Tautan-tautan Akses

Politik Uang Makin Marak, Tetapi Efektivitasnya Dipertanyakan


Pejalan kaki melewati spanduk kampanye Pemilu 2019 di Jakarta.(Foto: AFP/Bay Ismoyo)
Pejalan kaki melewati spanduk kampanye Pemilu 2019 di Jakarta.(Foto: AFP/Bay Ismoyo)

Pemilu Indonesia selalu diwarnai praktik jual-beli suara. Politik uang telah berlangsung bertahun-tahun dan dinilai banyak pihak memperburuk kualitas demokrasi. Namun, sulit diberantas karena pemilik suara dan politisi sama-sama memiliki kepentingan.

Politik uang dipraktikkan secara sederhana. Masyarakat sebagai pemilik suara, menjual dukungan satu suara yang dia miliki kepada politisi, baik calon legislatif atau calon kepala daerah, yang berlaga dalam pemilu. Besaran uang pembelian suara ini bervariasi di setiap daerah.

Bagi Syukron Arif Muttaqin, politisi lokal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Yogyakarta, politik uang tidak bisa lepas dari sistem politik dan situasi di sekelilingnya yang memberi peluang.

“Kalau memang ingin mengurangi, minimal, karena menghilangkan butuh proses panjang, sistem pemilunya harus dibuat yang lebih tidak memberikan kesempatan politik uang,” ujarnya kepada VOA, Selasa (6/6).

Seorang teller sedang menghitung uang rupiah di Jakarta, 27 Oktober 2014. (Foto: Reuters)
Seorang teller sedang menghitung uang rupiah di Jakarta, 27 Oktober 2014. (Foto: Reuters)

Situasi yang mendukung praktik politik uang itu, antara lain adalah karena politisi diposisikan oleh partai sebagai pendulang suara. Calon anggota legislatif, misalnya, kemudian berlomba-lomba mencari dukungan suara sebanyak-banyaknya, dengan segala macam cara. Karena target itulah, strategi membeli suara kemudian muncul.

Dalam diskusi terkait Pemilu 2024 di Yogyakarta, Senin (5/6), pengamat politik Fisipol, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dr Arie Sujito menyebut dua sisi mata uang dari praktik ini, baik bagi politisi maupun masyarakat.

“Politik uang itu dibenci tapi dirindukan,” ujar Arie yang juga Wakil Rektor UGM ini.

Penulis buku Tonggak Politik dan dosen UGM, Arie Sujito. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Penulis buku Tonggak Politik dan dosen UGM, Arie Sujito. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Sebagai sosiolog, Arie tidak menggunakan argumen moral menyikapi praktik politik uang. Dia melihatnya sebagai sebuah fenomena.

“Saya, kalau ketemu partai politik, mereka bicara, wah rakyat sudah pragmatis sekali. Mereka mintanya duit, minta semen, minta karpet, minta aspal. Tapi kalau ketemu rakyat, mereka bilang, partai itu seenaknya, enggak mau berjuang, tahunya duduk di kekuasaan, membeli kita pakai uang,” bebernya.

Arie mengatakan ada keterputusasaan hubungan antara politisi, partai dan masyarakat sebagai konstituen. Seharusnya partai selalu hadir di tengah masyarakat sepanjang lima tahun. Namun, pada praktiknya partai dan politisi hanya datang di saat menjelang pemilu berlangsung. Tidak mengherankan, jika kemudian masyarakat sebagai pemilih bersifat pragmatis.

Masalahnya, lanjut Arie, politisi dan partai tidak mendidik masyarakat. Persoalan lain adalah karena kebijakan dan program tidak pernah mengemuka dalam kampanye partai politik. Karena ketiadaan tawaran program, partai dan politisi menyodorkan uang untuk membeli suara.

“Partai politik ini tidak bekerja sesuai dengan fungsinya. Dia sekedar hanya menjadi peserta Pemilu,” tambah Arie.

Tawaran dan Permintaan

Dr. Kuskrido Ambardi, peneliti senior di Social Research Center, Universitas Gadjah Mada melihat ini selayaknya prinsip ekonomi terkait penawaran dan permintaan.

“Ada politisi yang menawarkan dan memulai itu, sehingga masyarakat pemilihnya yang akan mengikutinya. Tetapi, bisa juga dari masyarakat memang ada permintaan,” ujarnya.

Seorang pemuda menggunakan ponselnya di depan mural kampanye Pemilu 2019, Banda Aceh, 17 Maret 2019. (Foto: AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN)
Seorang pemuda menggunakan ponselnya di depan mural kampanye Pemilu 2019, Banda Aceh, 17 Maret 2019. (Foto: AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN)

Kuskrido menyebut, dalam sejumlah kasus masyarakat memang langsung meminta politisi untuk tidak banyak berwacana. Yang mereka tanyakan adalah soal amplop, karpet, atau bantuan perbaikan jalan.

Kuskrido mengaku memiliki pengalaman empiris terkait ini, dimana politisi sama sekali tidak percaya dengan pengembangan strategi kebijakan atau strategi persuasi. Dia sepenuhnya percaya kepada kekuatan uang. Ketika politisi lain menggelontorkan uang untuk membeli suara di sebuah daerah pemilihan, dia membelanjakan uang lebih besar lagi. Dalam bahasa kiasan, Kuskrido menyebut politisi ini tidak hanya melakukan serangan fajar, sebagai istilah untuk pembagian amplop di pagi hari menjelang saat pencoblosan, tetapi juga menggelar serangan tengah malam.

