Pemimpin partai pemenang pemilu Thailand yang gagal menjadi perdana menteri, Pita Limjaroenrat, Kamis (9/11), bersumpah untuk kembali mencalonkan diri untuk jabatan itu, menentang kekuatan-kekuatan konservatif yang menghalangi dirinya dan meskipun ia menghadapi kasus di pengadilan.
Politisi berusia 43 tahun ini memimpin Partai Bergerak Maju (MFP) yang secara mengejutkan meraih suara terbanyak dalam pemilihan umum Mei lalu. Ia banyak didukung oleh kaum muda dan masyarakat perkotaan Thailand yang sudah jenuh dengan pemerintahan militer selama hampir satu dekade. Namun kemudian, ambisinya untuk menjadi perdana menteri dihalangi olek kelompok-kelompok prokerajaan dan promiliter yang menentang agenda reformasinya.
Mantan sekutu MFP, Pheu Thai, kemudian membentuk pemerintahan koalisi dengan partai-partai yang mempunyai hubungan dengan militer sehingga mengakibatkan partai progresif Pita kembali ke bangku oposisi.
Pita saat ini juga menghadapi masalah hukum yang bisa membuatnya dilarang mencalonkan diri selama bertahun-tahun.
Namun dalam sebuah wawancara dengan AFP, Pita berjanji akan kembali mencalonkan diri untuk jabatan perdana menteri.
"Tentu saja. Saya tidak akan menyerah, dan ini hanya masalah waktu saja," ujarnya ketika ditanya apakah ia berencana mencalonkan diri lagi.
Namun sejumlah hambatan masih menghadang, termasuk penangguhan jabatannya sebagai anggota parlemen.
MFP memenangkan kursi terbanyak pada pemilu 14 Mei namun gagal meraih mayoritas dan bergabung dengan Pheu Thai.
Pita membutuhkan dukungan mayoritas di kedua majelis parlemen untuk menjadi perdana menteri namun ia tidak dapat mengumpulkan cukup suara untuk mengatasi oposisi di Senat yang ditunjuk oleh junta.
Pita kalah dalam pemungutan suara pertama, kemudian dilarang mencalonkan diri dalam pemungutan suara kedua untuk jabatan perdana menteri dan ditangguhkan keanggotaannya di parlemen oleh Mahkamah Konstitusi karena kepemilikan sahamnya di bisnis media.
Berdasarkan hukum Thailand, seorang anggota parlemen dilarang memiliki saham di bisnis tersebut.
Pita mengatakan ia tetap optimistis dan mengatakan "semuanya bisa diubah" meski ia mengalami kemunduran.
"Para pemilih di Thailand telah menunjukkan bahwa mereka mencari alternatif dan mereka bersedia memilih jalan yang jarang dilalui," katanya.
Ia menunjuk pada Korea Selatan dan Indonesia, yang mengalami transformasi dari pemerintahan militer yang lama menjadi demokrasi pada tahun 1980an dan 1990an. [ab/uh]
Forum