Tautan-tautan Akses

Perang Ukraina Menguji Kekompakan Duo China-Rusia


Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin berjabat tangan di St. Petersburg, Rusia, 6 Juni 2019. (Foto: Dmitri Lovetsky via REUTERS)
Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin berjabat tangan di St. Petersburg, Rusia, 6 Juni 2019. (Foto: Dmitri Lovetsky via REUTERS)

ASSOCIATED PRESS - Tiga minggu lalu, para pemimpin China dan Rusia menyatakan bahwa persahabatan negara mereka “tidak terbatas.” Mereka menyatakan hal itu ketika bertemu di Beijing pada malam sebelum pembukaan Olimpiade Musim Dingin. Namun itu terjadi jauh sebelum aksi invasi Rusia ke Ukraina, sebuah langkah pertama yang menguji seberapa jauh keinginan China untuk mempertahankan hubungannya dengan tetangganya di utara.

Hubungan kedua negara yang bertetangga dan dipersenjatai oleh kekuatan nuklir itu menjadi lebih dekat dalam beberapa tahun terakhir, meningkatkan ketakutan akan terciptanya sebuah aliansi negara otoriter yang dapat menentang kekuatan pihak Barat yang dimpimpin oleh Amerika Serikat dalam sebuah perang dingin baru.Namun China menemukan banyak kerugian dalam skenario itu, dan Presiden Xi Jinping menentang “mentalitas Perang Dingin” bagi mereka yang menggambarkan kebangkitan negaranya sebagai ancaman.

Munculnya poros China-Rusia jauh dari perkiraan. Perdagangan dengan Eropa dan Amerika Serikat adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi China, bahkan ketika keterasingannya dengan AS dan kebutuhan energinya membuat Beijing makin memperdalam hubungan dengan Moskow.

Presiden China Xi Jinping, kanan, dan Presiden Rusia Vladimir Putin berfoto sebelum melakukan pembicaraan di Beijing, China, Jumat, 4 Februari 2022. (Foto: via AP)
Presiden China Xi Jinping, kanan, dan Presiden Rusia Vladimir Putin berfoto sebelum melakukan pembicaraan di Beijing, China, Jumat, 4 Februari 2022. (Foto: via AP)

“Konflik yang sedang berlangsung di Ukraina akan mengungkapkan apakah ada ikatan yang lebih dalam atau apakah hubungan itu pada dasarnya transaksional,” Anthony Saich, seorang pakar China mengatakan dalam tanya jawab yang diunggah di situs Ash Center for Democratic Governance and Innovation Universitas Harvard.

Dia menggarisbawahi tiga kemungkinan tindakan yang akan menunjukkan “China telah melakukan banyak hal dengan Rusia.” Ini termasuk Beijing saat menggunakan veto, bukan abstain, dari setiap resolusi PBB untuk mengkritik tindakan Rusia; pengakuan rezim boneka di Ukraina yang diberlakukan oleh Rusia; dan menolak untuk menyebut serangan Rusia ke Ukraina sebagai invasi bahkan setelah kematian warga sipil jelas dikonfirmasi.

China, bersama dengan India dan Uni Emirat Arab, memilih abstain dalam pemungutan suara pada resolusi Dewan Keamanan PBB pada Jumat (25/2) yang menuntut Rusia menghentikan serangannya terhadap Ukraina. Rusia sendiri memveto keputusan dalam sidang tersebut. China kembali abstain pada pemungutan suara di kesempatan Minggu (27/2).

“Dua abstain menunjukkan bahwa China telah mengadopsi sikap yang lebih bijaksana daripada sebelumnya di tengah kritik dan protes yang sangat luas dari dunia terhadap serangan Rusia,” kata Shi Yinhong, pakar hubungan internasional di Renmin University of China.

Li Fan, seorang profesor studi Rusia di Renmin, mengatakan Beijing dan Moskow memiliki “kemitraan strategis yang ramah dan bertetangga” tetapi China tidak memihak dalam krisis saat ini. “Tapi ini bukan berarti bahwa China mendukung operasi militer Rusia,” katanya.

Prajurit Ukraina berdiri di dekat kendaraan yang rusak, di lokasi pertempuran dengan pasukan Rusia, setelah Rusia melancarkan operasi militer besar-besaran terhadap Ukraina, di Kyiv, Ukraina 26 Februari 2022. (Foto: REUTERS/Valentyn Ogirenko)
Prajurit Ukraina berdiri di dekat kendaraan yang rusak, di lokasi pertempuran dengan pasukan Rusia, setelah Rusia melancarkan operasi militer besar-besaran terhadap Ukraina, di Kyiv, Ukraina 26 Februari 2022. (Foto: REUTERS/Valentyn Ogirenko)

Langkah Rusia untuk menempatkan pasukan nuklirnya dalam siaga tinggi pada Minggu (27/2) yang meningkatkan krisis, dapat membuat China mengambil sikap lebih berhati-hati.

