Menciptakan dan mengembangkan kendaraan listrik buatan Indonesia sudah menjadi mimpi sejak lama. Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani mengatakan hal itu sangat mungkin diwujudkan mengingat melimpahnya sumber daya nikel yang ada.
“Bicara potensi dari nikel dan segala macam, sampai ke baterainya sudah ada. Tapi mobilnya kan kita belum ada, mobil listriknya. Sedangkan kita sudah committed untuk net zero emission di 2060, malah keinginan dari Bapak Presiden bisa lebih cepat,” ungkap Rosan setelah rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, 6 Februari lalu.
Namun sejauh ini Indonesia masih sangat bergantung pada investasi asing, terkait dengan pengembangan industri dan ekosistem kendaraan listrik – seperti Hyundai, BYD dan Wuling – yang sudah membangun pabrik di Indonesia. Pemerintah berharap anak bangsa dapat memainkan peran yang lebih besar lagi.
Saat ini produksi mobil listrik di Indonesia baru mencapai 1,2 juta per tahun. Sementara target pemerintah pada tahun 2030 mendatang adalah 2,5 juta mobil listrik. “Maung” yang diproduksi PT Pindad sempat disebut dalam ratas di Istana Kepresidenan itu.
“Intinya masa kita tidak bisa berperan lebih besar dari itu. Jadi kita diminta juga untuk melakukan pengkajian, karena kita sudah ada Maung, ya mungkin nanti ada pengembangan berikutnya, kita akan bicarakan lebih lanjut lagi assestmentnya,” jelasnya.
Pakar: Potensi Besar, Tantangan juga Besar
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa yakin Indonesia berpotensi menjadi produsen kendaraan listrik karena sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sudah banyak perguruan tinggi yang menunjukkan berbagai prototipe kendaraan listrik.
“Jadi kalau kita lihat dari usahanya, memang sudah cukup lama untuk menghasilkan mobil listrik. Misalnya Institute Teknologi Sepuluh November (ITS) yang sudah mengeluarkan prototipe. Setahu saya juga Pindad sudah mengeluarkan prototipe mobil listrik. Jadi kalau dari sisi desain dan rancangan sudah ada. Tentunya yang jadi pertanyaan, kalau mau bangun mobil listrik itu untuk segmen apa?,” ujar Fabby.
Untuk tahap awal, Fabby menyarankan pemerintah untuk tidak memproduksi mobil listrik secara massal karena justru akan menambah sesak jalanan ibu kota.
“Yang utama kita kalau mau mengembangkan jangan masuk ke mobil penumpang yang sudah crowded. Jadi, harus mencari segmen lain misalkan apa? Yang dibutuhkan Indonesia itu mungkin untuk kendaraan pedesaan atau angkutan pedesaan bisa roda tiga atau roda empat. Mereka butuh yang affordable misalnya untuk petani mengangkut produk pertanian, itu mungkin inovasi yang bisa di buat oleh Indonesia,” jelasnya.
Peta Jalan
Diwawancarai secara terpisah, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan jika ingin membuat mobil listrik sendiri, Indonesia harus membuat peta jalan yang jelas lebih dulu – dari hulu ke hilir.
“Sejak awal harus ada roadmap dari hulu sampai ke hilir. Kemudian mobil listriknya secara bertahap itu harus dikembangkan di Indonesia, bukan diimpor seperti sekarang ini. Kalau mengimpor itu hanya menjadikan Indonesia sebagai pasar dari produsen luar negeri saja,” ungkap Fahmy.
Untuk mengembangkan secara bertahap, pemerintah bisa melibatkan investor asing dengan syarat membangun pabrik dan produksi di Indonesia, serta alih teknologi yang signifikan, tambahnya.
“Itu yang saya maksud komprehensif dari hulu ke hilir, vertikal dan juga horizontal. Maka dalam waktu 15 tahun lah, itu kita sudah bisa menjadi produsen mobil listrik baik untuk pasar dalam negeri maupun pasar ekspor. Jadi hilirisasi harusnya menciptakan industrialisasi dari hulu ke hilir. Kalau itu sudah tercipta dengan baik, maka pada saat itulah Indonesia akan menjadi negara maju karena pertumbuhan ekonominya ditopang oleh industri manufaktur dan bukan ditopang oleh konsumsi yang saat ini sangat rentan,” tuturnya. (gi/em)
Forum