Tautan-tautan Akses

Perlu Sosialisasi Lebih Gencar Bagi Pendidikan Tinggi Tunanetra


Andi Advan F Akbar, Mahasiswa Tunanetra Prodi Sastra Inggris, UT Gorontalo. (Foto courtesy: privat)
Andi Advan F Akbar, Mahasiswa Tunanetra Prodi Sastra Inggris, UT Gorontalo. (Foto courtesy: privat)

Pendidikan tinggi bagi penyandang tunanetra Indonesia sudah tersedia sejak tahun 1984. Namun, jumlah penyandang tunanetra yang melanjutkan ke jenjang pendidikan ini masih belum banyak. Tantangan dalam penyelenggaraan kuliah dan teknis yang dihadapi universitas dan mahasiswa menjadi faktor penghambat sehingga jumlah tunanetra di Indonesia yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi masih rendah.

Di seluruh Indonesia sekurangnya ada lima perguruan tinggi negeri yang membuka kesempatan bagi penyandang tunanetra. Puluhan universitas lainnya menyediakan pendidikan bagi penyandang difabel secara keseluruhan.

Kampus Universitas Terbuka (UT) Gorontalo. (Foto: Husni)
Kampus Universitas Terbuka (UT) Gorontalo. (Foto: Husni)

Perguruan tinggi negeri yang menerima penyandang tunanetra adalah Universitas Terbuka, Politeknik Negeri Jakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta dan Universitas Negeri Surabaya.

Universitas Terbuka (UT) memiliki kampus di berbagai kota di seluruh Indonesia. Salah satu UT yang sudah membuka kesempatan bagi penyandang tunanetra sejak tahun 1984 adalah Universitas Terbuka Gorontalo di Sulawesi. Kampus itu sudah memiliki 10 mahasiswa tunanetra sebelumnya.

Direktur UT Gorontalo, Muhammad Husni Arifin. (Foto courtesy: privat)
Direktur UT Gorontalo, Muhammad Husni Arifin. (Foto courtesy: privat)

Direktur Universitas Terbuka Gorontalo Muhammad Husni Arifin mengatakan kesempatan juga dibuka untuk tahun perkuliahan baru ini.

"Tahun ini juga ada enam yang mendaftar baru, ini juga menjadi bagian dari tantangan kita untuk terus mensosialisasikan bahwa UT itu sangat terbuka untuk teman-teman difabel untuk kuliah di UT. Persoalannya, ada keraguan dari mereka untuk mendaftar di UT, apakah mampu? Karena, perspektif jarak jauh itu kan kadang dianalogikan belajar sendiri, padahal bukan belajar sendiri namun mandiri tapi dengan bantuan layanan belajar dari universitas terbuka," jelasnya.

Muhammad Husni Arifin mengatakan mahasiswa tunanetra acapkali tidak menyatakan diri sebagai penyandang cacat meskipun universitas berkomitmen untuk mempermudah materi perkuliahan guna mendukung kesuksesan studi mereka.

Mahasiswa baru tunanetra di UT Gorontalo. (Foto courtesy: Husni)
Mahasiswa baru tunanetra di UT Gorontalo. (Foto courtesy: Husni)

"Kalau tunanetra pasti nanti akan kami sediakan bahan-bahan penunjang multi media yang nantinya bisa dipelajari. Jadi, bahan-bahan ajarnya khusus. Jadi, nanti ada model suara, tidak seperti yang lainnya. Cuma, kadang kala mereka masih enggan untuk menyatakan diri sebagai penyandang cacat. Kemudian ketika ujian juga ada pengawas pendamping," kata Husni Arifin.

Di Universitas Terbuka Gorontalo, kebanyakan mahasiswa tunanetra mengambil jurusan-jurusan ilmu sosial, seperti ilmu hukum, pemerintahan, bisnis administrasi dan sastra Inggris selain pendidikan kejuruan yang nantinya akan diterapkan untuk mengajar di sekolah-sekolah pendidikan berkebutuhan khusus.

Miftah Hilmy Afifah Mahasiswa Tunanetra Jurusan Fikom 19 Universitas Teknologi Sumbawa. (Foto courtesy: privat)
Miftah Hilmy Afifah Mahasiswa Tunanetra Jurusan Fikom 19 Universitas Teknologi Sumbawa. (Foto courtesy: privat)

Miftah Hilmy Afifah, mahasiswa jurusan komunikasi tahun kedua dan satu-satunya mahasiswa tuna netra di kampusnya, perguruan tinggi swasta, Universitas Teknologi Sumbawa. Sejauh ini Afifah selalu berupaya mandiri dalam menempuh studinya meskipun terkadang mendapat bantuan rekan kuliahnya.

"Bahan-bahannya mencari sendiri. Teman-teman paling membantunya yang saya tidak bisa jangkau seperti design grafis, seperti diminta membuat logo, itu memerlukan visual fotografi, juga mengambil gambar. Tapi kalau bikin laporan, makalah, resume masih bisa dikerjakan sendiri," komentar Afifah.

Sebagai mahasiswa yang mengambil jurusan studi umum, Afifah harus menyesuaikan dengan materi yang digunakan mahasiswa pada umumnya. Ia menyadari tantangan ketersediaan materi kuliah dalam huruf braille sebagai mahasiswa tunanetra.

"Materi kuliah Kurang. Apalagi ketika masih sekolah kemarin, jarang buku-buku pelajaran. Kebanyakan yang ada majalah. Buku-buku yang ilmu pengetahuan jarang. Di tempat kuliah, malah tidak ada," imbuhnya.

Meski demikian, Afifah bertekad menyelesaikan studinya dan ingin menjadi penulis dan editor berita untuk produksi televisi.

Perlu Sosialisasi Lebih Gencar Bagi Pendidikan Tinggi Tunanetra
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:00 0:00

Tantangan fasilitas dan materi perkuliahan bagi penyandang tunanetra juga dialami oleh universitas-universitas lain di Indonesia. Akibatnya, mahasiswa tunanetra umumnya diperlakukan sama sebagaimana mahasiswa lain.

Di Amerika, berbagai perguruan tinggi tersedia khusus bagi penyandang difabel. Misalnya Alabama Institute for Deaf and Blind dan Gallaudet University yang didirikan pada tahun 1945 bagi penyandang tunanetra dan tunarungu. Sekitar 100 lebih universitas besar di Amerika membuka pintu bagi tunanetra termasuk Caltech, Brown University, Duke University dan Florida State University. [my/ka]

Recommended

XS
SM
MD
LG