BANDUNG —
Meski memiliki julukan kota kembang, dengan jumlah penduduk yang besar dan pembangunan yang pesat, Bandung tak lagi memiliki banyak lahan hijau.
Untuk itu, pemerintah setempat mengembangkan urban farming atau pertanian perkotaan mulai tahun ini, dimana para keluarga di setiap Rukun Warga atau RW wajib menanam berbagai tanaman produktif yang bernilai ekonomis bagi keluarga.
Tanaman produktif tersebut yaitu termasuk sayur-sayuran seperti tomat, cabe rawit, kangkung, bawang daun, dan caisim.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung, Ely Wasliah mengatakan, program yang sepenuhnya diprakarsai oleh pemerintah kota Bandung tersebut akan menyasar seluruh warga. Pemerintah kota sendiri akan memberikan bantuan sarana seperti bibit, pupuk, dan pot-pot atau rak-rak tanaman, ujarnya.
“Dari urban farming ini karena nanti yang akan dikembangkan di sana itu di antaranya adalah komoditas sayuran, jadi kebutuhan pangan sayuran untuk rumah tangga tersebut dipasok dari lahan pekarangannya sendiri. Kami bantuannya nanti dalam bentuk barang, benih, pupuk, juga ada rak-rak vertikultur yang memang cocok dikembangkan di lahan pekarangan,” ujarnya.
Dalam program urban farming, masyarakat dapat bercocok tanam di pekarangan masing-masing dengan memanfaatkan lahan yang ada. Meski lahan yang dimiliki sempit, masyarakat bisa menanam tanaman dengan sistem vertical garden, atau menanam secara vertikal di dinding dengan menggunakan rak-rak tanaman yang disusun berderet.
“Kalau misalnya satu RW semuanya rumah ini mengembangkan urban farming, jadi lingkungan itu akan nyaman, asri, hijau, menambah kontribusi terhadap Ruang Terbuka Hijau, RTH dari privat. Kalau yang di jalan-jalan yang taman-taman kan fasilitasnya RTH umum, publik. Kalau kami RTH privat, RTH yang ada di masyarakat,” ujar Ely.
Jayadi, ketua RW di kawasan Margahayu Raya, Kota Bandung mengatakan, dengan program ini lingkungan warga menjadi semakin hijau dan asri. Warga pun dapat menikmati hasil cocok tanam mereka sendiri.
“Di taman, di halaman rumah masing-masing, di sekolah, dan di tempat olahraga lapangan voli. Lingkungan jadi hijau, bagus dipandang, ada hasilnya, kelihatannya juga indah,” ujarnya.
Warga Kota Bandung pun menyambut baik program pertanian perkotaan ini.
“Untuk nambah-nambah oksigen lah, artinya lingkungan kan jadi tidak terlalu panas. Kalau tidak ada pohon kan kita kepanasan,” ujar seorang warga bernama Umi.
Yang lain mengatakan program ini memudahkan mereka dalam memasak dan membuat lebih hemat.
“Satu hijau; kedua ada manfaatnya seperti tanaman (sayuran), setidaknya kita mengurangi beli di warung-warung,” ujar Eli.
Konsep urban farming telah ada di beberapa negara. Salah satunya di Montreal, Kanada, dengan nama Lufa Farm yaitu konsep pertanian perkotaan di atas atap atau rooftop farming. Di Indonesia, konsep urban farming yang diwajibkan untuk seluruh warga baru ada pertama kali di Kota Bandung. Diharapkan konsep ini bisa
menjadi budaya baru yang tak hanya bermanfaat secara ekologi tetapi juga memiliki nilai ekonomi dan estetika.
Untuk itu, pemerintah setempat mengembangkan urban farming atau pertanian perkotaan mulai tahun ini, dimana para keluarga di setiap Rukun Warga atau RW wajib menanam berbagai tanaman produktif yang bernilai ekonomis bagi keluarga.
Tanaman produktif tersebut yaitu termasuk sayur-sayuran seperti tomat, cabe rawit, kangkung, bawang daun, dan caisim.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung, Ely Wasliah mengatakan, program yang sepenuhnya diprakarsai oleh pemerintah kota Bandung tersebut akan menyasar seluruh warga. Pemerintah kota sendiri akan memberikan bantuan sarana seperti bibit, pupuk, dan pot-pot atau rak-rak tanaman, ujarnya.
“Dari urban farming ini karena nanti yang akan dikembangkan di sana itu di antaranya adalah komoditas sayuran, jadi kebutuhan pangan sayuran untuk rumah tangga tersebut dipasok dari lahan pekarangannya sendiri. Kami bantuannya nanti dalam bentuk barang, benih, pupuk, juga ada rak-rak vertikultur yang memang cocok dikembangkan di lahan pekarangan,” ujarnya.
Dalam program urban farming, masyarakat dapat bercocok tanam di pekarangan masing-masing dengan memanfaatkan lahan yang ada. Meski lahan yang dimiliki sempit, masyarakat bisa menanam tanaman dengan sistem vertical garden, atau menanam secara vertikal di dinding dengan menggunakan rak-rak tanaman yang disusun berderet.
“Kalau misalnya satu RW semuanya rumah ini mengembangkan urban farming, jadi lingkungan itu akan nyaman, asri, hijau, menambah kontribusi terhadap Ruang Terbuka Hijau, RTH dari privat. Kalau yang di jalan-jalan yang taman-taman kan fasilitasnya RTH umum, publik. Kalau kami RTH privat, RTH yang ada di masyarakat,” ujar Ely.
Jayadi, ketua RW di kawasan Margahayu Raya, Kota Bandung mengatakan, dengan program ini lingkungan warga menjadi semakin hijau dan asri. Warga pun dapat menikmati hasil cocok tanam mereka sendiri.
“Di taman, di halaman rumah masing-masing, di sekolah, dan di tempat olahraga lapangan voli. Lingkungan jadi hijau, bagus dipandang, ada hasilnya, kelihatannya juga indah,” ujarnya.
Warga Kota Bandung pun menyambut baik program pertanian perkotaan ini.
“Untuk nambah-nambah oksigen lah, artinya lingkungan kan jadi tidak terlalu panas. Kalau tidak ada pohon kan kita kepanasan,” ujar seorang warga bernama Umi.
Yang lain mengatakan program ini memudahkan mereka dalam memasak dan membuat lebih hemat.
“Satu hijau; kedua ada manfaatnya seperti tanaman (sayuran), setidaknya kita mengurangi beli di warung-warung,” ujar Eli.
Konsep urban farming telah ada di beberapa negara. Salah satunya di Montreal, Kanada, dengan nama Lufa Farm yaitu konsep pertanian perkotaan di atas atap atau rooftop farming. Di Indonesia, konsep urban farming yang diwajibkan untuk seluruh warga baru ada pertama kali di Kota Bandung. Diharapkan konsep ini bisa
menjadi budaya baru yang tak hanya bermanfaat secara ekologi tetapi juga memiliki nilai ekonomi dan estetika.