Hari ini dua puluh lima tahun yang lalu, Presiden Soeharto menandatangani Keppres Nomor 4 Tahun 1993 Tentang Satwa dan Bunga Nasional. Berdasarkan keputusan itu, Rafflesia arnoldii, melati dan anggrek bulan ditetapkan sebagai bunga nasional, dengan predikat masing-masing.
Di antara ketiganya, Rafflesia arnoldii adalah bunga yang sulit dinikmati keindahannya. Namun, justru karena itulah bunga ini terasa istimewa. Rafflesia arnoldii ditemukan pertama kali pada 1818 oleh tim ekpedisi yang dipimpin Dr Joseph Arnold. Indonesia masih berada di bawah penjajahan Inggris, dengan Sir Thomas Stamford Raffles menjadi gubernur jenderal. Karena itulah, bunga raksasa itu kemudian diberi nama Rafflesia arnoldii sebagai gabungan dua nama itu.
Dulu, ada banyak tantangan untuk menyaksikan bunga Rafflesia mekar. Bunga raksasa berbau tak sedap ini umumnya ditemukan di Provinsi Bengkulu. Namun, meski Anda sedang berada di Bengkulu, tidak berarti akan mudah menemukannya. Bunga ini mekar tanpa jadwal yang pasti, dan bisa berada di lokasi manapun, termasuk di tengah hutan.
Untunglah kemudian, Sofian Ramadhan, anak muda asal Bengkulu, tergerak untuk bertindak. Bersama beberapa kawannya, dia mendirikan Komunitas Peduli Puspa Langka. Memanfaatkan media sosial, Sofian mempermudah akses menikmati Rafflesia dengan menginformasikan lokasi mekarnya bunga tersebut. Dengan data yang terus diperbaharui oleh puluhan relawan di berbagai wilayah, komunitas ini bisa menjadi rujukan wisatawan.
“Sebaiknya kontak kita dulu agar tahu Rafflesia mekar dimana, karena jarak terdekat ke habitatnya dari Kota Bengkulu itu harus ditempuh dalam 1,5 jam. Ada dua kabupaten yang terdekat dari Kota Bengkulu ini yaitu Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kabupaten Bengkulu Utara. Dua kabupaten ini memiliki jenis Rafflesia yang berbeda, di Bengkulu Tengah yang sejalur dengan Kabupaten Kepahyang itu jenis Rafflesia arnoldii. Kalau yang di Bengkulu Utara itu jenis Rafflesia gadutensis,” jelasnya.
Untuk menikmati Rafflesia, kata Sofian, wisatawan harus masuk ke hutan dengan berjalan kaki. Jaraknya bervariasi dari ujung jalan yang bisa dilalui kendaraan. Di banyak lokasi, masyarakat secara swadaya kini melakukan perawatan dan penjagaan, jika menemukan Rafflesia yang mekar. Namun di banyak titik, tingkat kepedulian yang bervariasi dan minimnya sarana menjadi tantangan tersendiri untuk terus mempopulerkan jenis wisata ini.
“Sudah sepantasnya habitat Rafflesia di Bengkulu dilindungi dan dilestarikan. Butuh perhatian pemerintah untuk menaikkan kunjungan wisata, terutama dengan meningkatkan sarana dan prasarananya,” kata pria yang kini lebih dikenal dengan nama Sofian Rafflesia ini.
Namun, pengembangan wisata untuk mempopulerkan bunga ini, juga membawa risiko. Dibutuhkan edukasi kepada masyarakat tentang bagaimana menikmati Rafflesia. Karena itulah, Sofian dan kawan-kawan berperan aktif dalam kampanye wisata berbasis pelestarian lingkungan.
Ilmuwan Rafflesia dari Universitas Bengkulu, Agus Susatya kepada VOA membenarkan, bahwa pengembangan wisata bunga ini, menaikkan resiko kerusakannya. Karena itulah, peran komunitas dan masyarakat luas sangat penting. Agus menilai, secara umum masyarakat Bengkulu memahami posisi Rafflesia yang begitu terkenal di mata dunia. Tetapi di sisi lain, masyarakat masih harus disadarkan mengenai pentingnya menjaga bunga itu aman di habitatnya.
“Cara menikmati Rafflesia masih harus diperbaiki. Misalnya, kalau mau foto harus memperhatikan sekitarnya, jangan sampai merusak bunga yang masih kecil," kata Agus Susatya.
Perawatan habitatnya harus diperbaiki. Pengelolaan ekowisatanya juga butuh perhatian. Pendeknya, masih perlu edukasi,” ujar Agus.
Agus menambahkan, habitat Rafflesia secara umum masih sangat baik. Buktinya, terus muncul Rafflesia di lokasi-lokasi baru. Hanya saja, kadang masyarakat secara tidak sengaja melakukan perusakan, karena kurangnya pengetahuan tentang bunga ini.
Rafflesia mekar dalam berbagai ukuran. Rafflesia arnoldi merupakan yang terbesar dan bisa memiliki diameter hingga 100 cm dan berat 10 kilogram. Beberapa jenis lainnya berukuran lebih kecil, rata-rata berdiameter 20 cm.
Agus Susatya adalah penemu tiga jenis Rafflesia. Sebelumnya, Agus menemukan Rafflesia bengkuluensis di Bengkulu dan Rafflesia lawangensis di Sumatera Utara, masing-masing dengan tim beranggotakan ilmuwan dari Malaysia dan Belanda. Terakhir, pada Oktober lalu dia memaparkan temuan mengenai Rafflesia kemumu dalam jurnal ilmiah internasional Phytotaxa yang terbit di Selandia Baru. Jenis baru ini mekar tanpa mengenal musim, namun diduga terancam punah sehingga akan diusulkan masuk dalam daftar merah di International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Selain kesadaran masyarakat, kata Agus, tantangan besar menjaga bunga khas Bengkulu ini adalah faktor lingkungan. Menjaga Rafflesia hanya bisa dilakukan dengan menjaga habitatnya. Karena itulah, laju perusakan hutan khususnya di Bengkulu harus ditekan jika ingin melestarikan bunga ini.
“Kita juga harus menggali ekoturisme yang lain, potensi lain di sekitar habitat Rafflesia itu sendiri sehingga masyarakat dapat memperoleh manfaat yang lebih baik. Ada beberapa spot Rafflesia di kawasan hutan yang masih bagus, tetapi pada saat yang sama, kalau kita melihat, kekhawatiran kita ya terutama masalah deforestasi, karena itu menjadi bagian ancaman yang penting untuk diperhatikan dari sisi kehutanan. Tetapi di beberapa spot memang kawasannya masih bagus," pesannya.
Di seluruh dunia, terdapat 30 jenis Rafflesia, dan separuhnya ada di Indonesia. Bunga ini tercatat pernah ditemukan di Indonesia, Malaysia dan Filipina. Bengkulu sendiri memiliki lima jenis Rafflesia, yaitu Rafflesia arnoldii, Rafflesia gadutensis, Rafflesia hasselti, Rafflesia bengkuluensis dan yang terbaru Rafflesia kemumu. [ns/ab]