Dua minggu lalu Presiden Amerika Donald Trump mengatakan kepada fraksi Republik di Kongres untuk memperbaiki celah kelemahan dalam undang-undang suaka atau otorita federal mendeportasi jutaan imigran tanpa dokumen lewat penggerebekan massal.
Sejak saat itu komunitas imigran di seluruh Amerika telah melancarkan protes terhadap ancaman itu. Tetapi sebagian warga Amerika merasa deportasi itu seharusnya terjadi sejak lama.
Di luar kantor Layanan Imigrasi dan Kewarganegaraan Amerika atau US Citizen & Immigration Service di Fairfax, Virginia, sejumlah demonstran yang memprotes hak-hak imigran menuntut diakhirinya penggerebekan ICE terhadap komunitas mereka. ICE adalah singkatan dari US Immigration & Customs Enforcement, suatu badan federal yang bertugas menegakkan hukum imigrasi di Amerika.
"Sin Papeles!! Sin Miedo!! Sin Papeles!! Sin Miedo!!" Mereka berteriak-teriak “Imigran tanpa dokumen! Jangan takut!”
Mereka merupakan bagian dari aktivis, imigran dan kelompok-kelompok HAM di seluruh Amerika yang bergerak untuk bertindak setelah cuitan Presiden Donald Trump 17 Juni lalu yang mengancam akan mendeportasi jutaan individu tidak berdokumen, kecuali jika fraksi Demokrat di Kongres memperbaiki celah dalam undang-undang suaka. Trump memberi tenggat hingga dua minggu.
Sarah Pierce di Institut Kebijakan Migrasi mengatakan, “Sebagian besar imigran yang ditangkap di perbatasan Amerika-Meksiko, yang tidak memiliki izin untuk memasuki Amerika.. mereka dapat segera dideportasi, tetapi jika mereka malah mengajukan suaka, proses aplikasi itu membutuhkan waktu yang lama. Banyak dari mereka kemudian diizinkan masuk ke Amerika, sambil mendaftar suaka. Jadi dalam pandangan presiden, itulah celah kelemahan dalam sistem keamanan kita karena memperbolehkan orang memasuki Amerika.”
Ancaman deportasi massal yang disampaikan Trump itu bukan yang pertama. Tak lama setelah dilantik pada Januari 2017, Trump mengatakan ia akan mendeportasi tiga juta imigran gelap yang memiliki catatan kriminal. Hal itu tidak pernah terjadi.
Salah seorang demonstran, Andrea Molina, mengatakan, “Hal ini sangat traumatis. Sesuatu yang bagi kami, sebagai imigran, jadi takut. Setiap saat kami melihat berita, kami tahu kebijakan dan politik akan menarget kami. Ini adalah masyarakat supremasi kulit putih dan pemerintahan rasis, jadi ini menarget kami. Bukan hanya warga El Salvador, tetapi warga kulit berwarna. Juga warga kulit hitam.”
Meskipun demikian sebagian warga Amerika, seperti Presiden “Americans for Legal Immigration” William Greene, menilai deportasi seharusnya dilakukan sejak dahulu kala. Ia mengatakan undang-undang imigrasi yang ada mengharuskan presiden untuk mendeportasi imigran tanpa dokumen dan memulangkan mereka secara massal, tetapi hal itu tidak pernah terjadi.”
“Kita tidak terlindungi dari invasi. Saya berhak berharap agar undang-undang yang mengharuskan semua imigran ilegal dipulangkan ke tanah air mereka, ditegakkan. Itu tidak terjadi. Saya berhak berharap undang-undang yang mencegah pemilik usaha mempekerjakan imigran ilegal juga ditegakkan. Itu pun tidak terjadi," ujarnya.
ICE menolak memberi rincian tentang operasi atau penggerebekan mendatang, atau berbicara di depan kamera; tetapi dalam sebuah pernyataan tertulis, juru bicara ICE Carol Danko mengatakan tidak ada satu warga Amerika pun yang dapat lolos dari pelanggaran hukum atau melanggar perintah pengadilan, demikian pula warga asing.
Meskipun Kongres meloloskan bantuan kemanusiaan bernilai 4,6 miliar dolar sebelum reses minggu lalu, mereka tidak membahas produk hukum apapun terkait undang-undang suaka.
Sementara kekhawatiran imigran gelap (tidak berdokumen) meningkat seiring hampir berakhirnya tenggat dua minggu yang ditetapkan Presiden Trump. (em/al)