HANOI —
Banyaknya laporan mengenai bra berbahan karsinogen dan apel beracun dari Tiongkok di media Vietnam membuat banyak orang mencoba menghindari pembelian barang asal Tiongkok. Namun, sejumlah warga mengambil langkah lebih jauh dan menggunakan pilihan konsumen sebagai jalan untuk mengekspresikan pandangan politik mereka.
Paulo Nguyen Thanh mengelola laman No China Shop, yang memungkinkan produsen-produsen lokal dengan reputasi yang baik untuk hanya menjual produk-produk buatan Vietnam, mulai dari tas tangan sampai sayuran organik. Ia mengatakan memiliki dua macam pelanggan: Mereka yang khawatir dengan dampak-dampak negatif dari barang berstandar buruk dan mereka yang ingin mengekspresikan patriotisme mereka.
Situs tersebut merupakan satu-satunya di Vietnam, ujar Thanh, namun terbukti populer. Dalam dua hari, menurutnya, laman tersebut menjual sekitar 4.000 barang.
Thanh mengatakan 95 persen produk yang dijual di pasar Vietnam adalah buatan Tiongkok. Menurutnya, banyak orang lebih menyukai tidak membeli produk-produk tersebut namun tidak memiliki alternatif.
Salah satu dari penawaran terbarunya adalah amplop angpau atau disebut juga “bao li xi.” Selain pesan-pesan tahun baru, desain amplop itu termasuk peta Vietnam dengan kata-kata: “Hoang Sa, Truong Sa, Vietnam,” – atau pulau-pulau Paracel dan Spratly adalah milik Vietnam. Tiongkok mengklaim tempat-tempat tersebut dan sebagian besar wilayah laut di sekitarnya.
Thanh termasuk sekelompok orang yang melakukan protes anti-Tiongkok pada Juni lalu.
Jonathan London, ahli Vietnam dan asisten profesor di City University Hong Kong, mengatakan keluhan-keluhan mengenai sabotase Tiongkok dalam ekonomi Vietnam telah berlangsung ribuan tahun. Namun, bagian dari gerakan boikot baru-baru ini diinspirasi oleh kebijakan luar negeri Tiongkok yang agresif.
Dalam beberapa bulan terakhir, pihak berwenang telah menangkapi demonstran pada protes anti-Tiongkok, memenjarakan 13 aktivis Katolik dan menahan pengacara aktivis terkenal Le Quoc Quan – langkah-langkah yang diartikan oleh beberapa pihak sebagai peningkatan pemberangusan kebebabasan berbicara.
London mengatakan dalam situasi yang terbatas, konsumsi merupakan satu cara bagi warga Vietnam untuk mengekspresikan pandangannya.
“Negara tidak dapat membatasi konsumsi warga seketat pembatasan ekspresi ide. Penduduk Vietnam telah didorong sampai ke suatu titik di mana gerakan berbasis konsumen menjadi salah satu pilihan yang tersedia untuk mereka,” ujar London.
Sebagian besar konsumen lebih khawatir dengan kualitas daripada kebijakan luar negeri.
Pada sebuah pasar terbuka yang sibuk di Hanoi, seorang pedagang bernama Ngoc, 32, mengatakan bahwa banyak warga Vietnam sepertinya tidak suka membeli barang-barang dari Tiongkok, terutama daging unggas, buah dan sayuran, namun ia dan kawan-kawannya tidak memiliki pendapat dalam isu-isu politik.
Warga Vietnam, menurutnya, telah memiliki pengetahuan yang lebih baik dan khawatir dengan penggunaan bahan kimia yang digunakan untuk mengawetkan produk segar.
Tiongkok merupakan mitra perdagangan terbesar Vietnam, dengan nilai perdagangan mencapai US$41 miliar pada 2012, meningkat dari hampir $36 miliar pada tahun sebelumnya. Kebergantungan negara tersebut pada Tiongkok secara ekonomi membuatnya dalam posisi yang sulit secara politis. Pukulan balik dari konsumen di Tiongkok atas produk Jepang menyusul konflik teritorial membuat perusahaan-perusahaan Jepang merugi. Namun, London mengatakan sepertinya boikot produk Tiongkok di Vietnam tidak akan berdampak besar.
