Etnis Masai adalah kelompok komunitas yang tinggal di Kenya dan sebagian lagi di Tarnzania utara. Dalam budaya tradisional Masai, para ayah sering mengontrakkan anak gadis mereka untuk menikah dengan laki-laki yang lebih tua. Seorang perempuan Masai berusaha menyelamatkan anak-anak perempuan itu dari budaya yang sangat merugikan kaum perempuan.
Kebanyakan gadis-gadis yang dipaksa menikah muda itu berusia antara 12 dan 14 tahun, bahkan ada yang lebih muda. Tidak hanya tubuh mereka masih terlalu muda untuk melakukan hubungan seksual dan melahirkan, mereka biasanya dipaksa putus sekolah.
Priscilla Nangurai, perempuan berusia 62 tahun, mencoba menyelamatkan anak-anak perempuan itu dari pernikahan dini, selain membantu komunitasnya memahami manfaat pendidikan untuk anak perempuan mereka.
Priscilla mengetahui kesulitan yang dihadapi para perempuan Masai. Kakak perempuannya dipaksa menikah pada usia muda, tapi ia bersikeras agar Nangurai mengenyam pendidikan dan tidak menjalani nasib yang sama, sehingga, dia bisa menjadi guru, yang memungkinkannya untuk menyelamatkan gadis-gadis lain dari perkawinan paksa.
Secara resmi pensiun sejak tahun 2005, Nangurai mendirikan Pusat Perlindungan GRACE - singkatan dari the Girls' Rights, Attention, Care and Education, - di halaman belakang rumahnya di Kajiado, Kenya.
Di sana, dia memastikan anak perempuan menerima pendidikan. Nangurai mengatakan bahwa masalahnya dimulai ketika gadis-gadis tersebut masih sangat muda - dan kadang-kadang saat mereka masih dalam kandungan. Dia menjelaskan konsep pemesanan istri ini.
Pemesanan istri adalah ketika orang tua, atau seorang laki-laki, ingin menikah dengan perempuan dari keluarga tertentu. Jadi dia pergi kepada keluarga itu dan jika ada gadis-gadis kecil di sana, dia akan memesan mereka. Jika ada seorang perempuan yang hamil, ia akan mengatakan, ‘Saya ingin anak dari rahim ini!’ Dan dia diperbolehkan melakukan itu menurut adat setempat,” ungkap Nangurai.
Roseline, seorang gadis berumur 14 tahun, berada di Pusat Perlindungan milik Nangurai sejak tahun 2008. Dia berumur empat tahun ketika dia dipesan oleh laki-laki yang dia perkirakan umurnya antara 60 atau 70 tahun.
“Ya, saya telah dipesan. Tetapi ketika saya mengetahui hal itu saya segera berbicara dengan Ibu Nangurai dan saya menceritakan semua kejadian itu kepadanya dan ia menyelamatkan saya,” papar Roseline.
Dalam budaya Masai, sekali pemesanan telah dilakukan, seorang laki-laki akan mulai membayar mahar kepada ayah sang gadis. Secara tradisional pembayaran dilakukan dengan sapi, meskipun sekarang , bisa juga dibayar dengan uang. Ketika ayah sang gadis dan calon suami menentukan waktu perkawinan telah dekat, gadis itu harus menjalani sunat perempuan, yang di dunia barat dikenal sebagai mutilasi alat kelamin perempuan.
Priscilla, gadis berusia 13-tahun, dibawa ke pusat perlindungan Nangurai ketika dia berusia lima tahun, berkat ibunya yang berkeras bahwa putrinya harus mendapat pendidikan. Priscilla mengatakan bahwa kekhawatiran akan masalah kesehatan saja telah membuatnya bersyukur bahwa dia tidak harus menjalani sunat. Dia khususnya sangat khawatir akan HIV - sebuah ancaman kesehatan yang lain yang tidak kurang gawatnya.
