Masih dalam rangkaian road to G20, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves), pemerintah daerah Bali dan tiga lembaga meresmikan sebuah kerja sama pada Kamis (3/11). Fokus kerja sama ini adalah upaya perbaikan penanganan sampah sejak di darat, seperti dipaparkan Asisten Pengelolaan Sampah dan Limbah, Kemenkomarves, Rofi Alhanif
“Kita bicara mengenai sampah laut, tidak bisa kita tangani di laut tapi juga harus di daratnya. Karena itu adalah sumber utama kebocoran sampah ke laut,” kata Rofi di Bali, Kamis (3/11).
Bali menjadi prioritas rintisan kerja sama ini, karena sejumlah faktor, seperti sebagai destinasi wisata utama dan karena provinsi itu telah menargetkan untuk mencapai nol emisi pada 2040. Salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca adalah sampah.
“Kalau sampah tidak terkelola, dia mengeluarkan metan, yang polusinya terhadap ozon itu jauh lebih besar daripada karbon,” tambah Rofi.
Bali sendiri dikenal, selain karena keindahan lansekap dan budayanya, juga karena sampah yang masuk ke laut. Kawasan selatan Bali, yang terdiri dari Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan menjadi fokus upaya ini.
Tiga lembaga yang berkomitmen membantu Bali bebas dari sampah, khususnya di laut adalah Delterra, Minderoo Foundation, dan WWF-Indonesia. Delterra adalah lembaga global nirlaba lingkungan yang didirikan McKinsey & Company di Amerika Serikat. Sedangkan Minderoo Foundation merupakan organisasi filantropi modern dari Australia yang memiiki inisiatif No Plastic Waste. Sedangkan World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, sejak lama telah bekerja dalam berbagai program di Tanah Air.
Kerja Sama Tiga Lembaga Dunia
Komitmen ambisius ini didasari kesadaran bahwa penanggulangan krisis iklim tidak dapat dilakukan tanpa mengatasi krisis sampah. Pada awalnya, program ini bertujuan membatu pengelolaan sampah 600 ribu orang di area Bali selatan. Namun, dalam tiga tahun ke depan, jangkauan layanannya akan berkembang hingga 2,5 juta orang. Ketiga lembaga percaya penciptaan ekonomi sirkular di Bali akan berdampak terhadap lingkungan lokal dan global secara positif.
Pendekatan pengelolaan sampah dari Delterra didasarkan pada program Rethinking Recycling. Program ini membantu kota-kota dan masyarakatnya membangun ekosistem daur ulang, menggunakan kembali sampah secara produktif, meningkatkan lapangan pekerjaan dan kualitas hidup masyarakat. Pendekatan menyatukan empat kelompok utama, yaitu rumah tangga dan bisnis, pengumpul dan penyortir, pengepul dan pengangkut, serta pengolah dan pembeli.
Perlu Pendekatan Holistik
CEO WWF Indonesia, Aditya Bayunanda, mengaku terhormat berada dalam konsorsium bersama Delterra dan Minderoo Foundation.
“Sampah plastik ini sudah merupakan suatu persoalan dunia, di mana dia juga tidak saja membahayakan buat spesies ataupun satwa, tapi kita juga tahu bahwa sekarang bahkan sudah ditemukan micro plastic itu di dalam tubuh manusia. Jadi, sebetulnya sudah menjadi bagian dari persoalan kesehatan juga,” kata pria yang akrab disapa Dito ini.
WWF meyakini bahwa persoalan plastik harus diselesaikan dengan pendekatan holistik yang komprehensif. Keterlibatan dan partisipasi semua pihak sangat diperlukan.
“Kombinasi-kombinasi ini memang bagian dari salah satu program kami, yaitu Plastic Free Ocean, yang juga di dalamnya kita banyak bergerak dengan pemerintah setempat dalam program Plastic Smart Cities,” ujar Dito.
Tingkatkan Kualitas Hidup
Presiden sekaligus CEO Delterra, Shannon Bouton, memaparkan bahwa lembaga itu meyakini membantu kota dan komunitas untuk membangun ekosistem daur ulang dan pengelolaan sampah terpadu penting, untuk mengembalikan lebih banyak sampah ke penggunaan yang produktif.
“Memecahkan tantangan yang dihadapi planet kita dan manusia di dalamnya, membutuhkan pendekatan yang sistematis dan terukur dengan cepat,” ujar Shannon yang juga hadir dalam sesi keterangan untuk media di Bali.
Dari skala kecil, kolaborasi ini direncanakan untuk menjangkau lebih banyak warga Bali di masa depan. Delterra berpedoman, upaya pengelolaan sampah akan berjalan jika disertai peningkatkan kesempatan kerja dan kualitas hidup.
Sementara Tony Worby, Direktur Planet Portfolio & Flourishing Oceans di Minderoo Foundation menerangkan bahwa organisasi filantropi Australia itu ingin turut menangani beberapa masalah paling sulit diselesaikan di dunia.
“Dan tentu saja, sebagai orang Australia, kami memiliki hubungan mendalam dengan Indonesia, dan juga Bali. Banyak orang Australia datang ke Bali secara rutin, jadi tidak hanya dekat, tetapi Bali ada di hati kami. Saya pikir, kami memiliki tanggung jawab untuk membantu mengatasi tantangan yang dihadapi Indonesia dan Bali,” kata Tony.
Minderoo Foundation ujar Tony sejak lama berambisi menghilangkan dampak berbahaya plastik bagi manusia dan bumi. Karena itulah, yayasan itu banyak mendukung proyek-proyek yang benar-benar membantu menghilangkan dampak berbahaya plastik terhadap lingkungan.
“Kami sangat ambisius untuk proyek ini. Kami benar-benar ingin melihatnya berhasil dan berkembang,” tambahnya.
Tentu saja, jika berhasil dalam skala Bali, proyek tersebut akan dikembangkan di banyak daerah di Indonesia, dan bahkan dalam skala global.
Bali Sambut Baik
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali, I Made Teja memastikan pemerintah daerah telah memiliki instrumen penanganan sampah. Gubernur Bali telah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 97/2018 tentang pembatasan plastik sekali pakai. Ada juga Pergub 47/2019 tentang pengelolaan sampah plastik dari sumbernya. Selain itu ada pula Pergub 24/2020 tentang untuk menjaga danau, sungai, mata air dan laut dari sampah.
“Kita harapkan dari hulu sampah itu sudah mulai kita upayakan. Sehingga nantinya, kalau ini sampah di darat bisa diselesaikan sejak awal. sehingga di pantai itu bisa berkurang,” ucapnya.
Pemerintah Provinsi Bali berharap inisiatif di Bali selatan ini akan berhasil sehingga dapat diterapkan di kawasan lain.
“Selanjutnya ini menjadi sebuah model, supaya terjadi perubahan-perubahan paradigma di masyarakat, perubahan perilaku, untuk mengelola sampah di hulu,” tambahnya. [ns/ab]
Forum