“Dia percaya, bahwa itu yang paling efektif,” kata Kuskrido.

Seorang petugas pemilu membantu seorang perempuan lanjut usia untuk menandai jarinya dengan tinta setelah memberikan suaranya pada Pilkada di Tangerang, Banten, 27 Juni 2018. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
Seorang petugas pemilu membantu seorang perempuan lanjut usia untuk menandai jarinya dengan tinta setelah memberikan suaranya pada Pilkada di Tangerang, Banten, 27 Juni 2018. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Marak Tapi Tidak Efektif

Eep Saefulloh Fatah, CEO lembaga survei politik PollMark Indonesia menyebut, ada gejala di tengah masyarakat yang menurutnya perlu dikaji soal praktik politik uang ini.

“Sebetulnya, dalam praktek pemilu, ada dua pertanyaan yang harus kita bedakan. Apakah politik uang itu marak? Yang kedua, apakah politik uang itu efektif,” ujarnya.

Eep tidak menolak kenyataan, bahwa politik uang semakin marak. Dalam banyak survei yang dia lakukan, mayoritas responden mengakui menerima uang atau pemberian yang lain, dari kandidat atau partai politik agar mereka memilih pihak pemberi.

Namun, Eep menilai jawaban itu tidak menunjukkan efektivitas politik uang tetapi hanya terkait semakin maraknya politik uang.

“Bagaimana dengan efektivitasnya? Semakin k esini, trennya juga konsisten, semakin banyak pemilih yang mengatakan menerima uangnya, tetapi pilihan saya adalah soal yang lain,” ujarnya.

Pemilih, lanjut Eep, memahami bahwa pilihan mereka di bilik suara sepenuhnya hanya dia yang tahu. Karena itu, tidak ada cara untuk membuktikan, ketika dia tidak memilih calon yang memberinya uang.

Karena itulah, Eep menilai, efektivitas politik uang semakin lama semakin rendah.

“Pada saat yang sama, politik uang semakin marak, apa yang terjadi? Pemilih semakin cerdas, kandidat dan partai politik semakin tidak cerdas,” tegasnya.

Salah satu kampanye pemilu di Jakarta pada 2014. (Foto: Reuters)
Salah satu kampanye pemilu di Jakarta pada 2014. (Foto: Reuters)

Dua Pihak Berperan

Baik politisi maupun masyarakat, bisa berada dalam posisi sebagai pemberi tawaran dalam kasus politik uang.

“Tapi pada saat yang sama, tawaran itu tidak akan berjalan kalau permintannya tidak ada. Dua hal ini yang harus kita tangani,” kata Kuskrido Ambardi.

Dalam sebuah survei yang pernah dia lakukan, Kuskrido mencatat bahwa harga suara di setiap daerah berbeda. Dia mencatat, variasi pembelian suara itu antara Rp 20 ribu yang paling murah, hingga Rp500 ribu untuk satu suara sebagai yang termahal.

Praktik ini membuat deklarasi anti politik uang, yang biasa digelar partai politik dan KPU menjelang pemilu menjadi tidak bermakna.

Para petugas pemilu melakukan perhitungan suara Pilpres di salah satu TPS di Jakarta, Rabu sore (17/4).
Para petugas pemilu melakukan perhitungan suara Pilpres di salah satu TPS di Jakarta, Rabu sore (17/4).

Kuskrido menyebut, baik politisi maupun masyarakat memiliki peran dalam menekan praktik ini. Arie Sujito juga setuju, bahwa menyelesaikan praktik politik uang, tidak bisa dilakukan hanya pada satu sisi. Baik partai maupun pemilih harus menjadi sasaran pendidikan politik.

Sementara sebagai politisi Syukron Arif Muttaqin menyebut salah satu jalan keluar yang bisa ditempuh adalah memperkuat peran partai politik.

“Partai politik harus didorong menjadi salah satu instrumen, untuk menjadi filter terjadinya politik uang,” ujarnya.

Seorang pria mengendarai sepeda motor melewati jembatan layang yang dihiasi bendera-bendera partai politik menjelang pemilu, Jakarta, 6 April 2019. (Foto: Reuters)
Seorang pria mengendarai sepeda motor melewati jembatan layang yang dihiasi bendera-bendera partai politik menjelang pemilu, Jakarta, 6 April 2019. (Foto: Reuters)

Dalam praktiknya, upaya itu bisa dilakukan melalui seleksi calon anggota legislatif secara benar. Politisi harus dipilih berdasar kualitas maupun kapabilitas agar benar-benar bisa menjadi perwakilan partai politik di depan masyarakat pemilih. Jika sudah terpilih, politisi juga harus mampu menjalankan fungsinya. Partai politik juga didorong mampu melakukan evaluasi, terhadap kinerja politisi di lembaga legislatif.

Jika kinerja politisi dan dan partai politik baik, Syukron meyakini masyarakat akan memilih caleg berdasarkan kualitas dan kapasitasnya. Namun, proses ini membutuhkan waktu dan karena itu yang bisa dilakukan saat ini adalah mengurangi praktik politik uang, belum menghilangkannya sama sekali. [ns/ab]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG