Semasa Orde Baru, pemilihan kepala daerah dan kepala negara berlangsung secara tidak langsung. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, gubernur oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, wali kota dan bupati dipilih oleh DPR Kabupaten/Kota.
Namun setelah era reformasi, segalanya berubah. Semua jabatan tadi dipilih langsung oleh rakyat. Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung digelar pada 2004. Setahun kemudian, giliran kepala daerah dipilih dengan cara yang sama.
Seiring berjalannya waktu, pemilihan kepala daerah secara langsung dianggap tidak cocok. Banyak persoalan terjadi, mulai dari politik uang, calon terpilih tidak berkualitas, muncuknya raja-raja kecil, konflik sosial, dan biaya ekonomi yang tinggi.
Oleh karena itu dalam rapat kerja dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat baru-baru ini, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melontarkan wacana mengganti sistem pemilihan kepala daerah langsung menjadi pemilihan oleh DPRD dengan alasan biaya politik yang ditanggung calon bisa sangat tinggi.
DPR Mengaku Kaget dengan Usul Mendagri
Wakil Ketua Komisi II DPR Arwani Thomafi Kamis (14/11) mengakui Komisinya kaget ketika Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan gagasan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi oleh DPRD, salah satu alasannya untuk menghemat anggaran.
Menurutnya Komisi II sepakat bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung wajib dievaluasi dan diperbaiki, tetapi bukan secara otomatis harus merubah skema pemilihan dari langsung menjadi oleh DPRD.
Arwani mengatakan hal yang mesti dievaluasi pada pelaksanaan pilkada saat ini termasuk soal beban biaya, tahapan pemilihan, atau mengenai makna kedaulatan rakyat.
Arwani menjelaskan pemilihan kepala daerah langsung muncul ketika itu karena pemilihan oleh DPRD dianggap tidak mewakili aspirasi masyarakat. Tapi pada akhirnya yang terjadi pemilihan kepala daerah secara langsung itu bukan memenuhi prinsip kedaulatan rakyat seperti dalam teorinya.
"Yang kita temukan justru bukan kedaulatan rakyat tapi adalah kedaulatan modal, kedaulatan uang. Sudah menjadi rahasia umum siapapun yang ingin menjadi kepala daerah untuk tingkat bupati, yang DPT (Daftar Pemilih Tetap) nya sekitar 500-an ribu, itu (butuh modal) Rp 20 miliar," ujar Arwani.
Perludem: Evaluasi Pilkada Mutlak Dilakukan
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan mengembalikan pemilihan kepala daerah langsung menjadi oleh DPRD merupakan kemunduran dalam berdemokrasi di Indonesia.
Evaluasi pilkada kata Titi memang sesuatu yang diperlukan karena dalam penyelenggaraannya ada kelemahan maupun kekurangan yang memerlukan perbaikan dari sisi regulasi, manajemen, penegakan hukum maupun dari sisi integritas kelembagaan penyelenggara pilkada.
Menurutnya jangan sampai evaluasi tersebut melompat yang kesimpulannya kembali melalui DPRD.Evaluasi yang dilakukan tambahnya seharusnya berkontribusi bagi penguatan partisipasi politik warga negara dan kualitas demokrasi itu sendiri.
Dalam demokrasi, kata Titi, partisipasi warga negara harus difasilitasi untuk bisa terlibat dan ikut ambil bagian di dalam proses politik yang berlangsung sehingga ada rasa kepemilikan dan sistem kontrol yang baik terhadap pejabat publiknya.
“Jadi kalau gagasan evaluasinya justru ingin mengembalikan pilkada ke DPRD ,gagasan itu malah makin melemahkan ruang partisipasi politik warga negara yang sudah cukup baik terlaksana dalam penyelenggaraan pilkada langsung," kata Titi.
Menurut Titi, pembahasan tentang hal tersebut sudah selesai pada 2014 dengan dibatalkannya pemilihan lewat DPRD oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Jokowi mengesahkannya menjadi Undang-undang.
Biaya politik yang tinggi dan politik uang, lanjut Titi, tidak lepas dari empat faktor yaitu kerangka hukum yang memang belum berkontribusi di dalam menciptakan kompetisi pilkada langsung, manajemen pilkada yang masih menyebabkan politik biaya tinggi, penegakan hukum yang belum sepenuhnya efektif dan kelembagaan partai politik yang masih membuka ruang kompetisi yang tidak setara.
Terkait politik biaya tinggi, Titi menyebutkan ada sejumlah solusi yang bisa dilakukan, seperti membatasi belanja kampanye, insentif biaya kampanye dari anggaran negara, penegakan hukum atas praktek politik uang secara berkeadilan.
Lebih lanjut Titi mengatakan jika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD maka akan menciptakan kepemimpinan yang otoriter karena kontrol publik akan sangat terbatas dalam menentukan kepemimpinan politik dan pembuatan kebijakan.
Selain itu tidak ada jaminan politik transaksional akan berhenti, Bisa jadi lanjut Titi justru hal itu akan menguat karena mereka bekerja di ruang gelap, tidak transparan dan akuntabel dimana hanya diputuskan oleh segelintir orang.
Skema pilkada oleh DPRD, tambahnya, menimbulkan apatisme politik dan ketidakpuasan pada proses politik yang ada di masyarakat.
Rp 20-100 Miliar Untuk Menangkan Pilkada
Hasil penelitian KPK pada 2016 menunjukkan seorang calon bupati atau wali kota membutuhkan anggaran antara Rp 20 miliar hingga Rp100 miliar untuk memenangkan pilkada. Sementara calon gubernur dan wakil gubernur akan mengeluarkan anggaran yang lebih besar lagi.
KPK mencatat pemenang pilkada yang mengeluarkan ongkos besar akan cenderung memberikan kemudahan perizinan dan akses pengadaan barang atau jasa di lingkungan pemerintah daerah kepada pihak tertentu. [fw/em]