Malam itu, Karni Ilyas tampak berbeda. Ia menyapa pemirsa dengan suara khasnya di tengah gema malam takbiran. Jurnalis senior itu lalu memperkenalkan dua sosok perempuan asing, yang katanya, akan masuk ke dalam jejeran presenter berita tanah air.
Namun, penampakannya yang janggal tak bisa dielak: badan Karni dan dua presenter perempuan itu mati gaya – tak lazim bagi seorang presenter layar kaca.
“Yang tampil di hadapan Anda saat ini adalah Karni Ilyas dalam bentuk avatar, yang dibuat oleh mesin kecerdasan buatan,” kata Karni. “Ini menandai penampilan saya sebagai presenter avatar pertama di Indonesia.”
Sentuhan kecerdasan buatan akhirnya hadir di layar TV tanah air
Hadirnya presenter berita virtual itu, resmi menandakan sentuhan kecerdasan buatan (AI) yang kini merambah dunia pers tanah air – empat tahun setelah presenter virtual pertama kali diperkenalkan ke dunia oleh media China.
Kedua presenter itu, bernama Sasya dan Nadira, diluncurkan stasiun berita tvOne pada Jumat (21/4), berbarengan dengan peluncuran media berbasis kecerdasan buatan tvOne.ai yang diklaim sebagai pelopor media AI di Indonesia.
Kemunculan Sasya dan Nadira kemudian disusul Bhoomi – semuanya perempuan – dengan penampakan ketiganya yang berbeda secara fisik dan suara.
“Peluncurannya kan di Hari Kartini. Jadi kita ingin angkat perempuan,” tutur CEO tvOne Taufan Eko Nugroho kepada VOA, sembari menjelaskan ambisinya untuk tak langsung meluncurkan banyak presenter virtual sekaligus.
“Kami ingin coba merasakan efektivitas pembuatan konten ini seperti apa. Sebenarnya yang bisa kami luncurkan itu bisa sampai 20 lebih presenter.”
Ketiganya, kata Taufan, masing-masing mewakili tiga presenter ‘asli’ yang berbeda. Sasya mewakili presenter tvOne bernama Syahda Yustiza, Nadira mewakili Fahda Indi – juga berhijab, dan Bhoomi mewakili Tiara Harahap.
“Grafisnya dari AI, suaranya tetap dari presenter asli,” papar Taufan. “Ke depannya, saya kepingin mereka (presenter -red) punya avatarnya masing-masing.”
What’s next?
Peluncuran presenter berita virtual tvOne.ai tersebut menuai berbagai respons warganet.
“Semua komentar kami lihat,” aku penasihat AI media tvOne.ai Apni Jaya Putra.
Apni lalu menunjukkan rencana tvOne.ai ke depan: presenter virtual berbicara bahasa asing dan daerah hingga yang berjenis kelamin pria. Sang presenter – yang sejauh ini hanya punya gerakan wajah – juga akan segera punya gestur tubuh.
“Ada gak yang sudah punya emosi? Ada, tapi kita belum keluarkan. Tangannya (nanti) akan bergerak semua.”
Meski diluncurkan lewat siaran program televisi terestrial, Taufan mengaku akan lebih fokus mendistribusikan konten presenter virtual ini ke platform digital dan media sosial – tempat yang didominasi generasi muda.
“Kami masih ada tvOne (sebagai stasiun) TV, nah, nanti mungkin ada interaksi antara avatar dan presenter asli, atau antara avatar dengan bintang tamu, seperti Pak Menteri ini, Bu Menteri ini,” jelas Taufan.
‘Jurnalis jadi tergusur’?
Di dunia, presenter berita virtual ini bukan ‘barang baru’. Indonesia mengikuti jejak negara-negara yang sudah terlebih dulu punya presenter berita virtual.
Di China, kantor berita Xinhua meluncurkan presenter virtual berbasis AI pertamanya – juga pertama di dunia – yang meniru presenter aslinya, pada November 2018 silam. Teranyar, ada pula India Today dengan presenter virtualnya “Sana”, juga Kuwait News dengan “Fedha”, yang sama-sama diperkenalkan tahun ini.
Kehadiran presenter berita virtual ini, bagaimana pun, disebut Taufan tak akan gantikan sepenuhnya peran presenter berita tvOne yang asli. Penyajian konten tvOne.ai dalam bahasa Indonesia pun, disebutnya, akan terus menggandeng presenter asli.
