Tautan-tautan Akses

Pengungsi Lombok: Tenda Rusak, Huntara Belum Ada


Tenda pengungsian keluarga Budi Wicaksono di Bayan, Lombok Utara. foto Budi Wicaksono. (Foto courtesy: Budi Wicaksono)
Tenda pengungsian keluarga Budi Wicaksono di Bayan, Lombok Utara. foto Budi Wicaksono. (Foto courtesy: Budi Wicaksono)

Sudah lebih dari tiga bulan korban gempa Lombok harus tinggal di tenda. Sementara hujan mulai datang, hunian sementara yang dijanjikan belum juga berdiri.

Bagi Budi Wicaksono, guru di SMA N 1 Bayan, Lombok Utara, mengajar adalah sebuah penyembuhan luka batin. Dia mengatakan gempa yang terjadi tiga bulan lalu membawa trauma panjang baginya. Apalagi, tiga siswanya menjadi korban tewas, sementara seorang siswa lainnya diamputasi salah satu kakinya.

“Sewaktu gempa dia sedang di pantai. Kakinya terjepit antara beton jembatan dan jalan, harus diamputasi. Dia sudah sekolah sekarang, dan penuh semangat,” kata Budi kepada VOA.

Sepanjang siang, Budi mencari kesibukan agar tidak ingat apa yang sudah terjadi. Itulah yang disebutnya sebagai penyembuhan trauma. Sore hari, ketika pulang dia harus kembali ke tenda yang sudah ditinggalinya sejak awal Agustus. Hujan yang belakangan sering turun menambah kegalauan. Keprihatinan kadang muncul, tetapi rasa syukur bahwa dia masih hidup memberinya kekuatan.

Program penyaluran air bersih oleh PMI bagi korban gempa Lombok. (Foto: PMI)
Program penyaluran air bersih oleh PMI bagi korban gempa Lombok. (Foto: PMI)

“Ya kalau itu ya, gimana lagi, namanya hujan. Kita kadang berdoa, mudah-mudahan hujan. Tetapi kalau hujan, ke mana kita lari? Kalau terpaksa ya, di emper-emper rumah saja. Karena gempa susulan tak pernah kita duga. Ini tenda yang kita dapat bantuan dari UNICEF ini sudah rusak. Rata-rata kalau terpal sudah rusak. Namanya musibah, mau bilang apa. Sedih kita kalau di tenda malam, nah kalau siang beraktivitas, termasuk trauma healing itu,” kata Budi Wicaksono.

Pencairan Bantuan Tersendat

Pemerintah sudah menjanjikan bantuan Rp 50 juta untuk korban yang rumahnya rusak berat, Rp 25 juta untuk rusak sedang dan Rp 10 juta untuk rusak ringan. Namun, realisasinya belum ada. Bahkan pembangunan hunian sementara (Huntara) sebagai alternatif tenda pengungsian yang lebih nyaman, belum terlaksana.

Siti Hajar, korban gempa warga Bayan, Lombok Utara mengaku sejauh ini warga baru diminta menyetorkan nomor rekening.

“Sedang diproses ini. Baru kemarin ngumpulinrekening, mungkin untuk penarikan. Tetapi belum ada yang bangun rumah, mungkin uangnya belum cair. Katanya bertahap,” jelas Siti Hajar.

Meskipun begitu, tidak berarti belum ada kemajuan sedikitpun di Lombok. Sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kampus dan lembaga swadaya masyarakat kebencanaan telah membangun ribuan Huntara. Menjadi tidak terasa dampaknya bagi pengungsi, karena jumlah yang terbangun masih sangat kecil dibanding yang dibutuhkan. Tidak mengherankan, di banyak titik, Huntara ini bahkan sama sekali belum ada.

Layanan kesehatan terus diberikan oleh PMI hingga 1,5 tahun ke depan. (Foto courtesy: PMI.)
Layanan kesehatan terus diberikan oleh PMI hingga 1,5 tahun ke depan. (Foto courtesy: PMI.)

Dalam kunjungannya ke Lombok 18 Oktober lalu, Presiden Jokowi meminta penyederhanaan pencairan dana bantuan untuk korban gempa. Sebelumnya, ada 17 persyaratan yang harus dipenuhi. Dengan desakan Jokowi, korban hanya perlu menyediakan satu lembar persyaratan.

