Inditex (ITX.MC) pemilik merek Zara, pada Rabu (12/3) melaporkan perlambatan pada awal kuartal pertamanya yang dimulai 1 Februari, memicu keraguan tentang kemampuan perusahaan untuk terus membangun pertumbuhan pesat yang baru-baru ini dicapai. Laporan itu lantas membuat saham Inditex turun sebesar 8%.
CEO Inditex, Oscar Garcia Maceiras, mengatakan bahwa informasi yang terus berubah tentang tarif dan dinamika geopolitik membuat prediksi jangka panjang menjadi sulit. Maceiras pun menambah daftar para pemimpin usaha yang menyoroti dampak ketidakpastian di tengah upaya Presiden AS Donald Trump merombak kebijakan perdagangan dan luar negeri.
Penjualan Inditex hanya naik 4%, secara hitungan netral mata uang, selama periode 1 Februari hingga 10 Maret, dibandingkan kenaikan 11% pada periode yang sama tahun lalu. Menurut analis dari Bernstein, William Woods, penjualan Inditex harus meningkat secara signifikan agar bisa memenuhi proyeksi analis sebesar 8,8% untuk kuartal pertama.
Para analis UBS menyebutkan ini adalah pembaruan perdagangan terlemah Inditex sejak 2016, jika tidak menghitung tahun-tahun pandemi.
Inditex tidak memberikan alasan pasti terkait perlambatan ini, tetapi sejumlah pelaku bisnis telah memperingatkan tentang melemahnya permintaan, khususnya di Amerika Serikat; pasar terbesar kedua Inditex berdasarkan penjualan setelah Spanyol. Perang dagang yang masih berlanjut dengan China, Meksiko, dan Kanada dinilai membebani konsumen di AS.
“Kita hidup di lingkungan yang tidak pasti, di mana secara logis kita berkewajiban untuk memantau setiap berita yang muncul. Dalam satu hari, sering ada berita yang saling bertentangan, sehingga sulit membuat prediksi jangka panjang,” ujar Garcia Maceiras dalam konferensi pers di kantor pusat Inditex di Arteixo, Spanyol.
Meski begitu, Maceiras mengatakan Inditex berada dalam posisi yang baik untuk menyesuaikan diri dengan adanya tarif, berkat diversifikasi sumber pasokan dan wilayah penjualan. Ia juga menampik perlambatan baru-baru ini dengan menyebutnya hanya periode singkat pada awal musim.
“Kami tetap optimistis menghadapi 2025,” imbuhnya.
Perusahaan ini melaporkan pertumbuhan 10,5% untuk penjualan setahun penuh dalam hitungan netral mata uang, mencapai 38,6 miliar euro (42,07 miliar dolar AS). Pada kuartal belanja akhir tahun, yang menjadi periode penting, pencapaian penjualan Inditex sebesar 11,2 miliar euro, sesuai ekspektasi analis.
Penjualan Zara yang kuat, di mana merek ini terus mengambil pangsa pasar dari pesaing seperti H&M, menyebabkan harga saham Inditex meningkat lebih dari dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir. Namun, belakangan kinerjanya melemah akibat kekhawatiran mengenai permintaan konsumen.
“Inditex tak lagi bisa tumbuh dalam penjualan seperti sebelumnya,” kata Xavier Brun, manajer portofolio di Trea Asset Management yang berbasis di Madrid, yang memiliki saham di grup tersebut.
“Tapi reaksi pasar terlalu berlebihan,” tambahnya. “Inditex sedang berinvestasi besar di bidang logistik, dan hal ini akan meningkatkan efisiensi, meski konsumsi mungkin turun dalam beberapa kuartal mendatang.”
Dalam proyeksi 2025, Inditex menegaskan “komitmen kuat untuk pertumbuhan yang menguntungkan” setelah laba bersih 2024 meningkat 9% menjadi 5,9 miliar euro.
Inditex, yang juga memiliki merek Bershka, Pull&Bear, Massimo Dutti, Stradivarius, dan Oysho, mengumumkan akan menaikkan dividen sebesar 9% menjadi 1,68 euro per saham.
Inditex merencanakan belanja modal sebesar 1,8 miliar euro tahun ini untuk berinvestasi pada renovasi toko, teknologi, dan peningkatan platform daring.
Peritel yang beroperasi di 214 pasar di seluruh dunia ini berencana untuk membuka gerai di Irak tahun ini. Bershka, yang ditargetkan untuk konsumen muda, akan diluncurkan di Swedia, sedangkan Oysho, merek pakaian olahraga dan pakaian santai, akan membuka toko untuk pertama kalinya di Belanda dan Jerman.
Inditex juga mengembangkan format baru untuk mendorong konsumen menghabiskan lebih banyak waktu di toko, misalnya gerai “Zacaffe,” sebuah kedai kopi di dalam toko Zara khusus pria di Madrid. [th/ka]
Forum