Tindakan penyeimbangan ini membantu menjelaskan posisi Beijing yang terkadang kontradiktif dalam invasi Rusia ke Ukraina dan upaya para pejabatnya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan tertentu, termasuk apakah mereka menyebut apa yang terjadi sebagai invasi.

China mengatakan bahwa kedaulatan dan integritas teritorial semua negara harus dihormati, sebuah sikap yang bertentangan dengan invasi. Mereka juga menentang sanksi terhadap Rusia dan menyalahkan ekspansi AS dan NATO ke arah timur sebagai akar penyebab krisis.

“China sedang mencoba untuk memiliki kue di Ukraina dan memakannya juga,” tulis Presiden Masyarakat Asia dan mantan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd dalam sebuah unggahan di situs web Institut Kebijakan Masyarakat Asia. Dia mencatat bahwa China telah mencabut pembatasan impor gandum Rusia, yang dapat mengimbangi beberapa kerugian ekonomi akibat sanksi.

Bagi mereka yang menjatuhkan sanksi, tindakan China tersebut sama dengan mendukung invasi.

“Anda tidak boleh pergi dan memberikan pelampung penyelamat ke Rusia ketika mereka menyerang negara lain,” kata Perdana Menteri Australia Scott Morrison.

Dalam serangkaian panggilan telepon dengan rekan-rekan Eropa akhir pekan lalu, Menteri Luar Negeri Wang Yi mengatakan "situasi saat ini adalah sesuatu yang tidak ingin kita lihat." Dia menyerukan pembicaraan untuk mengakhiri krisis, tetapi dia menahan diri untuk mengkritik Rusia.

Tidak jelas apakah Putin mencari dukungan Xi ketika dia datang ke Beijing untuk upacara pembukaan Olimpiade Musim Dingin pada 4 Februari. Kehadiran pemimpin Rusia itu juga merupakan peristiwa “penyelamatan muka” bagi Xi setelah AS mengumumkan boikot diplomatik terkait catatan hak asasi manusia China. Selain AS, banyak negara besar juga tidak mengirimkan perwakilannya ke upacara pembukaan ajang olahraga empat tahunan tersebut.

Sebuah pernyataan bersama dikeluarkan setelah Xi dan Putin bertemu yang menyatakan "persahabatan antara kedua negara tidak memiliki batas, tidak ada bidang kerja sama yang 'terlarang'."

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping membuat pancake saat mengunjungi pameran Far East Street di sela-sela Forum Ekonomi Timur di Vladivostok, Rusia 11 September 2018. (Foto: via Reuters)
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping membuat pancake saat mengunjungi pameran Far East Street di sela-sela Forum Ekonomi Timur di Vladivostok, Rusia 11 September 2018. (Foto: via Reuters)

Tanpa menyebut Ukraina, pernyataan Rusia-China jelas menentang ekspansi NATO dan koalisi yang “mengintensifkan persaingan geopolitik”, kemungkinan merujuk pada upaya Presiden AS Joe Biden untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara demokratis lainnya dalam menghadapi kebangkitan China.

Ia menuduh “aktor” yang tidak disebutkan namanya mengadvokasi pendekatan sepihak dan menggunakan kekuatan untuk mengatasi masalah internasional, yang dapat berlaku tidak hanya untuk perang AS di Irak dan Afghanistan, tetapi juga perang Rusia di Ukraina.

Komunike itu juga menyatakan “hubungan antarnegara baru antara Rusia dan China lebih unggul daripada aliansi politik dan militer di era Perang Dingin.”

Saich dari Harvard menyebut pernyataan itu sebagai "langkah maju yang dramatis dalam suatu hubungan", tetapi ia menambahkan bahwa terlalu dini untuk menganggapnya sebagai aliansi yang pasti.

Setengah abad yang lalu, di tengah Perang Dingin, China dan Amerika Serikat-lah yang menemukan alasan yang sama untuk melawan Rusia. Februari adalah peringatan 50 tahun perjalanan Presiden Richard Nixon ke China pada 1972.

Pada saat itu, hubungan China dengan Uni Soviet memburuk, dan para pemimpinnya khawatir tentang invasi Soviet. Lima puluh tahun kemudian, hubungan antara tiga kekuatan besar itu telah berubah dengan cara yang sulit dibayangkan. Hubungan AS-China berada di titik sulit, dan Beijing dan Moskow saling merapat satu sama lainnya. [ah/rs]

XS
SM
MD
LG