Tautan-tautan Akses

Profesor Perempuan Afghanistan Memberi Semangat Kepada Pelajar Perempuan


Anak-anak pengungsi Afghanistan mengulang angka yang ditampilkan oleh guru mereka selama kelas mereka di sebuah sekolah darurat yang didirikan di sebuah masjid. (Foto: AP)
Anak-anak pengungsi Afghanistan mengulang angka yang ditampilkan oleh guru mereka selama kelas mereka di sebuah sekolah darurat yang didirikan di sebuah masjid. (Foto: AP)

Seorang mahaguru (profesor) perempuan dari Universitas Kabul mengakui, mahasiswi mengalami kesulitan untuk mendapat pendidikan di Afghanistan, sehingga mendorong para gadis di negara itu untuk tidak pernah menyerah pada hak mereka untuk belajar.

Mahmooda Taqwa adalah seorang mahaguru (profesor) dari jurusan bahasa Pashto di Kabul University. Jalan yang ditempuh menjadi perempuan terpelajar di Afghanistan yang dilanda perang, tidaklah mudah.

Lahir pada tahun 1988, Taqwa adalah anak bungsu dari 10 bersaudara. Untuk menghindari peperangan, keluarganya meninggalkan ibu kota Afghanistan, Kabul dan tinggal di pedesaan Provinsi Vardak, ketika dia masih kecil.

Ketika Taqwa memasuki usia sekolah, dia harus berjalan di jalan pegunungan untuk bersekolah di desa terdekat. Karena jalan menuju sekolah itu terlalu berbahaya bagi seorang gadis kecil, dia putus sekolah hanya dua tahun kemudian.

Kesempatan baru muncul bagi Taqwa pada tahun 2001, ketika dia kembali ke Kabul bersama kakaknya dan ia kembali bersekolah.

Simma, seorang siswa Afghanistan berusia 19 tahun, menunjuk ke negara-negara di peta, di ruang kelas di SMA Malali di Kabul. (Foto: AP)
Simma, seorang siswa Afghanistan berusia 19 tahun, menunjuk ke negara-negara di peta, di ruang kelas di SMA Malali di Kabul. (Foto: AP)

Meskipun sudah lima tahun putus sekolah dan tidak tamat SD, Taqwa tetap memutuskan untuk langsung melanjutkan ke SMP

Dengan bakat besar dan kerja keras, Taqwa segera menyusul teman-teman sekelasnya, dan bahkan meraih juara pertama pada ujian akhir pada tahun pertama dia kembali ke sekolah.

Sekarang dengan gelar master dan jabatan mengajar di universitas di tangannya, Taqwa mengatakan dia tidak mengeluh jika dibandingkan dengan mayoritas perempuan di Afghanistan.

"Gadis-gadis di Afghanistan selalu memasak sambil memegang buku di tangan mereka, karena mereka terlalu takut kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Jika suatu saat suami, ayah atau saudara laki-lakinya tidak mengizinkan mereka untuk belajar, maka hak mereka untuk belajar akan dirampas. Jadi gadis-gadis itu belajar dalam situasi yang sangat tidak stabil," kata Taqwa.

Taqwa mengatakan, mungkin mudah bagi perempuan di negara lain untuk mendapat gelar master dan bekerja sebagai profesor di universitas, tetapi di Afghanistan mendapat pendidikan sebagai perempuan adalah tugas yang melelahkan.

Menurut sebuah studi dari Dana Anak-anak PBB (UNICEF) tahun 2018, diperkirakan 3,7 juta anak putus sekolah di Afghanistan, dan 60 persen di antaranya adalah perempuan. Hingga 85 persen anak perempuan tidak bersekolah di provinsi seperti Kandahar dan Helmand.

"Perempuan seharusnya jangan pernah menyerah pada tekad atau hak-hak mereka yang sah. Perempuan harus selalu memperjuangkan haknya sendiri, dan mereka perlu tahu hak-hak apa yang menjadi milik mereka," tambah asisten profesor, Mahmooda Taqwa. [ps/lt]

XS
SM
MD
LG