Ketua Umum Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) Megawati Sukarnoputri mengatakan partainya akan mementingkan check and balance untuk menyikapi pemerintahan mendatang, yang dipimpin Prabowo Subianto. Menurut Megawati, partainya punya sejarah panjang dalam memperjuangkan demokrasi.
Hal itu disampaikan Megawati salam pidato politiknya saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP yang dimulai Jumat (24/5) di Beach City International Stadium Ancol, Jakarta.
Presiden ke-5 Indonesia itu juga menginginkan seluruh kadernya tidak berada di zona nyaman.
Kendati demikian, ia mengatakan bahwa PDIP tidak mengenal istilah oposisi maupun koalisi. Sebab, Indonesia adalah negara yang menganut sistem presidensial, bukan parlementer. Namun Megawati menekankan pentingnya pengawasan sebagai penyeimbang dalam berdemokrasi, termasuk pengawasan terhadap kekuasaan yang ada.
“Sebagai partai yang memiliki sejarah panjang di dalam memperjuangkan demokrasi, kita tetap menempatkan penting adanya check and balance bahwa demokrasi memerlukan kontrol dan penyeimbang,” ujar Megawati.
Terkait sikap PDIP terhadap pemerintah ke depan, Megawati menyatakan masih akan mendengar suara dan masukan dari para kader. Isu ini, lanjutnya, menjadi prioritas dalam Rakernas Kelima PDIP.
Dalam pidatonya, Megawati juga sempat menyoroti soal kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Kecurangan inilah, ujarnya, yang membuat kontestasi nasional tidak menjadi tempat rakyat untuk memiliki kedaulatannya.
Megawati menyinggung intervensi kekuasaan dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 Mahkamah Konstitusi. Putusan MK tersebut menetapkan persyaratan usia minimal bagi calon presiden/ wakil presiden yang dialternatifkan bagi calon yang pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk Pilkada.
Pengubahan aturan ini memungkinkan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk memjadi cawapres Prabowo.
Megawati juga berbicara soal pemimpin otoriter populis. Berpijak dari pemikiran seorang pemikir kebhinekaan bernama Sukidi, Megawati menyebut belakangan terjadi anomali dalam demokrasi di Indonesia yang melahirkan kepemimpinan paradoks dan otoritarian.
“Terjadinya anomali demokrasi, secara gamblang dijelaskan oleh Dr. Sukidi, seorang pemikir kebhinekaan yang disegani. Sosok cendikiawan ini menjelaskan fenomena kepemimpinan pradoks yang memadukan populisme dan Machiavelli, hingga lahirnya watak pemimpin authoritarian populism (otoriter populis),”ungkap Megawati.
Dalam karakter kepemimpinan yang seperti itu, tambahnya, hukum dijadikan pembenaran atas tindakan yang sejatinya tidak memenuhi kaidah demokrasi. Solusi untuk menyelesaikan anomali dalam demokrasi bukan mencabut hak rakyat melainkan menerapkan suara rakyat merupakan suara Tuhan sehingga perlu dihargai.
Peneliti Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo, Jati menilai pidato Megawati dalam pembukaan Rakernas PDIP mengisyaratkan sikap oposisi PDIP dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Hal itu terindikasi dengan berulangnya Megawati menyebut makna “check and balance” dalam pidatonya. Terlebih Megawati juga menyinggung soal pemerintahan populis otoritarian.
“Dari dua indikasi awal sudah menunjukan arah politik secara simbolis PDIP mau ke oposisi. Cuma yang perlu kita lihat adalah sikap kolektif. Apakah pernyataan personal dari ibu ketum akan menjadi sikap kolektif partai, karena di sini dinamika masih berkembang,” ujarnya.
Sebagai partai pemenang legislative, kata Wasisto, PDIP akan memainkan peran penting untuk bisa menjadi menjadi kekuatan pengontrol pemerintah. Artinya dengan adanya modal “kursi” yang banyak di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini, itu akan menjadi kekuatan politik bagi PDIP untuk bisa memainkan peran sebagai oposisi.
Namun masalahnya, tambahnya, bagaimana bentuk sinergi yang bisa dimainkan PDIP dengan PKS,”karena kita tahu bahwa dua partai ini selama 10 tahun ini berada di dua level berbeda. PDIP 10 tahun berkuasa. PKS 10 tahun berada di luar pemerintahan. Artinya untuk mengharmoniskan pandangan kedua partai untuk 2024-2029 yang juga menjadi PR berikutnya sebenarnya,” jelasnya.
Merujuk hasil konversi suara pada Pemilu 2024 ke kursi DPR, empat parpol pendukung Prabowo-Gibran (Partai gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional) menguasai 280 dari 580 kursi atau sekitar 48,27 persen. Namun pasca pemilihan presiden lalu, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Nasdem mengaku siap bekerja sama dengan pemerintahan mendatang. Jika keduanya kelak bergabung dalam pemerintahan Prabowo-Gibran, bakal ada tambahan sokongan dari 137 kursi DPR yang diperoleh PKB dan Nasdem pada pemilu lalu. Tambahan itu membuat pemerintahan Prabowo-Gibran otomatis bakal disokong oleh mayoritas anggota DPR.
Di luar keenam partai tersebut, tinggal tersisa PDIP dan Partai Keadilan Sejahteran (PKS) yang lolos ambang batas parlemen, tetapi belum memutuskan posisi politik pasca pemilihan presiden. Di DPR 2024-2029, PDIP diperkirakan memiliki 110 kursi, sedangkan PKS memiliki 53 kursi.
Dalam Rakernas kelima PDIP, Presiden Joko Widodo dan Wali Kota Solo, Gibran Rakabumng Raka tidak diundang. Ketua Steering Committee Rakernas, Djarot Saiful Hidayat menyatakan tindakan Jokowi dan Gibran yang melanggar konstitusi tidak sesuai dengan sikap partai yang kokoh melaksanakan konstitusi.
Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana menyatakan tidak dalam posisi menanggapi pidato Ketua Umum PDIP tersebut karena pidato itu ditujukan untuk kalangan internal PDIP. Presiden Jokowi sendiri membagikan sembako kepada warga sekitar Istana Kepresidenan Yogyakarta di tengah Rakernas digelar. [fw/ft]
Forum