Puluhan orang dari berbagai organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam Boemi Poetra Menggugat, menyerukan pembongkaran patung Dewa Perang Cina, Kwan Seng Tee Koen atau Kwan Kong di Klenteng Kwan Seng Bio, Tuban.
Didik Muadi selaku Koordinator Aksi mengatakan, pendirian patung dewa perang Kwang Kong dianggap merendahkan martabat bangsa Indonesia, yang oleh jasa para pahlawan dan pejuang telah menjadi negara yang merdeka. Keberadaan patung setinggi 30 meter yang diresmikan pada Juli 2016 lalu oleh Ketua MPR Zulkifli Hasan itu dianggap sebagai simbol yang akan menguasai kearifan lokal yang ada di Tuban.
“Kalau mereka membuat patung persembahan, ya tidak setinggi itu. Okelah maksimal dua meter harus di dalam, kalau memang untuk persembahan, ini kan seakan-akan dia mengatakan bahwa dewa saya sudah menguasai Tuban, oh jangan sampai,” ujar Didik Muadi.
Didik Muadi mengatakan, pembongkaran patung di Klenteng Kwan Seng Bio, Tuban ini, akan menjadi pijakan untuk menggugat keberadaan patung-patung ukuran besar lainnya yang ada di berbagai daerah di Indonesia, yang tidak mewakili budaya bangsa Indonesia.
“Ini kan pintu masuknya kita akan menggugat semua patung-patung yang ada di Indonesia yang tidak berbudaya bangsa. Banyak pahlawan-pahlawan besar kita, kenapa tidak dibuatkan patung. Kalau seperti ini kan kita sebagai anak bangsa ini kecewa,” lanjut Didik Muadi.
Ketua Pengurus Daerah Perhimpunan Indonesia Tionghoa (PITI) Jawa Timur, Gatot Santoso mengatakan, aksi penolakan keberadaan patung Dewa Kwan Kong di Klenteng Tuban, didasari pemahaman yang keliru terhadap Dewa Kwan Kong yang dihormati oleh umat Khonghucu.
“Itu disalahpersepsikan bahwa itu jenderal, yang kita puja itu jenderal perangnya, tidak. Yang kita puja dan kita hormati itu adalah kesetiaannya, kesetiaannya kepada kemanusiaan, dia sangat membela keadilan. Nah itu yang kita puja, bukan perangnya itu, bukan,” ujar Gatot Santoso.
Anggota Komisi A DPRD Kabupaten Tuban, Abu Cholifah mengatakan, polemik patung di Klenteng Tuban sesungguhnya tidak melibatkan masyarakat Tuban, namun lebih pada upaya pihak luar yang mempolitisir melalui media sosial.
“Masyarakat Tuban sendiri kan sebetulnya sampai saat ini tidak ada persoalan, karena itu pembangunannya kan sudah lama sebetulnya itu. Artinya tidak ada pada waktu diresmikan saja, sebelum pembangunan mereka sudah tahu, terutama di sekitar itu tidak mempermasalahkan itu. Ya mungkin dipolitisir itu kan kepentingan mereka, kalau masalah Tuban, gak ada yang berusaha untuk ke sana (mempolitisir),” ujar Abu Cholifah.
Abu Cholifah menambahkan, permasalahan patung dewa di Klenteng Tuban hanya masalah perizinan, akibat konflik internal pengurus yayasan Klenteng.
“Masyarakat Tuban tidak mempermasalahkan persoalan pembangunan patung itu. Cuma kamarin yang sempat menjadi polemik itu masalah di IMB (izin mendirikan bangunan), itu setiap bangunan yang ada di Tuban itu kan harus mempunyai IMB, nah berhubung di sana itu ada konflik internal dalam hal pengelolaan klenteng itu, yang dalam bentuk Yayasan, sampai sekarang itu, Yayasannya itu masih di-pending, karena belum menyelesaikan persoalan internal mereka, sehingga IMBnya itu juga tidak bisa dikeluarkan karena yayasan yang ada itu masih bermasalah,” papar Abu Cholifah.
Sementara itu aktivis Nahdliyin dari Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD), Aan Anshori mengatakan, penolakan patung di Klenteng Tuban diduga dibawah kendali kelompok sel ISIS yang mencoba muncul dengan menggandeng kelompok intoleran.
“Hanya Islam faksi ISIS saja yang kerap kali merasa dirinya terintimidasi dengan patung, dan saya menduga bahwa sel-sel ISIS yang lagi tidur di Jawa Timur, ini berada di balik upaya penolakan patung yang ada di Tuban. Nah pemerintah, aparat hukum, aparat militer, harus mewaspadai hal ini, karena saya kira sel-sel tidur ISIS di Jawa Timur ini tengah beroperasi dan menggandeng kelompok-kelompok intoleran dengan mengusung isu-isu identitas yang membahayakan,” pungkas Aan Anshori. [pr/lt]