“Ada dorongan dari tim kami, ‘Udah, (penyajian) presenter (virtual)nya sepenuhnya dengan AI aja,'’” kata Taufan, meniru obrolan dalam tim. “Saya bilang, ‘Jangan, nanti kita edukasinya malah gak tepat tuh.'”
Seiring menjamurnya presenter ‘maya’ ini, jurnalis Aiman Witjaksono menyambutnya secara positif.
“Ini bagus sekali,” kata Pemimpin Redaksi MNC News itu kepada VOA, “Untuk menambah khazanah penyiaran di tanah air.”
Namun, ia menggarisbawahi perbedaan presenter virtual sebagai ‘pembaca’ berita, berbeda dengan presenter manusia – jurnalis – sebagai ‘pembawa’ berita.
“Soal rasa dan nurani, (jurnalis) tidak akan pernah tergantikan,” tutupnya.
Senada dengan Aiman, presenter berita KompasTV Frisca Clarissa lalu menekankan emosi ‘datar’ presenter virtual sebagai letak pembeda audiens dalam menyukai presenter manusia.
Belum lagi, menurutnya, rutinitas jurnalistik yang kompleks beserta kode etiknya di Indonesia.
“AI itu bisa mewarnai televisi, mewarnai kerja-kerja jurnalistik,” tutur jurnalis Kepresidenan itu. “Tapi tidak bisa menggantikan peran manusia, termasuk presenter berita.”
‘Misinformasi jadi subur’?
Disinformasi adalah masalah yang dikhawatirkan akan menjadi lebih banyak, menurut PhD Candidate di Queensland University of Technology (QUT) Australia, Albertus Prestianta.
Sebagai contoh, beberapa waktu lalu, jagat maya, yang turut mengikuti perkembangan pendakwaan mantan Presiden AS Donald Trump pada awal April, sempat dihebohkan ‘foto-foto’ Trump yang diseret kepolisian.
Belakangan, diketahui ‘foto-foto’ itu palsu – gambar hasil AI yang diunggah di lini masa Twitter.
“Teknologi ini sangat, sangat bagus dalam membuat ‘berita palsu’,” kata Profesor Universitas Oxford, Michael Wooldridge kepada AP. “Dan salah satu cara menggunakannya, kalau Anda tak bermoral, adalah dengan menjadikan pembuatan ‘berita palsu’ sebagai sebuah industri.”
Albertus lantas mendorong adopsi AI oleh media yang dapat membuat produk jurnalistik lebih efisien, tetapi mewanti-wanti media untuk tak serta merta mengadopsi teknologi baru demi faktor ekonomi saja.
“Karena AI, sekali lagi, tidak bisa seperti halnya manusia, memaknai konten atau pesan, baik atau buruk,” papar Albertus kepada VOA.
“AI juga bias,” katanya, mengingat teknologi AI yang disebutnya hanya dipasok data dan informasi tertentu, sesuai keinginan pengembangnya.
Maka pelaku pers, imbuhnya, harus transparan akan sejauh mana penggunaan AI-nya.
“AI ini menjadi bagian dari redaksi untuk membantu bekerja, tapi (redaksi harusnya) tidak menyerahkan seluruhnya kepada AI untuk memproduksi informasi,” simpul pria yang juga dosen jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara itu.
Media harus jadi ‘oasis’
Potensi suburnya disinformasi juga menjadi perhatian tvOne.ai. Apni yakin akan adanya ‘tsunami berita palsu’ dan deep fake di masa mendatang. Untuk mengatasi hal itu, peran edukasi disebut Taufan maupun Apni jadi perhatian dalam penggarapan tvOne.ai. Apni juga menambahkan, arus informasi harus dikontrol media arus utama.
“Karena cuma media arus utama yang punya protokol ketat dalam disiplin verifikasi,” ujar pria yang juga praktisi media itu.
Terkait peran itu, Albertus lalu menekankan pentingnya peran pers untuk memberantas misinformasi dan tetap bisa mengedukasi mana yang berita dan bukan.
“Masyarakat kita punya hak untuk mendapatkan informasi yang benar, dapat diandalkan, dan tepercaya, untuk mengambil keputusannya dia di kemudian hari,” sambungnya, “Media harus jadi oasis. Masa kita malah nambah-nambahin hoaks?”
Ia lalu mengingatkan pesta demokrasi yang kian dekat.
“Besok, tahun politik. Persoalannya, orang kita, masyarakat kita, publik kita, sudah siap atau belum?” [gg/dw]
Forum