Puluhan organisasi yang tergabung dalam GERAK Perempuan mengecam langkah DPR yang menunda pembahasan RUU P-KS ini. Perwakilan GERAK perempuan, Lini Zurlia, menilai bahwa DPR tidak memiliki kehendak politik dan tidak peduli dengan para korban kekerasan seksual. “Menutup mata dan nggak punya kepedulian. Ini benar-benar nggak punya kepedulian,” tegasnya kepada VOA.
Lini menduga, RUU P-KS ditunda karena dinilai tidak menguntungkan anggota dewan. Hal ini berbeda dengan pembahasan revisi UU Pertambangan dan Mineral Batubara dan Omnibus Law yang sangat cepat dan telah disahkan. "Aku sih menduganya, karena UU ini tidak menguntungkan anggota dewan dan para koleganya. Kedua, apabila RUU disahkan memang sebenarnya akan menyedot banyak dana APBN (untuk rehabilitasi korban),” tambahnya.
Tagih Komitmen Pemerintah
GERAK Perempuan juga mengkritik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang diam saja atas penundaan ini. Padahal kementerian ini telah diamanatkan oleh Presiden Joko Widodo untuk membahas RUU P-KS bersama parlemen. “Seharusnya kan mendorong memberikan dorongan. Tapi ternyata begitu (RUU) ditunda, adem-adem saja tuh. Artinya memang kami melihat ini nggak ada political will dari pemerintah maupun DPR,” tegasnya.
Melihat absennya kehendak politik, GERAK Perempuan akan menggelar aksi mingguan di Jakarta dan berbagai kota. Aksi dengan protokol kesehatan ini, ujar Lini, akan dilakukan sampai DPR mengesahkan RUU itu jadi undang-undang. Hal ini penting untuk mengawasi kerja para wakil rakyat.
“Sebagai sebuah upaya untuk benar-benar mengawal proses, jadi nggak kayak DPR dilepas begitu saja. Jadi kami punya aksi mingguan setiap selasa sampai RUU ini diundangkan,” tukasnya.
Korban Tidak Bisa Menunggu
DPR menunda pembahasan RUU P-KS ini di tengah terus meningkatnya kasus kekerasan seksual. Komnas Perempuan mencatat, terdapat 4.898 laporan kasus kekerasan seksual sepanjang tahun 2019. Sementara kasus kekerasan seksual naik hampir 8 kali lipat sejak 2007.
Kelompok pendamping korban kekerasan seksual mengatakan, semakin RUU ini ditunda, semakin banyak orang menjadi korban.
Ira Imelda dari Women Crisis Center (WCC) Pasundan Durebang di Kota Bandung, Jawa Barat, mengatakan, dengan hukum yang berlaku sekarang, susah bagi korban untuk mencari keadilan.
"Perkosaan atau pelecehan seksual itu sulit untuk menemukan bukti yang masih baru, Karena biasanya korban perkosaan itu jarang yang langsung melaporkan. Hal-hal yang kayak gitu nggak bisa kalau belum ada RUU P-KS ini,” tegasnya dihubungi terpisah.
Ira menggarisbawahi bagaimana hukum yang berlaku saat ini belum mengakomodir ragam kekerasan seperti eksploitasi seksual. Dia mencontohkan, seorang perempuan inisial PA di Garut Jawa Barat, yang merupakan korban eksploitasi seksual, malah dikriminalisasi sebagai pelaku pornografi.
"Nah yang kayak gitu, kalau misalnya tidak ada payung hukum yang benar-benar melindungi korban, maka korban akan selalu dikriminalisasi,” tambah Ira yang juga tergabung dalam Forum Pengada Layanan (FPL) Bagi Perempuan Korban Kekerasan.
Selain memperluas jenis kekerasan seksual, RUU P-KS juga mengatur tentang pemulihan korban. Selama ini korban kekerasan seksual harus menanggung sendiri biaya konseling atau perawatan kesehatan. Padahal, menurut Ira, negara harus membantu korban. “Kalau pun ada pelaku yang dihukum lalu denda, denda masuk kas negara. Sementara lembaga layanan masyarakat dananya terbatas. Itu harusnya jadi tanggung jawab negara,” pungkasnya.
Enam Tahun Terus Ditunda
RUU P-KS resmi masuk ke DPR pada 2014 untuk mengatasi kebuntuan hukum terkait kekerasan seksual. Selama ini kekerasan seksual yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) hanya meliputi pencabulan dan pemerkosaan. Sementara RUU P-KS akan mengatur spesifik sembilan jenis kekerasan seksual lainnya, meliputi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemerkosaan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.
Namun, dalam pembahasannya, RUU ini terus mengalami penundaan. [rt/em]