JAKARTA —
Para ahli di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan telah berhasil menemukan biang vaksin dari isolat lokal untuk menangkal virus flu burung clade (varian) 2.3.2 pada itik.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro, Selasa (8/1) mengatakan saat ini pihaknya tengah bekerja sama dengan produsen vaksin swasta dalam memproduksi vaksin virus flu burung jenis baru tersebut.
Menurutnya, pembuatan vaksin itu memerlukan waktu 35 hari, sehingga vaksin flu burung ini baru bisa dibagikan kepada peternak kecil dan menengah pada awal Februari secara gratis.
Sedangkan untuk peternak skala besar, menurut Syukur, mereka harus membeli sendiri, namun harganya tidak mahal karena diproduksi di dalam negeri dan bukan impor.
Pemerintah menargetkan memproduksi 75 juta dosis vaksin pada 2013, yang dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal, virus flu burung ini akan diproduksi sebanyak 25 juta dosis.
Syukur menyatakan alokasii anggaran untuk penanggulangan penyakit hewan menular adalah Rp 121,6 miliar, Rp 9,9 miliar diantaranya akan digunakan khusus untuk penanggulangan virus Avian Influenza atau flu burung.
Anggaran ini meningkat dari Rp 5,3 miliar pada 2012.
“Pengalaman selama ini, vaksin flu burung clade 2.1.3, penggunaan vaksin lokal jauh lebih efektif menekan kasus-kasus dibanding vaksin impor karena master seed (biang) kita ambil dari kasus yang ada di dalam negeri,” ujar Syukur.
Ia menambahkan berdasarkan hasil uji silang reaksi serologis ternyata vaksin H5N1 clade lama ada kemiripan dengan clade baru.
Ia mengungkapkan kemiripan membuat sejumlah pakar sepakat bahwa vaksin flu burung yang lama bisa diberikan pada itik, sambil menunggu vaksin baru selesai. Namun, vaksin lama harus diberikan dua kali agar tingkat kekebalan lebih tinggi.
Syukur mengatakan, pihaknya telah menyebar surat edaran ke dinas peternakan di seluruh Indonesia, untuk memberikan vaksinasi pada itik. Syukur juga mengimbau para peternak mengandangkan itik atau unggas peliharaan mereka untuk mencegah penularan.
“Saya membuat edaran kepada seluruh dinas-dinas peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia serta asosiasi-asosiasi perunggasan menyampaikan bahwa sambil menunggu dihasilkannya vaksin baru nantinya, mereka diminta menggunakan vaksin yang lama, vaksin yang telah digunakan selama ini,” ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Udayana I Gusti Ngurah Kade Mahardika menilai virus flu burung jenis baru yang ada saat ini kemungkinan berasal dari migrasi burung liar.
“Burung liar yang migrasinya lintas negara, dan burung ini jenis bisa angsa, bisa bebek terbang. Misalnya di danau, timbullah kontak dengan unggas lokal. Kontaknya bisa langsung artinya berhubungan dekat, bisa tidak langsung. Kotoran-kotoran, air-air yang dicemari oleh burung liar tersebut. Dua hal itu yang terjadi saya kira,” ujarnya.
“Menyetop migrasi burung liar tidak mungkin kita lakukan, paling tidak alat diagnostik yang spesifik untuk beberapa grup virus influenza itu harus dikembangkan,” tambahnya.
Data Direktortat Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian menyatakan dari Oktober 2012 hingga 6 Januari 2013, sekitar 160 ribu itik mati karena virus flu burung jenis baru ini.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro, Selasa (8/1) mengatakan saat ini pihaknya tengah bekerja sama dengan produsen vaksin swasta dalam memproduksi vaksin virus flu burung jenis baru tersebut.
Menurutnya, pembuatan vaksin itu memerlukan waktu 35 hari, sehingga vaksin flu burung ini baru bisa dibagikan kepada peternak kecil dan menengah pada awal Februari secara gratis.
Sedangkan untuk peternak skala besar, menurut Syukur, mereka harus membeli sendiri, namun harganya tidak mahal karena diproduksi di dalam negeri dan bukan impor.
Pemerintah menargetkan memproduksi 75 juta dosis vaksin pada 2013, yang dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal, virus flu burung ini akan diproduksi sebanyak 25 juta dosis.
Syukur menyatakan alokasii anggaran untuk penanggulangan penyakit hewan menular adalah Rp 121,6 miliar, Rp 9,9 miliar diantaranya akan digunakan khusus untuk penanggulangan virus Avian Influenza atau flu burung.
Anggaran ini meningkat dari Rp 5,3 miliar pada 2012.
“Pengalaman selama ini, vaksin flu burung clade 2.1.3, penggunaan vaksin lokal jauh lebih efektif menekan kasus-kasus dibanding vaksin impor karena master seed (biang) kita ambil dari kasus yang ada di dalam negeri,” ujar Syukur.
Ia menambahkan berdasarkan hasil uji silang reaksi serologis ternyata vaksin H5N1 clade lama ada kemiripan dengan clade baru.
Ia mengungkapkan kemiripan membuat sejumlah pakar sepakat bahwa vaksin flu burung yang lama bisa diberikan pada itik, sambil menunggu vaksin baru selesai. Namun, vaksin lama harus diberikan dua kali agar tingkat kekebalan lebih tinggi.
Syukur mengatakan, pihaknya telah menyebar surat edaran ke dinas peternakan di seluruh Indonesia, untuk memberikan vaksinasi pada itik. Syukur juga mengimbau para peternak mengandangkan itik atau unggas peliharaan mereka untuk mencegah penularan.
“Saya membuat edaran kepada seluruh dinas-dinas peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia serta asosiasi-asosiasi perunggasan menyampaikan bahwa sambil menunggu dihasilkannya vaksin baru nantinya, mereka diminta menggunakan vaksin yang lama, vaksin yang telah digunakan selama ini,” ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Udayana I Gusti Ngurah Kade Mahardika menilai virus flu burung jenis baru yang ada saat ini kemungkinan berasal dari migrasi burung liar.
“Burung liar yang migrasinya lintas negara, dan burung ini jenis bisa angsa, bisa bebek terbang. Misalnya di danau, timbullah kontak dengan unggas lokal. Kontaknya bisa langsung artinya berhubungan dekat, bisa tidak langsung. Kotoran-kotoran, air-air yang dicemari oleh burung liar tersebut. Dua hal itu yang terjadi saya kira,” ujarnya.
“Menyetop migrasi burung liar tidak mungkin kita lakukan, paling tidak alat diagnostik yang spesifik untuk beberapa grup virus influenza itu harus dikembangkan,” tambahnya.
Data Direktortat Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian menyatakan dari Oktober 2012 hingga 6 Januari 2013, sekitar 160 ribu itik mati karena virus flu burung jenis baru ini.