Tautan-tautan Akses

Perempuan Disabilitas Pakistan Berkomitmen pada Pendidikan Anak Perempuan


Seorang perempuan penyandang cacat secara fisik di Pakistan bertekad untuk mendidik anak-anak di komunitasnya yang miskin. Gambar sebagai ilustrasi. (Foto: Reuters/Jerry Lampen)
Seorang perempuan penyandang cacat secara fisik di Pakistan bertekad untuk mendidik anak-anak di komunitasnya yang miskin. Gambar sebagai ilustrasi. (Foto: Reuters/Jerry Lampen)

Mereka memanggilnya sebagai Malala Yousafzai dari Sindh, tetapi perjalanan Asoo Bai Kolhi menjadi seorang guru sangatlah sulit. Meskipun terjadi pandemi dan menjadi penyandang cacat secara fisik, Kolhi tetap bertekad untuk mendidik anak-anak di komunitasnya yang miskin.

Sambil membungkuk di atas sebuah wajan yang mengepul, Asoo Bai Kolhi memasak sarapan untuk keluarga di rumahnya yang berada di Menah Ki Dhani, sebuah desa miskin di distrik Umerkot di Sindh, Pakistan.

Listrik merupakan suatu kemewahan di daerah pedesaan tersebut dan aliran air melalui keran masih jauh dari impian. Akan tetapi, Kolhi tetap bertekad untuk memberi makan keluarganya meski ada tantangan, termasuk cacat secara fisik pada kakinya.

Perempuan disabilitas itu berasal dari suku Kolhi, komunitas Hindu yang didukung oleh keluarga dalam menempuh pendidikan sehingga dapat belajar dengan giat.

“Saya cacat dan menggunakan tongkat kayu untuk pergi ke sekolah. Suatu hari ketika saya pergi ke sekolah, saya ingat seorang perempuan mencuri tongkat kayu saya dan membuangnya. Saya beri tahu ayah kejadian itu tapi kepada saya ia menyatakan jangan pernah kehilangan harapan dengan cara apa pun," kata Asoo Bai Kolhi.

Pada usia dua tahun Kolhi disuntik dengan obat yang salah sehingga mengakibatkan dirinya cacat, Kolhi menambahkan.

Bertekad untuk mengenyam pendidikan, ketika masih SD Kolhi berjalan ke sekolah dengan menggunakan lutut.

Kali ini ia berkomitmen untuk mendidik anak-anak yang kurang beruntung dari daerahnya.

“Saya menjadi bagian dalam komunitas yang sangat miskin yang tidak memiliki sumber daya untuk memberikan pendidikan kepada para remaja perempuan. Mereka bahkan tidak punya hak berbicara dengan orang yang tidak dikenal tanpa menutupi kepala dan wajah mereka. Itu sebabnya kami berfokus khususnya hanya pada pendidikan," katanya.

Namun pada Maret 2020, misi Kolhi berada dalam keadaan tidak menentu di tengah merebaknya Covid-19 dan semua sekolah di seluruh Pakistan ditutup.

Baru-baru ini sekolah dibuka kembali di distrik Kohli. Ia menyediakan masker penutup wajah bagi anak-anak yang tidak mampu membelinya.

Ia berharap sekolah tetap buka sehingga anak-anak bisa mengenyam pendidikan.

“Ini adalah komunitas yang sangat miskin. Mereka bahkan tidak mampu membeli masker dan kami juga yang menyediakan masker untuk mereka. Virus corona berdampak pada pendidikan. Pemerintah Sindh harus bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku dan tidak menutup sekolah. Jika tidak, pendidikan akan terhambat. Kami secara ketat mengikuti protokol kesehatan. Jika sekolah itu ditutup maka kami akan rugi besar," paparnya.

Murid-muridnya setuju. "Ketika sekolah ditutup, saya bekerja dengan ayah di ladang. Sekarang sekolah kembali dibuka, kami sangat senang. Guru kami, Asoo menyediakan masker dan menyanitasi tangan kami," kata Dehlki Mai, siswa berusia 10 tahun.

Berkat dedikasi Kolhi yang mendidik sejumlah perempuan muda tersebut, Parlemen Sindh memberinya gelar Malala Yousufzai dari Sindh, merujuk pada aktivis Pakistan yang terkenal bagi kemajuan pendidikan perempuan.

Sebelum pandemi, angka UNICEF yang diterbitkan tahun 2019 menunjukkan bahwa 23 juta anak berusia 5-16 tahun di seluruh Pakistan tidak bersekolah. Jumlah itu merupakan empat puluh empat persen dari total penduduk dalam kelompok usia tersebut. [mg/lt]

XS
SM
MD
LG