Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono, Jumat (20/8), mengatakan Polri menangkap tiga tersangka yang memberi pendanaan, pelatihan penggunaan media sosial, dan pembuatan bom bagi kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso, Sulawesi Tengah.
Ketiga tersangka yang diamankan tersebut berinisial RWP, S, dan WS.
“RWP ini memberikan bantuan berupa uang dengan cara mengirimkan ke perbankan di kelompok MIT Poso dan kemudian untuk operasional persiapan amaliyah di kelompok MIT,” kata Argo Yuwono dalam konferensi Pers daring yang disiarkan melalui akun YouTube DIV Humas POLRI.
Argo menambahkan pada 12 Agustus-17 Agustus 2021, Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri telah menangkap total 53 tersangka tindak pidana terorisme di 11 Provinsi yaitu Sumatera Utara, Jambi, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Maluku, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur.
Dari jumlah itu, imbuhnya, 50 orang adalah anggota jaringan Jamaah Islamiyah dari 10 provinsi dan tiga orang dari jaringan Ansharut Daulah di Kalimantan Timur.
Pengejaran MIT
Satuan Tugas (Satgas) Operasi Madago Raya di Sulawesi Tengah masih melakukan pengejaran terhadap sisa kelompok MIT di hutan pegunungan di wilayah Kabupaten Poso, Sigi dan Parigi Moutong.
Anggota kelompok itu kini tersisa enam orang setelah tiga anggotanya tewas dalam penyergapan Satgas Madago Raya pada 11 dan 17 Juli 2021 di Kabupaten Parigi Moutong. Mereka adalah Rukli, Abu Alim alias Ambo, dan Qatar alias Farel alias Anas.
Wakil Penanggung jawab Komando Operasi Madago Raya, Brigjen TNI Farid Makruf, mengatakan tewasnya Qatar, teroris asal Bima, Nusa Tenggara Barat, makin melemahkan pergerakan kelompok teroris itu.
“Karena rupanya selama ini, itu lebih dominan Qatar dalam menakhodai gerakan DPO (daftar pencarian orang) teroris ini,” kata Farid kepada para wartawan di Poso, Rabu (11/8).
Dia menambahkan kelompok itu kini hanya punya satu pucuk senjata api laras panjang M-16 dan satu pucuk revolver dengan amunisi yang terbatas.
“Dan M-16 itu senjata paling ringkih, kalau masuk ke hutan. Apalagi dia kena embun, kena air. Saya yakin Ali Kalora itu sudah tidak bisa dipakai M-16nya. Hanya revolver mungkin karena dirawat, itupun pelurunya sangat terbatas,” ujar Farid yang juga Komandan Komando Resort Militer (KOREM) 132 Tadulako.
Waspadai Paham Radikalisme
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Palu, Zainal Abidin mengingatkan pentingnya untuk mewaspadai perkembangan gerakan atau paham radikalisme yang mengarah kepada intoleransi dan terorisme.
“Radikalisme di Sulawesi Tengah, bukan sebatas gerakan dakwah, pemikiran atau ideologi tetapi sudah sampai dalam bentuk tindak teror. Bahkan hingga hari ini kelompok MIT masih eksis,” kata Zainal Abidin saat berbicara dalam Ngobrol Perempuan yang digelar leh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Sulawesi Tengah, Kamis (12/8) pekan lalu.
Menurutnya, seberapa besar potensi perkembangan gerakan atau paham radikalisme di Sulawesi Tengah tergantung kemampuan seluruh elemen masyarakat, termasuk warga, tokoh agama dan pemerintah, untuk mengontrol faktor-faktor penyebab, seperti pemikiran, Pendidikan, dan ekonomi.
Selain itu, imbuhnya, masyarakat Sulawesi Tengah rentan disusupi paham radikalisme, terutama mereka atau yang keluarganya pernah menjadi korban tragedi Poso beberapa tahun silam.
“Hal ini dapat dimanfaatkan oleh para propagandis radikalisme dengan dalih menegakkan keadilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa napiter (narapidana terorisme) kasus Poso, tidak dimotivasi oleh faktor ideologi-pemikiran keagamaan, tetapi lebih disebabkan oleh dendam pribadi,” jelas Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu itu.
Kondisi geografis Sulawesi Tengah yang dikelilingi oleh pegunungan dan hutan lebat, juga berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikalisme-terorisme sebagai tempat persembunyian yang aman dari jangkauan aparat, seperti yang dilakukan oleh MIT. [yl/ft]