasan kepemilikan dan pengolahan lahan maka kita bisa melihat efeknya tidak jelas siapa yang punya lahan dan banyak terjadi konflik. Misalnya saja dalam kebakaran hutan, tidak jelas akhirnya siapa pemilik lahannya. (Kebijakan ini berarti mencakup seluruh daerah, bukan hanya di perkotaan?) Program ini dipimpin oleh Menko Perekonomian dan Badan Informasi Geospasial, dan WRI Indonesia menjadi salah satu mitra pembangunan yang membantu mereka untuk mengimplementasikan kebijakan di tingkat daerah, propinsi dan kabupaten.”
Konflik Agraria Tahunan Perumit Kebijakan Indonesia Satu Peta
Adi mengakui bahwa implementasi kebijakan “Indonesia Satu Peta” ini tidak mudah karena konflik agraria sudah berlangsung panjang, dan bahkan tak jarang berujung dengan aksi kekerasan.
“Justru susahnya karena ini sudah panjang sekali konfliknya. Jadi peta-peta ini memang banyak yang belum ada, atau tidak akurat, atau banyak yang berbeda antara satu kementerian dengan yang lain, jadi menimbulkan kebingungan di lapangan. Jadi memang penting sekali untuk segera diwujudkan. Nah Desember lalu Presiden Jokowi sudah meluncurkan geoportal ini, namanya Indonesia Geospatial Portal. Ini satu langkah awal agar kementerian-kementerian yang ada bisa bekerjasama dan menggunakan peta-peta yang dikumpulkan dan diperbaiki tadi untuk mulai menyelesaikan tumpang tindih dan konflik lahan yang ada,” tambah Adi.
Adi dan 20 anak muda itu berkesempatan memaparkan solusi kreatif dan terobosan mereka untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi di hadapan Presiden Obama.
“Saya mencoba menjelaskan soal kebijakan satu peta itu dari perspektif masyarakat yang mengalami ketidakjelasan lahan di lapangan. Misalnya bagaimana masyarakat adat yang sudah puluhan tahun mencoba mendapatkan kejelasan dan kepastian atas tanah adat mereka di kawasan suaka margasatwa. Atau ada suatu kelompok masyarakat di Riau yang mengelola lahan dengan membuka lahan di kawasan hutan lindung dan perkebunan kelapa sawit. Mereka sudah melakukannya selama puluhan tahun dan tidak pernah ada yang melarang, hingga baru-baru ini. Memang tidak mudah. Ini harus banyak diskusi dan kebijakan praktis yang muncul, yang harus lebih kreatif dari yang ada sekarang,” lanjutnya.
Pelajaran Penting dari Obama: Jadi Pemimpin Tidak Mudah
Dalam program selama hampir satu minggu di Hawaii itu, Adi mengaku memetik banyak pelajaran, terutama dari mantan orang nomor satu di Amerika, Presiden Barack Obama.
“Saya paling terkesan ketika ia mengatakan begini.. Untuk menjadi seorang pemimpin tidak mudah, pasti ada risiko dan risiko ini berbeda-beda setiap orang. Kita sendiri yang dapat mengatur risiko yang bakal dihadapi untuk pribadi, keluarga, dan masyarakat luas. Kita harus selalu melihat hal ini sebagai suatu proses yang panjang, bagaimana bisa mengambil risiko di bidang ini, pada saat ini, tapi tidak bisa mengambil risiko di tempat lain pada saat ini. Yang pasti ini semua proses yang panjang. Ini maraton, bukan sprint (lari jarak pendek.red),” ujarnya.
Obama Yakin Pemimpin Muda Siap Maju Lebih Cepat
Presiden Obama yang mengikuti salah satu diskusi itu, dalam pernyataan tertulis mengatakan “ketika berbicara dengan para pemimpin muda ini, Anda akan diingatkan tentang betapa berbakat dan energiknya anak-anak muda ini, generasi ini, dan betapa siapnya mereka untuk maju lebih cepat, mengorganisir upaya yang lebih berdampak dibanding yang sudah dilakukan.”
Ditambahkannya, “Apa yang ingin kami upayakan dengan Obama Foundation adalah mempromosikan pendekatan berbasis nilai hingga pengembangan kepemimpinan, karena kami yakin kepemimpinan sejati melibatkan dialog, bersifat inklusif, toleransi, dan komitmen pada martabat manusia; karena jika Anda tidak melakukan hal itu dengan benar, solusi teknis apapun yang dihasilkan akan berakhir dengan kegagalan,” ujar Presiden Obama. (em)