Sejumlah organisasi dan aktivis hak asasi manusia di Amerika Serikat menyerukan diadakannya sidang kongres untuk menanggapi serangan kekerasan terhadap sejumlah pembangkang China yang memprotes kunjungan Presiden China Xi Jinping ke KTT APEC di San Francisco pada 15-17 November lalu.
Massa pengunjuk rasa pro-Xi Jinping dan anti-pemerintah China bentrok di beberapa lokasi di San Francisco menjelang dan selama pelaksanaan KTT APEC, sehingga menimbulkan banyak korban luka di antara pengunjuk rasa anti-pemerintah China.
Para demonstran yang menentang pelanggaran HAM yang dilakukan Beijing dan mendukung kemerdekaan Taiwan diadang oleh pendukung Xi Jinping yang membawa tongkat logam, tiang bendera, payung dalam kondisi tertutup dan semprotan merica di Bandara Internasional San Francisco, Moscone Center – lokasi diadakannya KTT APEC – dan Hotel Sr. Regis tempat Xi menginap, selain sejumlah lokasi penting lainnya di kota itu.
Topjor Tsultrim, anggota Students for a Free Tibet yang bermarkas di San Francisco, mengatakan kepada VOA bahwa sedikitnya 30 pengunjuk rasa Tibet diserang oleh kelompok pro-China.
Tsultrim mengatakan bahwa pada 17 November, di lokasi unjuk rasa dekat bandara, tiga mahasiswa Tibet dipukuli oleh lebih dari 20 pria keturunan China dengan menggunakan tongkat logam. Ia mengatakan, mereka juga menghancurkan salah satu telepon genggam milik mahasiswa dan melemparkan telepon genggam lain ke saluran air. Dua warga Tibet menderita luka di kepala dan tubuh serta patah tulang, kemudian dibawa ke rumah sakit dengan ambulans.
Tsultrim sendiri mengaku ditendang di dada dan dibanting ke tanah oleh para pengunjuk rasa pro-Xi Jinping ketika mencoba melindungi seorang perempuan dari kelompoknya.
Li Delong, anggota komite Partai Demokrasi China Los Angeles, mengatakan kepada VOA, “Pada tanggal 16 November, saya diserang di dekat Moscone Center. Setelah polisi secara keliru mendorong saya ke kerumunan pendukung Xi, dua orang dari kelompok pro-Xi menarik saya sampai jatuh, dan salah satu dari mereka memukul saya dengan benda tumpul. Saya pingsan beberapa saat dan kepala saya berdarah.”
“Sangat meresahkan ketika Partai Komunis China berani mengekspor kekerasan ke AS dan secara terbuka menyerang kami yang memprotes komunisme,” ujar Li.
Wang Dan, pemimpin mahasiswa dalam gerakan Lapangan Tiananmen tahun 1989 dan saat ini menjadi akademisi tamu di Hoover Institution, mengatakan kepada VOA bahwa serangan terorganisir terhadap aktivis demokrasi China di luar negeri harus dilihat sebagai peristiwa politik yang serius.
“Pemicu utama di balik kekerasan ini adalah kekuatan pro-China di Amerika Serikat,” kata Wang. “Kami sedang mengumpulkan informasi yang relevan dan akan menyerahkannya ke Kongres dan otoritas terkait lainnya, mendesak pemerintah AS dan Kongres untuk menaruh perhatian besar terhadap peristiwa ini.”
“Tidak hanya pelakunya yang harus bertanggung jawab, tetapi juga kekuatan politik di belakang mereka.”
Wang mengatakan Konsulat Jenderal China di San Francisco harus segera ditutup jika ada bukti yang menunjukkan bahwa mereka yang mengarahkan aksi kekerasan tersebut. “Singkatnya, pemerintah AS tidak boleh menoleransi penggunaan kekerasan oleh kekuatan otoriter di wilayahnya,” ungkapnya.
Chen Chuangchuang, direktur eksekutif Partai Demokrasi China, mengatakan kepada VOA bahwa kekerasan terhadap para demonstran hanya mungkin terjadi berkat “infiltrasi jangka panjang ke AS” oleh Partai Komunis China.
Chen yakin pemerintah Kota San Francisco entah memang memihak pihak pro-komunis atau justru lalai dan tidak profesional dalam menangani situasi keamanan dan unjuk rasa selama kunjungan Xi Jinping.
“Ketika para pengunjuk rasa [pro-Xi Jinping] menimbulkan masalah dan memukuli hampir seratus pengunjuk rasa [anti-Xi] dalam tiga hari, mereka tidak pernah menangkap preman-preman pro-komunis itu,” katanya. “Tetapi dua orang yang membela diri justru ditangkap dan diadili. Para pengunjuk rasa [anti-Xi] menelepon polisi berkali-kali tetapi tidak mendapat intervensi dari mereka.”
Tsultrim mengatakan, polisi tidak membantu ketika ia dan kelompoknya diikuti dan diserang oleh kelompok pro-Xi pada 15 November lalu.
“Kami sebenarnya punya video saat kami memberi tahu polisi bahwa orang-orang ini mengikuti kami, dan polisi tidak melakukan apa pun untuk menghentikan mereka. Polisi berkata, ‘Oke.’ Dan kami terus berjalan. Tapi polisi membiarkan preman China ini terus mengikuti kami,” paparnya.
Zhou Fengsuo, direktur eksekutif Hak Asasi Manusia di China, sebuah lembaga nirlaba yang bermarkas di New York dan Hong Kong, mengatakan organisasinya akan mengumpulkan bukti adanya kelompok pro-China yang menyerang orang-orang dan telah terjadi penegakan hukum yang tebang pilih oleh polisi.
Ia mengatakan bahwa bukti akan diserahkan ke Komisi Eksekutif Kongres untuk China dan Komite Pilihan Kongres untuk Partai Komunis China.
“Saya harap mereka bisa mengadakan sidang mengenai masalah ini,” kata Zhou. “Kami akan meminta penyelidikan lebih lanjut sehingga masyarakat Amerika tahu bahwa pemerintah Tiongkok dapat mengatur serangan kekerasan berskala besar di luar negeri dan hal ini tidak bisa ditoleransi.”
Pada tanggal 20 November, VOA mengunjungi Departemen Kepolisian San Francisco untuk menanyakan apakah ada pendukung Xi Jinping yang ditangkap minggu lalu. Petugas kepolisian di meja penerimaan mengatakan dia belum mendengar adanya penangkapan semacam itu.
Steven Miller, polisi di Departemen Kepolisian San Francisco Selatan, mengatakan kepada VOA bahwa ia hanya mengetahui satu kasus di mana seorang pengunjuk rasa anti-Xi Jinping melaporkan kejahatannya setelah dipukuli.
VOA mengirimkan surat kepada Kantor Media dan Hubungan Masyarakat Departemen Kepolisian San Francisco untuk meminta tanggapan terkait keluhan bahwa petugasnya mengabaikan kekerasan yang dilakukan oleh massa pendukung Xi Jinping dan permohonan bantuan dari massa pengunjuk rasa anti-Xi Jinping.
Hingga berita ini diturunkan, VOA belum menerima tanggapan apa pun. [rd/ft]
Adrianna Zhang berkontribusi pada laporan ini.
Forum