Kurang dari satu jam setelah sebuah bom mobil meledak dan melukai kakinya di provinsi Quneitra, Dr. Abu Hamzeh sudah berada di Israel.
Israel membuka jalan masuk di perbatasan dan membawanya ke rumah sakit di Safad. Di sana, Hamzeh, seorang dokter bedah yang berubah menjadi pasien, mendapati dirinya mengenakan piyama dengan huruf-huruf Ibrani dan seorang dokter Israel menggelitik kakinya dan bertanya, ”kamu (bisa) merasakannya?”
Abu Hamzeh bukan nama sesungguhnya. Para wartawan dizinkan melihat warga Suriah yang luka dengan syarat mereka tidak boleh memberitakan nama atau gambar mereka, yang dapat membahayakan nasib mereka ketika mereka pulang nantinya.
Jadi, dokter yang berusia 35 tahun itu memberi satu nama, berubah pikiran dan memberi nama lain, 'Abu Hamzeh' yang berarti ayah Hamzeh.
Abu Hamzeh adalah Muslim-Sunni dan seorang pemberontak. Di tempat tidur di sampingnya adalah seorang petani, Fares, 24 tahun, seorang Muslim Syiah, yang luka ketika dengan tidak sengaja menginjak bom dekat Damaskus.
Kaum Syiah mendukung Presiden Bashar Assad, tetapi Fares mengatakan ia bukan anggota milisi apapun.
Pengobatan yang diberikan kepada mereka dan lebih dari 2.100 warga Suriah lain dalam beberapa tahun ini adalah salah satu alasan mengapa perbatasan Israel dengan Suriah menjadi sangat tenteram.
“Selama berbulan-bulan belum ada tembakan lintas perbatasan,” kata seorang Jenderal Israel kepada VOA.
Perbatasan itu 100 kilometer panjangnya. Tentara Suriah, yang didukung Hizbullah, yang dianggap negara-negara Barat dan Liga Arab organisasi teroris, berada di utara.
Sementara kelompok militan Jabhat al-Nusra (Front al-Nusra), cabang al-Qaida, menguasai sektor tengah. Kelompok militan lainnya, Shuhadat al-Yarmukh, yang menyatakan setia kepada ISIS, berada di selatan. Mereka mengatakan mereka ingin menghancurkan Israel. [gp]