Suara baku tembak dan dentuman bom terdengar di sekitar Ibu Kota Khartoum pada Minggu (16/4) ketika pasukan militer dan kelompok paramiliter yang kuat bertempur memperebutkan kekuasaan. Ini merupakan hari kedua sejak pecahnya pertempuran pada Sabtu lalu, mengisyaratkan ketidaksediaan kedua pihak untuk menghentikan kekerasan, meskipun tekanan diplomatik untuk melakukan gencatan senjata dan dialog kini meluas.
Pertempuran sengit itu melibatkan kendaraan lapis baja, senapan mesin yang dipasang di truk-truk dan pesawat terbang. Tidak hanya Khartoum, beberapa kota lain – termasuk kota Omdurman yang bersebelahan dengan Khartoum – menjadi titik pertempuran sengit itu.
Sedikitnya 56 warga sipil dilaporkan tewas, termasuk tiga staf badan urusan pangan PBB – FAO.
The Sudan Doctors' Syndicate menyakini puluhan orang lainnya, dari kedua kelompok yang bertempur, juga tewas. Sementara hampir 600 orang luka-luka, termasuk warga sipil.
Mencermati situasi mengkhawatirkan itu, Liga Arab hari Minggu melangsungkan rapat darurat. Utusan Khusus Sudan Untuk Liga Arab Al Sadiq Omar Abdalla mengatakan, “Angkatan Bersenjata Sudan telah melancarkan pukulan dan menimbulkan kerugian besar pada pasukan pemberontak, sambil melanjutkan patroli di sebagian daerah. Sebagian pemberontak telah melarikan diri ke propinsi-propinsi di luar Khartoum."
"Pemerintah Sudan telah melucuti kelompok milisi Rapid Forces dan menyatakannya sebagai pasukan pemberontak yang harus diperlakukan sebagai pemberontak. Alih-alih semua upaya di tingkat nasional, regional dan internasional, pasukan Rapid Forces yang telah dibubarkan itu tidak setuju untuk berintegrasi dengan tentara nasional sesuai perjanjian yang disepakati," tambahnya.
Mesir, sebagai salah satu perwakilan Liga Arab, “mendesak semua pihak di Sudan untuk segera menghentikan semua bentrokan bersenjata guna mencegah jatuhnya korban jiwa, dan memastikan keselamatan dan keamanan warga sipil.”
“Kami mengingatkan potensi bahaya akibat meningkatnya aksi kekerasan di Sudan dan konsekuensi yang tidak dapat diprediksi yang mungkin terjadi, baik di dalam Sudan maupun di kawasan ini," imbuh Utusan Khusus Mesir Untuk Liga Arab Obaida Al-Dandarawy.
Bentrokan di Sudan itu merupakan bagian dari perebutan kekuasaan antara panglima Angkatan Bersenjata Sudan Jendral Abdel-Fattah Burhan dan kepala pasukan paramiliter “Rapid Support Forces” Jendral Mohammed Hamdan Dagalo. Sejak pertempuran terjadi, kedua pihak mengklaim telah menguasai sejumlah institusi penting dan fasilitas militer strategis. Kedua jendral ini adalah mantan sekutu yang bersama-sama merancang kudeta militer pada Oktober 2021.
Kedua jendral ini telah bersumpah untuk tidak pernah berunding atau melakukan gencatan senjata, meskipun tekanan diplomatik global terus meningkat.
Satu video yang dipasang di akun Facebook “Rapid Support Forces” milik kelompok paramiliter bersenjata itu menunjukkan seorang pemberontak berada di sekitar istana kepresidenan di Khartoum. Ia mengklaim kelompoknya telah menguasai istana itu. Kantor berita Associated Press melaporkan belum dapat memverifikasi klaim sepihak itu.
Sebuah video lain di akun yang sama menunjukkan kelompok paramiliter itu menangkap sekelompok laki-laki, yang digambarkan sebagai “jihadis.” Ini merupakan terminologi yang merujuk pada pendukung mantan Presiden Omar Al Bashir, yang digulingkan militer tahun 2019 di tengah pergolakan besar-besaran yang mengakhiri kekuasaan otoriternya selama 30 tahun. Belum jelas apakah kelompok laki-laki yang ditahan itu berasal dari faksi tertentu.
Pertempuran ini kembali menunda kesepakatan diantara partai-partai politik di Sudan untuk mengembalikan negara itu ke transisi menuju demokrasi, yang dirusak oleh kudeta militer pada Oktober 2021 lalu. [em/jm]
Forum