Bagi pengungsi asal Somalia, Nimo Ali, wabah COVID-19 memperburuk situasi pengungsi di Indonesia. Dia mengatakan, pengungsi yang kekurangan makanan dan alat pelindung diri, kini tidak lagi mendapatkan bantuan dari pemerintah Indonesia.
Nimo menceritakan, Ketua RT dan RW di lingkungannya sempat menolak memberi bantuan karena menganggap pengungsi sebagai orang asing yang kaya raya.
“Dia bilang kepada saya kamu dari negara Arab kamu pasti kaya. Saya bilang saya tidak kaya, saya pengungsi, ini identitas saya. Butuh kira-kira dua jam berbincang supaya mereka paham kondisi saya,” ujar Nimo.
Nimo, yang hanya bisa sedikit bahasa Indonesia, terus mendekati RT dan RW setempat. Lama-kelamaan upayanya membuahkan hasil. Akhirnya RT dan RW bersedia memberi sedikit paket sembako kepada pengungsi.
“Ketika kami menunjukkan rasa hormat, mereka memberi kami perlindungan. Saya tidak pernah memohon-mohon lagi untuk mendapat bantuan selama beberapa bulan ke belakang,” tambahnya.
Nimo Ali mengatakan, para pengungsi di Ciputat, Kab. Tangerang Selatan, mendapat 20 bantuan paket makanan yang harus dibagi rata kepada 100 pengungsi. Dia pun meminta para pengungsi saling berbagi satu sama lain.
“Jadi kalau kamu suka Indomie, ambil Indomie. Kalau punya beras, ambil minyak. Kalau punya minyak, ambilah beras. Satu paket sembako bisa dibagi rata kepada 10 pengungsi dari berbagai negara,” pungkasnya.
Nasib Pengungsi Terkendala Regulasi
Ada 14.000-an pengsungsi dari 40-an negara yang saat ini tercatat ditampung di Indonesia. Banyak dari mereka lari menyelamatkan diri dan keluarga karena konflik dan kemudian mencari suaka di negara lain. Mereka tinggal di tempat penampungan yang disediakan organisasi pengungsi.
Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi tahun 1951. Karena itu, Indonesia tidak berkewajiban memberikan suaka atau memberikan kewarganegaraan kepada para pengungsi.
Pemerintah menyerahkan urusan pengungsi kepada Kantor PBB untuk Pengungsi UNHCR di Indonesia. Secara hukum, pengungsi tidak diperbolehkan bekerja. Walhasil mereka hanya mengandalkan bantuan kerabat ataupun organisasi sosial.
Urusan pengungsi di Indonesia saat ini diatur dengan Perpres no. 125 tahun 2016. Namun, Anggota DPR Komisi I, Sukamta mengatakan Perpres ini belum mengatur hak-hak pengungsi seperti yang diakui komunitas internasional.
“Ini terutama (adalah) pedoman teknis untuk lembaga pemerintah. Jadi intern pemerintah Indonesia kalau pengungsi datang ke wilayah Indonesia (harus bagaimana),” jelasnya dalam kesempatan terpisah.
Sukamta berharap, setidaknya pemerintah menyiapkan peraturan yang membolehkan pengungsi bekerja. Hal ini supaya mereka tidak bergantung pada dana bantuan semata.
Sementara itu, Perwakilan UNHCR di Indonesia Ann Maymann mengatakan regulasi di Indonesia memang tidak cukup. Kata Ann, Perpres Pengungsi belum mengatur hak-hak pengungsi yang fundamental seperti akses terhadap kesehatan.
Ann berharap Indonesia suatu saat akan meratifikasi Konvensi Pengungsi. Namun, ditambankannya, tanpa menandatangani konvensi pun, Indonesia tetap memiliki kewajiban moral untuk membantu mereka.
"Kalau kita melihat negara-negara di kawasan Asia yang menampung banyak pengungsi, seperti contohnya Pakistan dan Bangladesh, mereka menampung ribuan pengungsi namun bukan penandatangan konvensi,” terangnya, Sabtu (20/6).
Masyarakat Diminta Turun Tangan
Melihat peliknya masalah regulasi tersebut, sejumlah organisasi menyerukan masyarakat untuk turun tangan.
Rizka Argadianti dari organisasi pendamping pengungsi Suaka, mengatakan masyarakat tidak bisa menunggu pemerintah bertindak cepat.
“Jika kita ingat yang menyelamatkan perahu berisi pengungsi pada 2015 bukanlah pemerintah. Mereka adalah nelayan yang mengedepankan prinsip kemanusiaan ketimbang mencari nafkah hari itu,” tegas Rizka dalam diskusi terpisah, Jumat (19/6),
Sementara itu, Realisa Masardi, seorang advokat masalah pengungsi, mengatakan masyarakat umum bisa ikut memperjuangkan hak-hak para pengungsi di Indonesia.
“Dengan mengadvokasi hak-hak pengungsi secara aktif. Mengingat hukum di Indonesia tidak mendukung pemberian hak-hak yang pantas. Bahkan hak mendasar seperti pendidikan, pekerjaan, dan hak-hak yang seharusnya mereka miliki,” tandas Realisa yang juga menjadi sukarelawan di komunitas pengungsi di Cisarua, Bogor, dan Jakarta. [rt/em]