"Sudah kita putuskan bahwa dari 17 prosedur yang sebelumnya diberikan, itu menurut saya sangat rumit dan berbelit, kemarin diputuskan kita pangkas hanya 1 prosedur tanpa mengurangi akuntabilitas. Sekarang saya mau melihat setelah prosedur dijadikan satu, apakah masih ruwet atau tidak," papar Jokowi dalam keterangan resmi pihak Istana.

Namun bukan berarti semua kendala selesai. Dengan penyederhanaan itu, korban diminta membuat Kelompok Masyarakat (Pokmas). Aturan baru ini menjadi persoalan juga, karena ada dugaan korban enggan mengurus Pokmas, karena harus bertanggung jawab atas laporan keuangan nantinya.

Muhammad Sukri, fasilitator desa dari Himpunan Alumni dan LPPM Institut Pertanian Bogor (IPB), kepada VOA mengatakan, ada faktor lain yang muncul menjadi penghambat. Rumah Instan Sederhana Sehat (Risha) yang didesain pemerintah memiliki unsur tembok beton. Sementara karena trauma, korban ingin rumah yang dibuat dari kayu sepenuhnya.

“Di desa Salut ditawarkan pembangunan Risha. Nah, rumah ini ada temboknya juga. Akan tetapi masyarakat masih trauma dengan tembok. Jadi mereka mengusulkan untuk dibangun rumah kayu, bagi mereka akan lebih nyaman untuk tinggal di rumah kayu, daripada di rumah tembok. Untuk pengurusan perubahan ini, kata kepala desa harus sampai ke kementerian, jadi lamban pembangunannya,” jelas Muhammad Sukri.

Huntara Mendesak Dibangun

Alumni IPB sendiri saat ini sedang mengerjakan proyek penyediaan air bersih di desa Salut, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara yang berada di kaki Gunung Rinjani. Musim hujan yang datang membawa masalah tersendiri. Tanah longsor terus terjadi di berbagai titik, dan pipa saluran yang mereka pasang rusak. Selain itu, gubug-gubug pengungsian juga kian memprihatinkan. “Korban sementara tinggal di berugak (gazebo) dengan dinding dari terpal. Kalau hujan begini, ya jadi ala kadarnya lah kondisinya untuk tempat tinggal,” tambah Sukri.

Palang Merah Indonesia (PMI) juga terus mengejar pembangunan hunian sementara mengingat musim hujan telah datang. Hingga saat ini sudah dibangun sedikitnya 5.626 hunian dan 25 unit khusus untuk penyandang disabilitas.

"Kami terus mempercepat pembangunannya karena khawatir masuk musim hujan, sehingga warga yang rumahnya hancur akibat bencana gempa tersebut bisa lebih nyaman dan juga antisipasi penyebaran penyakit," kata Koordinator Pelaksana Shelter PMI, Junaedi Adhi Piun.

Secara khusus, PMI juga menyediakan hunian sementara bagi penyandang disabilitas. Misalnya untuk Adriansyah Putra biasa dipanggil Iyan, yang tinggal di Desa Selat, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat. "Saya ingin kembali bersekolah. Seharusnya saya sudah kelas VIII SMP, tetapi putus sekolah karena lumpuh dan bencana," kata Iyan.

Iyan berterima kasih kepada PMI yang sudah memberikan bantuan pascabencana gempa, tidak hanya mendirikan hunian khusus baginya, tetapi juga sarana lain yang menambah semangatnya untuk bangkit.

"Hunian untuk Iyan memang berbeda karena anak ini merupakan penyandang disabilitas yang mempunyai kebutuhan khusus. Untuk di Desa Selat ini kami sudah membangun ratusan hunian untuk membantu warga yang rumahnya rata dengan tanah," tambah Junaedi.

Data PMI menyebut, sebanyak 155.966 KK atau 509.677 jiwa terdampak bencana gempa Lombok. Hingga saat ini, 560 korban meninggal dunia, 959 luka berat, dan 6.798 luka ringan. Total pengungsi yang terdaftar sebanyak 390.529 jiwa dari 6 kab/kota. Gempa Lombok juga menyebabkan 32.837 unit Rumah rusak berat, 20.810 unit rusak sedang, 27.375 unit rusak ringan. [lt]

Recommended

XS
SM
MD
LG