Tautan-tautan Akses

Perempuan Pakistan Minoritas Syiah Menentang Ekstremisme dengan Karate


Muslim Syiah Afghanistan berkumpul untuk memprotes serangan bom kembar hari Kamis di kota Quetta, Pakistan barat daya, di Kabul 14 Januari 2013. Poster di sebelah kanan berbunyi, "Hentikan target pembunuhan Hazara di Quetta, Pakistan". (Foto: REUTERS/Moha
Muslim Syiah Afghanistan berkumpul untuk memprotes serangan bom kembar hari Kamis di kota Quetta, Pakistan barat daya, di Kabul 14 Januari 2013. Poster di sebelah kanan berbunyi, "Hentikan target pembunuhan Hazara di Quetta, Pakistan". (Foto: REUTERS/Moha

Berlatih karate mungkin tidak umum di kalangan perempuan dan gadis Pakistan, terlebih lagi bagi mereka yang bergabung dalam komunitas Syiah Hazara.

Kulsoom Hazara, 31 tahun mengatakan, olahraga itu memberdayakannya sebagai seorang perempuan, terutama dalam menghadapi ekstremisme agama.

"Untuk pertama kalinya dalam sejarah, karate diikutsertakan dalam olimpiade. Kami sibuk berlatih untuk babak penentuan (kualifikasi) guna mengikuti pertandingan. Tetapi sayangnya karena pandemi COVID-19, acara itu harus ditunda, sementara yang lain dibatalkan. Juga masalah visa. Sebenarnya kami sudah menghadapi masa-masa sulit sejak awal latihan dan bahkan lebih parah lagi selama pandemi," katanya.

Komunitas Hazara Pakistan dalam beberapa tahun terakhir berkali-kali menjadi sasaran kelompok militan Sunni, termasuk ISIS.

Keluarga Hazara juga menderita.

Seorang wanita Muslim Syiah menangis selama protes terhadap serangan bom di daerah Muslim Syiah Quetta, di Lahore 17 Februari 2013. (Foto: REUTERS/Mohsin Raza)
Seorang wanita Muslim Syiah menangis selama protes terhadap serangan bom di daerah Muslim Syiah Quetta, di Lahore 17 Februari 2013. (Foto: REUTERS/Mohsin Raza)

"Sayangnya ketika pengajar (instruktur) karate saya, yang juga saudara ipar saya meninggal sebagai sasaran pembunuhan, saya harus menghadapi banyak kesulitan dalam pelatihan, karena sebagian besar anggota komunitas Hazara tidak menyadari pemberdayaan perempuan dan mereka tidak suka wanita berlatih karate," katanya.

"Mereka bahkan memaksa adik saya untuk berusaha menghentikan saya. Adapun tempat pelatihan kami, harus pergi ke luar kota. Di komunitas saya, anak perempuan tidak boleh berlatih di luar rumah. Mereka selalu khawatir masyarakat tidak akan menerima saya. Namun anggota keluarga besar saya selalu mendukung dan itulah alasan saya memperoleh sabuk hitam dalam seni bela diri setelah latihan intensif," tambah dia.

Terlepas dari tantangan itu, Kulsoom Hazara mampu meraih sabuk hitam dan berharap bisa lolos ke Olimpiade. Namun ia harus pindah dari Quetta ke Karachi untuk mencapai impiannya.

Dalam hal berlatih seni bela diri, kini ia dianggap sebagai yang terbaik di kotanya.

“Dalam masyarakat kami, kami selalu enggan untuk mendukung anak perempuan yang ingin membuktikan kemampuan mereka, bahkan di bidang pendidikan. Menurut saya, pemberdayaan anak perempuan harus menjadi prioritas utama. Kalau kita mendidik anak-anak perempuan kita, itu akan bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Orang tua harus mempercayai putri mereka untuk membuktikan kemampuan mereka di bidang apa pun," ujar Abdul Hamid, sang pelatih.

Banyak orang seperti Hazara bermimpi mengikuti latihan sampai ke tingkat internasional. Gadis-gadis di klub karate itu bekerja keras setiap hari. Bagi mereka, karate bukan hanya sekedar keinginan, tetapi juga senjata yang dapat membantu mereka menghadapi masyarakat patriarki yang masih mereka hadapi.

Sebenarnya kami sudah menghadapi masa-masa sulit sejak awal latihan dan bahkan lebih parah lagi sewaktu pandemi." [ps/lt]

XS
SM
MD
LG