London mengatakan bahwa kondisi-kondisi eksistensial Vietnam yang selalu ada dan akan selalu ada adalah kebutuhan untuk berdamai dengan Tiongkok. Meski ada tekanan dari pihak berwenang, banyak orang sepertinya akan terus menemukan cara inventif untuk mengekspresikan pandangan mereka.
Paulo Nguyen Thanh mengelola laman No China Shop, yang memungkinkan produsen-produsen lokal dengan reputasi yang baik untuk hanya menjual produk-produk buatan Vietnam, mulai dari tas tangan sampai sayuran organik. Ia mengatakan memiliki dua macam pelanggan: Mereka yang khawatir dengan dampak-dampak negatif dari barang berstandar buruk dan mereka yang ingin mengekspresikan patriotisme mereka.
Situs tersebut merupakan satu-satunya di Vietnam, ujar Thanh, namun terbukti populer. Dalam dua hari, menurutnya, laman tersebut menjual sekitar 4.000 barang.
Thanh mengatakan 95 persen produk yang dijual di pasar Vietnam adalah buatan Tiongkok. Menurutnya, banyak orang lebih menyukai tidak membeli produk-produk tersebut namun tidak memiliki alternatif.
Salah satu dari penawaran terbarunya adalah amplop angpau atau disebut juga “bao li xi.” Selain pesan-pesan tahun baru, desain amplop itu termasuk peta Vietnam dengan kata-kata: “Hoang Sa, Truong Sa, Vietnam,” – atau pulau-pulau Paracel dan Spratly adalah milik Vietnam. Tiongkok mengklaim tempat-tempat tersebut dan sebagian besar wilayah laut di sekitarnya.
Thanh termasuk sekelompok orang yang melakukan protes anti-Tiongkok pada Juni lalu.
Jonathan London, ahli Vietnam dan asisten profesor di City University Hong Kong, mengatakan keluhan-keluhan mengenai sabotase Tiongkok dalam ekonomi Vietnam telah berlangsung ribuan tahun. Namun, bagian dari gerakan boikot baru-baru ini diinspirasi oleh kebijakan luar negeri Tiongkok yang agresif.
Dalam beberapa bulan terakhir, pihak berwenang telah menangkapi demonstran pada protes anti-Tiongkok, memenjarakan 13 aktivis Katolik dan menahan pengacara aktivis terkenal Le Quoc Quan – langkah-langkah yang diartikan oleh beberapa pihak sebagai peningkatan pemberangusan kebebabasan berbicara.
London mengatakan dalam situasi yang terbatas, konsumsi merupakan satu cara bagi warga Vietnam untuk mengekspresikan pandangannya.
“Negara tidak dapat membatasi konsumsi warga seketat pembatasan ekspresi ide. Penduduk Vietnam telah didorong sampai ke suatu titik di mana gerakan berbasis konsumen menjadi salah satu pilihan yang tersedia untuk mereka,” ujar London.
Sebagian besar konsumen lebih khawatir dengan kualitas daripada kebijakan luar negeri.
Pada sebuah pasar terbuka yang sibuk di Hanoi, seorang pedagang bernama Ngoc, 32, mengatakan bahwa banyak warga Vietnam sepertinya tidak suka membeli barang-barang dari Tiongkok, terutama daging unggas, buah dan sayuran, namun ia dan kawan-kawannya tidak memiliki pendapat dalam isu-isu politik.
Warga Vietnam, menurutnya, telah memiliki pengetahuan yang lebih baik dan khawatir dengan penggunaan bahan kimia yang digunakan untuk mengawetkan produk segar.
Tiongkok merupakan mitra perdagangan terbesar Vietnam, dengan nilai perdagangan mencapai US$41 miliar pada 2012, meningkat dari hampir $36 miliar pada tahun sebelumnya. Kebergantungan negara tersebut pada Tiongkok secara ekonomi membuatnya dalam posisi yang sulit secara politis. Pukulan balik dari konsumen di Tiongkok atas produk Jepang menyusul konflik teritorial membuat perusahaan-perusahaan Jepang merugi. Namun, London mengatakan sepertinya boikot produk Tiongkok di Vietnam tidak akan berdampak besar.
London mengatakan bahwa kondisi-kondisi eksistensial Vietnam yang selalu ada dan akan selalu ada adalah kebutuhan untuk berdamai dengan Tiongkok. Meski ada tekanan dari pihak berwenang, banyak orang sepertinya akan terus menemukan cara inventif untuk mengekspresikan pandangan mereka.