Perlambanan ekonomi China kemungkinan menimbulkan dampak yang lebih besar daripada Brexit terhadap Asia Tenggara, karena banyak negara tetangganya bergantung pada perdagangan dengan China untuk bertumbuh.
Dan sekalipun banyak orang merasakan dampak perlambanan itu, golongan menengah yang meningkat di kawasan itu turut membantu ekonomi dengan bertindak sebagai penyangga.
Produk Domestik Bruto China meningkat 6,7 persen dalam kuartal pertama, laju yang paling lambat sejak krisis keuangan sedunia awal tahun 2009.
Joseph Incalcaterra, seorang ekonom HSBC, mengatakan, “Dari tahun 2000 hingga 2005 dan kemudian membandingkannya dengan tahun 2006 sampai tahun 2014, kita mendapati bahwa dalam periode pertama tadi, Amerika atau bahkan Uni Eropa, adalah motor ekonomi yang lebih penting bagi pertumbuhan ekspor Asia, dan dalam periode yang terbaru tadi China telah menjadi motor ekonomi Asia."
Ia menambahkan, "Akibat pertumbuhan yang melamban di China, walaupun kami tidak memperkirakan penurunan drastis, kami memperkirakan penurunan lambat-laun ekspor di seluruh kawasan itu.”
Asia Tenggara memiliki Produk Domestik Bruto kolektif 2,6 triliun dolar. Pada tahun 2015, pertumbuhan melamban di tujuh dari 10 negara ASEAN.
Yang paling berat adalah Indonesia, yang mengekspor sejumlah besar komoditas ke China. [gp/sp]