Tokoh ultrakonservatif Ebrahim Raisi, Selasa ini (3/8) dijadwalkan dilantik sebagai presiden baru Iran, negara yang sedang menghadapi krisis ekonomi dan kesehatan serta ketegangan dengan Barat.
Ia menggantikan presiden moderat Hassan Rouhani, yang pencapaian pentingnya adalah kesepakatan nuklir 2015 antara Iran dan enam negara berpengaruh dunia.
Sejak awal, Raisi harus menangani pembicaraan nuklir yang bertujuan untuk menghidupkan kembali perjanjian, di mana AS telah menarik diri secara sepihak.
Pemimpin berusia 60 tahun ini juga menghadapi peringatan dari AS, Inggris dan Israel terhadap Iran terkait serangan tanker mematikan, di mana Teheran membantah bertanggung jawab atas serangan itu.
Raisi secara resmi memulai masa jabatan empat tahunnya setelah kemenangannya dalam pemilu didukung oleh pemimpin tertinggi republik Islam itu, Ayatullah Ali Khamenei.
Raisi menang pemilihan presiden pada Juni lalu di mana lebih dari separuh pemilih tidak mengikutinya setelah banyak tokoh politik dilarang mencalonkan diri.
Mantan kepala kehakiman Iran itu dikritik Barat atas catatan HAM-nya.
Upacara pelantikannya dilangsungkan pukul 10.30 pagi di kantor pemimpin tertinggi di Teheran Tengah, kata media pemerintah. Pembatasan lalu lintas diberlakukan di jalan-jalan sekitar lokasi, dengan perjalanan udara domestik dari dan keluar ibu kota dilarang selama dua jam hingga tengah hari, kata berbagai laporan media.
Hari Kamis (5/8), Raisi akan diambil sumpahnya di parlemen, di mana ia akan mengajukan usulan daftar anggota pemerintahannya.
Kepresidenan Raisi akan mengonsolidasikan kekuasaan di tangan tokoh-tokoh konservatif menyusul kemenangan mereka dalam pemilu legislatif 2020, yang ditandai dengan didiskualifikasinya ribuan kandidat reformis atau moderat.
Pada 27 Juli, ia meminta parlemen agar “bekerja sama” untuk meningkatkan harapan masa depan rakyat Iran. “Saya sangat berharap bagi masa depan negara dan yakin bahwa kesulitan dan keterbatasan dapat diatasi,” katanya dalam pernyataan yang dikeluarkan kantornya.
Kesulitan ekonomi Iran, yang diperparah oleh sanksi-sanksi AS, akan menjadi tantangan utama presiden baru itu, kata Clement Therme, peneliti di European University Institute di Italia. “Tujuan utamanya adalah memperbaiki situasi ekonomi dengan memperkuat hubungan ekonomi republik Islam itu dengan negara-negara tetangganya,” dan negara-negara lain seperti Rusia dan China , kata Therme kepada AFP.
Menurut perjanjian 2015, Iran setuju membatasi kemampuan nuklirnya dengan imbalan pelonggaran sanksi-sanksi. Tetapi Presiden AS Donald Trump mundur dari perjanjian itu tiga tahun kemudian dan meningkatkan sanksi-sanksi lagi, mendorong Teheran untuk mundur dari sebagian besar komitmen nuklirnya.
Penerus Trump, Joe Biden, telah mengisyaratkan kesediaan untuk kembali ke perjanjian itu dan terlibat dalam perundingan tidak langsung dengan Iran selain pembicaraan resmi dengan para pihak yang tersisa dalam perjanjian itu – Inggris, China , Prancis, Jerman dan Rusia.
Sanksi-sanksi AS telah mencekik Iran, termasuk upaya menghentikan ekspor minyaknya, dan ekonominya menyusut lebih dari 6 persen pada tahun 2018 dan 2019. [uh/ab]