Priscilla mengatakan bahwa kadang-kadang orang yang melakukan penyunatan bahkan tidak menggunakan silet, melainkan menggunakan lempengan besi tua. Setelah menikah, anak-anak perempuan itu terus menderita secara fisik.
Kebanyakan gadis-gadis yang dipaksa menikah muda itu berusia antara 12 dan 14 tahun, bahkan ada yang lebih muda. Tidak hanya tubuh mereka masih terlalu muda untuk melakukan hubungan seksual dan melahirkan, mereka biasanya dipaksa putus sekolah.
Priscilla Nangurai, perempuan berusia 62 tahun, mencoba menyelamatkan anak-anak perempuan itu dari pernikahan dini, selain membantu komunitasnya memahami manfaat pendidikan untuk anak perempuan mereka.
Priscilla mengetahui kesulitan yang dihadapi para perempuan Masai. Kakak perempuannya dipaksa menikah pada usia muda, tapi ia bersikeras agar Nangurai mengenyam pendidikan dan tidak menjalani nasib yang sama, sehingga, dia bisa menjadi guru, yang memungkinkannya untuk menyelamatkan gadis-gadis lain dari perkawinan paksa.
Secara resmi pensiun sejak tahun 2005, Nangurai mendirikan Pusat Perlindungan GRACE - singkatan dari the Girls' Rights, Attention, Care and Education, - di halaman belakang rumahnya di Kajiado, Kenya.
Di sana, dia memastikan anak perempuan menerima pendidikan. Nangurai mengatakan bahwa masalahnya dimulai ketika gadis-gadis tersebut masih sangat muda - dan kadang-kadang saat mereka masih dalam kandungan. Dia menjelaskan konsep pemesanan istri ini.
Pemesanan istri adalah ketika orang tua, atau seorang laki-laki, ingin menikah dengan perempuan dari keluarga tertentu. Jadi dia pergi kepada keluarga itu dan jika ada gadis-gadis kecil di sana, dia akan memesan mereka. Jika ada seorang perempuan yang hamil, ia akan mengatakan, ‘Saya ingin anak dari rahim ini!’ Dan dia diperbolehkan melakukan itu menurut adat setempat,” ungkap Nangurai.
Roseline, seorang gadis berumur 14 tahun, berada di Pusat Perlindungan milik Nangurai sejak tahun 2008. Dia berumur empat tahun ketika dia dipesan oleh laki-laki yang dia perkirakan umurnya antara 60 atau 70 tahun.
“Ya, saya telah dipesan. Tetapi ketika saya mengetahui hal itu saya segera berbicara dengan Ibu Nangurai dan saya menceritakan semua kejadian itu kepadanya dan ia menyelamatkan saya,” papar Roseline.
Dalam budaya Masai, sekali pemesanan telah dilakukan, seorang laki-laki akan mulai membayar mahar kepada ayah sang gadis. Secara tradisional pembayaran dilakukan dengan sapi, meskipun sekarang , bisa juga dibayar dengan uang. Ketika ayah sang gadis dan calon suami menentukan waktu perkawinan telah dekat, gadis itu harus menjalani sunat perempuan, yang di dunia barat dikenal sebagai mutilasi alat kelamin perempuan.
Priscilla, gadis berusia 13-tahun, dibawa ke pusat perlindungan Nangurai ketika dia berusia lima tahun, berkat ibunya yang berkeras bahwa putrinya harus mendapat pendidikan. Priscilla mengatakan bahwa kekhawatiran akan masalah kesehatan saja telah membuatnya bersyukur bahwa dia tidak harus menjalani sunat. Dia khususnya sangat khawatir akan HIV - sebuah ancaman kesehatan yang lain yang tidak kurang gawatnya.
Priscilla mengatakan bahwa kadang-kadang orang yang melakukan penyunatan bahkan tidak menggunakan silet, melainkan menggunakan lempengan besi tua. Setelah menikah, anak-anak perempuan itu terus menderita secara fisik.