Sekelompok penyerang yang bersenjatakan senapan mesin dan AK-47 menyerang istana pemerintah Guinea-Bissau selama beberapa jam pada Selasa (1/2) ketika presiden dan perdana menteri berada di dalam istana itu. Tetapi upaya kudeta itu akhirnya berhasil digagalkan.
Berbicara kepada wartawan pada Selasa (1/2) malam, Presiden Umaro Sissoco Embalo mengatakan “upaya melawan demokrasi” terjadi ketika berlangsung pertemuan pemerintah di gedung itu. Ia menambahkan bahwa “pasukan pertahanan dan keamanan republik kami mampu menghentikan kejahatan ini.” Associated Press melaporkan aksi penembakan itu berlangsung selama lima jam.
Belum jelas siapa yang berada di balik serangan itu, meskipun Embalo mengatakan hal ini “juga ada hubungannya dengan perjuangan melawan perdagangan narkoba.”
Guinea-Bissau dikenal sebagai titik transit kokain antara Amerika Latin dan Eropa pada tahun 2000an ketika para penyelundup mendapat keuntungan dari korupsi dan lemahnya penegakan hukum di negara itu.
Blok regional Afrika Barat yang beranggotakan 15 negara yang dikenal sebagai ECOWAS – dan selama 18 bulan terakhir ini telah bergulat mengatasi tiga kudeta lain di negara-negara anggotanya – menyebut aksi kekerasan yang terjadi pada Selasa (1/2) tersebut sebagai upaya kudeta dan mengatakan pihaknya mengikuti situasi di Guinea-Bissau “dengan sangat prihatin.”
Kementerian Luar Negeri Portugal mencuit bahwa pihaknya mengutuk keras serangan di negara bekas jajahannya itu.
Sejak merdeka dari Portugal tahun 1974, Guinea-Bissau telah mengalami empat kudeta dan lebih dari sepuluh percobaan kudeta.
Embalo, mantan Jenderal Angkatan Darat, dinyatakan sebagai pemenang pemilu putaran kedua pada Desember 2019, meskipun hasilnya ditentang oleh lawan politiknya. Embalo membentuk pemerintahan baru dengan dukungan militer, sementara gugatan hukum atas pemilu tersebut di yang bergulir di Mahkamah Agung tertunda.
Upaya kudeta pada Selasa (1/2) terjadi di tengah tren pengambilalihan kekuasaan oleh pihak militer di wilayah Afrika Barat. Sejak Agustus 2020, tentara telah merebut kekuasaan di Mali, Guinea, dan Burkina Faso. Meskipun ada tekanan dari masyarakat internasional untuk kembali pada aturan konstitusional, belum ada penguasa militer yang menyelenggarakan pemilihan baru.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, yang berbicara kepada wartawan di markas besar PBB di New York, mengutuk “kudeta mengerikan yang terjadi berkali-kali” di kawasan itu, yang disebutnya “benar-benar tidak dapat diterima.” [em/lt]